Oleh: Dr. Don Bosco Doho
GAUNG ‘Laudato Si’ dari Vatikan ke Flobamora bernada himbauan untuk membangun pertobatan ekologis. Ensiklik Laudato Si’ (Terpujilah Engkau) dari Paus Fransiskus bukan lagi sekadar dokumen di atas kertas.
Di Indonesia, khususnya di Flobamora, ensiklik ini telah menjadi “roh penggerak”—sebuah manifesto teologis yang memberikan landasan moral bagi perlawanan terhadap proyek-proyek yang dianggap merusak ciptaan.
Laudato Si’ menyerukan “pertobatan ekologis” dan mengajak kita untuk “mendengar jeritan bumi sekaligus jeritan kaum miskin” (LS #49). Seruan Laudato Si’ bukanlah hal baru, melainkan penegasan kembali dari akar tradisi iman Yahudi-Kristen yang berusia ribuan tahun.
Seruan inilah yang dikumandangkan oleh otoritas gereja lokal saat mereka berdiri bersama umat menolak proyek geothermal. Ini adalah sisi heroik dari implementasi Laudato Si’. Namun, pertanyaannya: apakah ujian sesungguhnya dari Laudato Si’ hanya sebatas perlawanan terhadap “musuh” dari luar? Ataukah ujian yang lebih berat justru terletak pada cermin yang kita pegang di hadapan wajah kita sendiri?
Dimensi Profetik Gereja – Menjadi Tameng bagi Umat
Harus diakui bahwa peran gereja lokal dalam menyuarakan penolakan geothermal adalah implementasi nyata dari ajaran Laudato Si’. Mereka telah menerjemahkan konsep “ekologi integral”—keterkaitan antara lingkungan, ekonomi, dan keadilan sosial—ke dalam tindakan nyata.
Gereja sudah, sedang dan akan terus menjadi suara bagi kaum miskin dan masyarakat adat yang ruang hidupnya terancam. Mereka membela hak atas tanah ulayat, sumber air bersih, dan keberlanjutan pertanian lokal.
Dengan menantang narasi pembangunan yang eksploitatif dari korporasi dan negara, gereja menjalankan fungsi kenabiannya: berbicara lantang tentang kebenaran kepada kekuasaan, persis seperti yang diharapkan Laudato Si’. Ini adalah perjuangan yang patut diapresiasi dan tidak boleh diremehkan.
Gereja memang harus menjalankan fungsi kenabiannya, sebuah gema dari seruan Nabi Yesaya untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk” (bdk. Yesaya 58:6), dengan berbicara lantang tentang kebenaran kepada kekuasaan.
Ujian Terberat ‘Laudato Si’ – Balok di Mata Sendiri
“Namun, otentisitas sebuah pertobatan ekologis diuji bukan hanya dari seberapa keras kita berteriak pada orang lain, tetapi dari seberapa tekun kita menyapu halaman rumah kita sendiri.” ” Sebuah prinsip refleksi diri yang berakar pada ajaran Yesus sendiri: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:3).
Di sini konsistensi adalah batu uji dari setiap komitmen moral. Jika “pertobatan ekologis” menjadi alasan menolak geothermal, maka semangat yang sama seharusnya berkobar lebih dahsyat lagi untuk mengatasi krisis ekologis yang terjadi di depan mata, yang bahkan berada dalam lingkup pengaruh langsung gereja dan umatnya.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya











