LABUAN BAJO, FLORESPOS.net-Persoalan hotel terapung di perairan Manggarai Barat (Mabar) NTT kian kompleks. Akses Pemkab Mabar ke Pempus dibatasi atas nama aturan. Pempus ‘kebiri’ ruang ekonomi daerah.
Demikian sejumlah anggota DPRD Mabar asal Fraksi PKB, menanggapi media di Labuan Bajo baru-baru ini. Mereka adalah Ali Sehidun, Sewargading S.J.Putera, dan Fransiskus Kasianus Kun.
Menurut mereka, angkutan wisata berlabel hotel terapung yang dikenai retribusi baru jenis kapal pinisi, karena memiliki fasilitas kamar/kabin.
Meski demikian, yang ini juga masih menimbulkan perdebatan. Sebagian pihak mau membayar retribusi/ pajak, sebagian lain menolak/ tidak setuju penerapan aturan itu.
Pihak yang menolak berdalil, bahwa kapal kewenangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan melalui Dirjen Perhubungan Laut/KSOP.
Sedangkan speedboat dan open deck tidak dikenai retribusi karena tidak punya kamar/kabin, disamping kesulitan regulasi. Open deck hanya bayar retribusi sampah, ungkap Sehidun, Sekretaris Fraksi PKB.
Persoalan hotel terapung kian kompleks karena sebagian kapal wisata, termasuk pinisi, open deck, dan speedboat, diduga pemiliknya pengusaha Jakarta. Mereka menolak pemberlakuan retribusi daerah.
Pada sisi lain muncul Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Peraturan tersebut (HKPD) membatasi kewenangan daerah dalam memungut pajak dan retribusi tertentu. HKPD cuma memperbolehkan pihak tertentu mengakses data objek pajak, sehingga DPR Daerah hanya bisa bertindak melalui panitia khusus (Pansus) berdasarkan Perda yang ada, kata Kun, Ketua Fraksi PKB.
Lanjut ketiganya, secara keseluruhan aturan mengenai hotel terapung masih pro dan kontra. Pemerintah Daerah keterbatasan kewenangan karena sebagian besar sektor tersebut diatur Pempus, menyebabkan ruang ekonomi daerah menjadi sempit.
Terlalu kompleks persoalan ini di Labuan Bajo. Rata-rata pemilik kapalnya orang-orang di Jakarta. Dicurigai mereka yang lakukan keberatan atas pemberlakuan Perda Mabar terkait retribusi pajak.
Pemkab dan DPRD Mabar tidak bisa kencang sekali soal ini, punya keterbatasan akses ke Pusat. Jadinya tidak terbuka. Hanya orang tertentu yang bisa dapat akses ke sana pusat, kata mereka.
“Soal ini dibatasi oleh aturan. Dibatasi oleh Pemerintah Pusat. Ruang ekonomi daerah dikebiri pusat,” ujar Gading, sapaan Sewargading S. J. Putera, yang adalah Wakil Ketua DPRD Mabar.
Masih kun, dulu pernah ada Satgas optimalisasi PAD (Pendapatan Asli Daerah) Mabar, tetapi sekarang sepertinya sudah tidak aktif, beberapa anggota undur diri. Tugas Satgas ini mengawasi penerimaan daerah dari sektor kapal wisata.
Masalah ini, kata ketiganya, terletak pada regulasi. DPRD tidak bisa langsung membuat aturan tanpa dasar hukum yang jelas. Sehingga perlu dilakukan kajian terlebih dahulu terkait objek pajak baru seperti hotel terapung.
Perlu koordinasi dan kerja kolaborasi dengan berbagai pihak, antara lain Pemkab Mabar dan KSOP. Karena beberapa wilayah pelabuhan di Mabar berada di bawah kewenangan KSOP sebagai administrator pelabuhan.
Semua surat-surat kapal dan koordinat muring berada di bawah KSOP. Kerja sama itu sangat penting sehingga perusahaan tidak beroperasi tanpa pengawasan.
“Maka penting kolaborasi dengan KSOP. Di sana ada manifesto,” sambung Sehidun.
Kata Kun, berdasarkan data ada sekitar 168 kapal wisata di Mabar sudah punya Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD), sisanya belum. Artinya hanya sebagian yang memberi kontribusi bagi PAD Mabar.
Secara terpisah, nada hampir sama diutarakan Camat Komodo Mabar, Iwan Martinus. Terkait urusan wisata bahari di Mabar, katanya, rumit amat.
“Terlalu banyak lembaga, aturan juga begitu. Terlalu banyak orang pintar di pusat sana, pusing kita penyelenggara di tingkat bawah,” komentarnya. *
Penulis : Andre Durung
Editor : Wentho Eliando











