Oleh: Steph Tupeng Witin
AIR yang diharapkan belum mengalir dari Waduk Lambo. Yang mengalir baru air mata warga terdampak waduk yang mulai dibangun akhir 2021 itu. Semula, pemerintah menargetkan agar pembangunan waduk ini rampung akhir 2024. Karena realisasinya masih minim, target penyelesaian diundur ke 2026.
Namun, melihat pelaksanaan di lapangan, waduk yang menelan biaya total Rp 1,9 triliun ini kemungkinan besar belum bisa selesai tahun depan. Penyebab utama adalah ulah mafia Nagekeo yang hari-hari ini meradang karena panik luar biasa di media sosial melalui akun-akun palsu.
Mereka, para mafia itu, adalah batu sandung terbesar pembangunan Waduk Lambo. Mestinya pembangunan waduk berjalan lancar karena semua persyaratan yang diperlukan untuk rampungnya sebuah waduk sudah terpenuhi. Warga terdampak sudah setuju dan mengikhlaskan rumah, kebun, tanah ulayat, dan kuburan leluhur mereka. Itulah syarat utama dan itu tidak mudah!
Penolakan warga terhadap penenggelaman rumah, kampung, tanah ulayat, dan kuburan leluhur tidak semata-mata karena faktor fisik, melainkan karena di sana tersimpan identitas dan sejarah keluarga, rasa keterikatan sosial dan spiritual, serta ekonomi dan martabat yang dirasakan terancam. Tapi, proses itu sudah terlewati. Mereka setuju dan ikhlas demi bonum commune, kebaikan bersama.
Menurut Kompendium Ajaran Sosial Gereja, “Kebaikan bersama adalah himpunan kondisi sosial yang memungkinkan setiap anggota masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, untuk mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah.”
Pada prinsipnya, bonum commune menuntut agar setiap kebijakan publik diarahkan pada kesejahteraan seluruh warga, bukan hanya segelintir pihak atau tujuan ekonomi sempit.
Dalam konteks pembangunan waduk, negara memang berkepentingan membangun waduk untuk irigasi, listrik, dan ketahanan air. Ini bisa disebut bonum commune nasional.
Namun, bila pelaksanaannya mengorbankan masyarakat tertentu, tanpa keadilan kompensasi atau penghormatan terhadap hak adat, maka bonum commune itu menjadi cacat secara moral dan sosial.
Artinya, bonum commune tidak dapat dicapai dengan mengorbankan sebagian orang untuk kenyamanan orang lain, yakni para mafia keparat itu. Kebaikan bersama yang sejati hanya tercapai jika keadilan distributif dan martabat setiap manusia dihormati.
Pembangunan hanya bermakna jika ia menyatukan, bukan memecah, memberdayakan, bukan meminggirkan. Kini, akibat ulah para mafia Nagekeo, pembangunan waduk menimbulkan perpecahan dan pemiskinan.











