Oleh: Steph Tupeng Witin
MENULIS perihal dugaan kuat ada gerombolan mafia yang sedang mencengkeram leher Nagekeo saat ini merupakan sebuah tanggung jawab moral kemanusiaan. Moralitas kemanusiaan itu melampaui sekat-sekat primordial: suku, agama, geografi, ras dan bahkan golongan. Elemen-elemen ini sangat berbau Orde Baru.
Kita bisa membayangkan, orang yang hidup di zaman reformasi ini, meski banyak dimensi yang butuh pembenahan bersama, masih mengulang-ulang kelakukan yang basi, usang dan kedaluwarsa itu, tentu masih sangat terpencil dalam jagat moralitas kemanusiaan universal. Tapi kalau yang berpikir itu gerombolan mafia, tentu kita bisa sangat mengerti bahkan memahami. Mafia pasti membela mafia.
Sebuah opini tentu berbasis data dan fakta, ditulis dengan gaya dan bahasa penulisnya, dengan sangat memuliakan asas praduga tak bersalam dalam dimensi hukum. Data dan fakta pasti berasal dari investigasi dan wawancara dengan narasumber di lapangan dan sumber-sumber lain yang valid.
Opini itu sebuah pendapat atas realitas yang bisa menggerakkan institusi dan pimpinan level lebih tinggi, semacam Kapolri, agar segera menindak aparatnya yang diduga sekian lama menjadi barisan gerombolan mafia meski berseragam negara.
Opini mesti dijawab dengan opini, bukan berkoar-koar dengan ancaman hukuman dan teror laporan ke polisi selevel Kapolsek sekalipun.
Kapolri Listyo Sigit saja, dalam level kekuasaan tertinggi kepolisian di Republik ini, sangat menghormati mekanisme media. Masa aparat level mafia lokal yang dibela gerombolan peneror di media sosial bertindak melebihi Kapolri? Ini sudah namanya tidak tahu diri dan sudah kehilangan kewarasan. Maka bantahan pasti sarat dengan makian, hinaan dan teror sebagai senjata andalan.
Tidak ada tulisan yang sempurna. Tulisan ini mungin hanya sekadar sebuah “wake up call” untuk membangunkan rakyat Nagekeo khususnya dan rakyat Flores-Lembata umumnya, agar mewaspadai menjalarnya bandit mafia yang kita duga dibekingi oleh orang-orang kita yang tinggal di “luar.”
Mungkin saja ada yang pernah mencicipi kekuasaan negara. Tanah Flores dan Lembata ini jangan kita jadikan ruang cari makan orang-orang kita yang gagal di “luar” dengan titian memeras dan merampok hak rakyat kecil dengan kasar dan tidak manusiawi seperti yang kita duga kuat terjadi dalam kasus waduk Lambo di Nagekeo.
Tulisan ini menjadi bukti keberpihakan pada silent majority. Mayoritas publik yang diam. Mungkin takut dengan teror dari gerombolan mafia yang terpancing keluar dari liang persembunyian selama ini bagai ulat kepanasan di bibir waduk Lambo.
Cukuplah kalau tulisan ini jadi topik diskusi di rumah-rumah warga kecil, sederhana dan buta hukum setelah doa Rosario selama bulan Oktober ini. Semoga tulisan sederhana ini bisa jadi palu godam yang membentur dengan keras kepala para gerombolan mafia di tanah Nagekeo.