Oleh: Gebrile Mikael Mareska Udu
PADA 19 Oktober 2024 yang lalu, Watchdoc merilis film dokumenter tentang Oligarki. Film itu setidaknya mengandung salah satu poin penting; partai politik sebagai sumber kerusakan demokrasi Indonesia.
Bivintri Susanti, dalam flim dokumenter tersebut menegaskan bahwa partai politik semata-mata dipahami sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan. Kita tidak akan melihat, untuk konteks hari-hari ini, dimensi edukasi dalam partai politik.
Apa yang didengungkan partai politik adalah jargon populis yang tidak menyentuh persoalan rakyat dan justru sebaliknya menyentuh kantong elite politik.
Kemudian, tuntutan pembubaran DPR secara eksplisit mengandung pertanyaan; bagaimana rekrutmen partai-partai politik untuk calon wakil rakyat? Pilihan memang berada di tangan masyarakat, tetapi partai politik menyodorkan pilihan kepada masyarakat.
Tulisan ini mencoba untuk menguliti persoalan sekaligus keresahan terhadap rekrutmen partai politik kita hari-hari ini. Penulis menyadari kondisi partai politik yang miris membangkitkan urgensi reformasi partai politik.
Partai politik harus berempati pada masyarakat sebagai akar rumput. Karena itu, partai politik harus lahir dari dan bertumbuh dalam rakyat, bukan sebagai kendaraan oligarki semata.
Partai Politik.
Politik selalu ditegaskan sebagai sesuatu yang cair, atau, Ulil Abshar-Abdalla, menyebutnya sebagai fluiditas (Kompas, 2024). Dinamika politik selalu berubah di setiap waktu. Konfigurasi elit tidak dapat ditebak. Karena itu, politik, menurut Albert Enstein adalah hal yang paling susah ditebak dan dinamis. Pergerakannya tidak bisa dikontrol dengan apapun.
Partai politik kita hari-hari ini menggambarkan fluiditas politik dengan sangat baik. Kawan tidak selau menjadi kawan, tetapi bisa berubah lawan. Nasdem, misalnya, menjadi lawan politik Gerinda pada Pilpers, tetapi kemudian membentuk koalisi pasca pilpres. Apalagi kecemasan kali ini tentang eksistensi PDIP di tengah rayuan oposisi untuk membentuk koalisi. Hal ini lumrah dalam politik.
Namun, realitas menunjukkan bahwa fluiditas ini tidak diarahkan untuk kepentingan konstituen dari partai politik. Hal sebaliknya terjadi adalah partai politik sibuk menyusun taktik politik, tanpa visi kesejahteraan umum.
Ironisnya, fluiditas ini tidak diiringi dengan konsistensi pada integritas dan moralitas. Kajian Universitas Nebraska-Lincoln, menunjukkan bahwa seseorang bisa abai pada integritas dan moralitas ketika menjadi bagian dari Partai Politik. Secara implisit, penelitian ini menunjukkan bahwa politik menjadikan seseorang sebagai penjahat.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya