Oleh: Steph Tupeng Witin
BERPOLEMIK di ruang media merupakan sebuah pertarungan pikiran berbasis argumentasi yang beradab dan bermartabat. Polemik itu mesti berlangsung dalam ruang media yang sama. Bukan opini ditulis di media bermartabat dan sanggahan terbit di media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers.
Ketika seseorang menaruh tulisannya pada sebuah media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers, publik bisa menduga kualitas intelektualnya. Ketika seseorang menaruh tulisannya pada media “liar” yang diduga berafiliasi dengan mafia, kita patut menduga orang itu bagian utuh gerombolan mafia.
Mengapa gerombolan mafia tidak berani mengirim tulisannya pada media bermartabat? Polemik atau perang gagasan itu hanya melalui ruang di satu media. Tentu saja media yang bermartabat agar diskusi berlangsung demokratis. Omong tentang polemik itu mesti paham jurnalistik dasar agar substansi narasi berbobot. Bukan asal bunyi.
Dalam berpolemik, penulis selalu berusaha agar tidak terjebak pada argumentum ad hominem, yakni “argumen dilawan dengan menyerang orangnya”. Ini sebuah sesat pikir (logical fallacy) dimana argumen digunakan untuk menggambarkan, menyerang karakter atau atribut pribadi lawan, alih-alih menyerang substansi argumen itu sendiri.
Taktik ini digunakan untuk mendiskreditkan argumen lawan dengan mengalihkan fokus dari logika argumen ke sifat-sifat personal, seperti motif, latar belakang, gender, ras, atau tindakan lawan.
Seseorang menyerang pribadi, karakter, atau tindakan lawan bicara untuk mencoba melemahkan argumennya. Tindakan ini sesungguhnya mengalihkan perhatian dari substansi argumen (logika, bukti, premis) dan membuatnya terlihat tidak valid secara otomatis hanya karena orang yang menyampaikannya dianggap memiliki sifat-sifat negatif.
Kondisi ini sering terjadi ketika seseorang merasa terpojok dan tidak dapat menyanggah argumen lawan secara logis. Orang yang menulis dengan basis kemanusiaan universal tidak akan pernah bungkam apalagi takluk kepada argumentum ad hominem.
Sekali lagi, menulis tentang dugaan gerombolan mafia di bibir waduk Lambo itu kerja kemanusiaan yang tidak kenal sekat dan batas. Ketika ada orang berpakaian suci melarang orang tidak boleh menulis, kita patut menduga orang ini sudah kehilangan kewarasan.
Kronologi Kasus
Kronologi berasal dari kata Yunani “chronos” dan Latin “chronologia” artinya waktu. Kronologi bermakna urutan peristiwa atau kejadian menurut waktu. Di dalam kronologi itu kita akan dinformasikan rangkaian kejadian menurut perjalanan waktu sehingga kita mendapatkan gambaran utuh perihal fakta, peristiwa dan pelaku.
Penulis menghadirkan kronologi kasus 14 bidang tanah milik sah suku Redu, Gaja dan Isa agar pembaca mendapatkan pemahaman yang utuh dan benar.











