Oleh: Ansel Atasoge
DI DEPAN Gedung DPRD Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) seorang pemuda bernama Frederich Fransiskus Baba Djoedye, atau Ivan, melakukan aksi damai yang tidak biasa. Ia menumpuk tiga kubik batu di pintu masuk gedung legislatif tanpa disertai orasi maupun pengeras suara.
Meskipun sunyi, aksi tersebut menyampaikan pesan yang kuat dan simbolik. Batu-batu itu menjadi representasi dari beban sosial yang belum terangkat, harapan yang tertunda, dan tuntutan publik yang belum memperoleh jawaban.
Makna dari aksi tersebut menjadi semakin jelas ketika diketahui bahwa Ivan bertindak atas nama Forum Rakyat Resah dan Gelisah Kabupaten Sikka (Fokalis).
Melalui forum ini, ia menyuarakan dua isu krusial yang menjadi sumber keresahan masyarakat, yakni buruknya pelayanan kesehatan dan lemahnya transparansi dana pokok pikiran (pokir) DPRD Sikka.
Kedua isu tersebut tidak hanya bersifat administratif, tetapi menyentuh aspek fundamental kehidupan warga. Kesehatan merupakan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi dan menjadi indikator kesejahteraan sosial. Sementara itu, dana pokir adalah instrumen politik yang seharusnya digunakan untuk menjawab kebutuhan rakyat secara langsung dan adil.
Aksi Ivan tidak dapat dipandang sebagai ekspresi individual semata, melainkan sebagai refleksi kolektif dari suara masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Kohesi antara simbol aksi dan substansi tuntutan menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya hidup dalam ruang formal, tetapi juga dalam tindakan simbolik yang menggugah kesadaran publik.
Kondisi pelayanan kesehatan di Kabupaten Sikka dinilai belum memadai dan menjadi sumber keresahan masyarakat. Warga menghadapi berbagai kendala, mulai dari keterbatasan fasilitas, kekurangan tenaga medis, hingga lemahnya koordinasi antarinstansi terkait.
Akibatnya, dalam situasi yang serba terbatas ini, masyarakat merasa terpinggirkan dari hak-hak dasar yang seharusnya mereka nikmati. Mereka tidak lagi menuntut janji-janji pembangunan, melainkan mengharapkan tindakan konkret yang menyentuh kebutuhan riil.
Dalam konteks ini, pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menjadi relevan, ketika ia menegaskan bahwa “dehumanisasi terjadi ketika struktur sosial gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia.”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya











