Oleh: Ansel Atasoge
PENGANGKATAN 496 tenaga PPPK oleh Pemerintah Kabupaten Ende merupakan langkah strategis yang patut diapresiasi. Di tengah tantangan fiskal akibat pengurangan dana transfer pusat, komitmen Bupati Yoseph Badeoda untuk tetap mengangkat ribuan tenaga PPPK menunjukkan keberanian politik.
Serentak pula menunjukkan ‘visi pembangunan’ yang berorientasi pada ‘penguatan sumber daya manusia’. Pernyataan Bupati Badeoda bahwa “kalian (PPPK) bukan beban daerah” mencerminkan paradigma baru yang diletakkan pada pundak PPPK. Bahwasanya, mereka tidak ‘disegel’ sebagai pengelola administrasi, melainkan sebagai ‘agen transformasi sosial dan ekonomi’.
Dalam konteks otonomi daerah, penguatan kapasitas aparatur sipil menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Guru Besar Administrasi Publik Universitas Indonesia, Prof. Eko Prasojo, menegaskan bahwa penguatan kapasitas ASN daerah adalah investasi jangka panjang yang akan menentukan kualitas pelayanan publik dan daya saing daerah.
Dalam konteks kebijakan Bupati Ende dapatlah dikatakan, pengangkatan PPPK bukanlah beban, melainkan modal awal untuk membangun birokrasi yang responsif dan produktif.
Tenaga PPPK dari sektor pendidikan, kesehatan, dan teknis memiliki potensi besar untuk mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui layanan publik yang lebih efisien dan inovatif.
Tantangan pembiayaan gaji PPPK yang akan sepenuhnya menjadi ‘tanggung jawab daerah’ mulai tahun depan dapat disiasati dengan pendekatan kolaboratif dan inovatif.
Dengan beban gaji PPPK mencapai Rp 165 miliar untuk 3.168 orang dan pengurangan dana transfer pusat sebesar Rp 26 miliar, muncul pertanyaan: sejauh mana pemerintah daerah siap secara struktural dan anggaran untuk menanggung beban ini tanpa mengorbankan sektor lain?
Untuk menyiasati hal ini, Ketua Komisi ASN, Dr. Agus Pramusinto, menyarankan agar “daerah mengembangkan strategi pembiayaan berbasis kinerja dan sinergi lintas sektor agar pengangkatan PPPK tidak menjadi beban, tetapi menjadi pemicu reformasi birokrasi.”
Artinya, Pemda Ende dapat merancang sistem insentif berbasis output, memperkuat kemitraan dengan sektor swasta dan lembaga donor, serta mengoptimalkan potensi lokal seperti pariwisata, pertanian, dan industri kreatif untuk menopang anggaran belanja pegawai.
Sejatinya, PPPK juga adalah representasi kehadiran negara di tengah masyarakat. Ketika mereka diberi ruang untuk berkontribusi, mereka tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga membangun keterikatan sosial dan spiritual.
Saya yakin, dengan strategi yang tepat, tenaga PPPK dapat menjadi ‘katalisator pembangunan daerah’. Yang dibutuhkan sekarang adalah konsistensi kebijakan, transparansi anggaran, dan partisipasi publik dalam mengawal proses ini. Karena pada akhirnya, birokrasi yang kuat adalah fondasi masyarakat yang sejahtera. *











