Oleh: Dr. Polykarp Ulin Agan
MANUSIA, pada hakikatnya, dilahirkan bebas dan setara. Pemikiran Jean-Jacques Rousseau dalam Vom Gesellschaftsvertrag (1762) – Kontrak Sosial – menegaskan bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah kondisi alami setiap individu.
Dari perspektif ini, setiap bentuk penindasan—termasuk perbudakan dan perdagangan manusia—adalah pelanggaran fundamental terhadap martabat manusia.
Rousseau menegaskan, dengan alasan moral yang revolusioner pada zamannya, bahwa manusia tidak boleh diperlakukan sebagai milik atau komoditas. Martabat manusia bukanlah suatu hak yang bisa dinegosiasikan, melainkan fondasi eksistensi yang tidak dapat diganggu gugat.
Ketidaksetaraan dan Perdagangan Manusia
Manusia tidak hidup di dunia alami yang kosong dari struktur sosial. Dalam Diskursus tentang Ketidaksetaraan (1755), Rousseau membedakan ketidaksetaraan alamiah dengan ketidaksetaraan sosial.
Ketidaksetaraan sosial muncul dari kepemilikan, kekuasaan, dan akumulasi kekayaan. Fenomena inilah yang membuka celah bagi eksploitasi, termasuk perdagangan manusia, yang merupakan manifestasi ekstrem dari ketidaksetaraan sosial.
Dengan kata lain, perdagangan manusia bukanlah sekadar kejahatan individual, melainkan produk dari ketimpangan sistemik dalam masyarakat.
Ketika sebagian orang memiliki kontrol yang berlebihan atas sumber daya atau kekuasaan, kebebasan dan kesetaraan individu lainnya menjadi rentan untuk dilanggar.
Dalam konteks politik dan hukum, Rousseau menekankan pentingnya perjanjian sosial dan perlindungan kelembagaan terhadap kebebasan individu.
Manusia hanya dapat menikmati kebebasan sejati jika undang-undang mencerminkan kehendak umum dan bertujuan untuk melindungi martabat semua orang.
Setiap praktik yang memperlakukan manusia sebagai komoditas—seperti perdagangan manusia—secara langsung melanggar prinsip ini, karena merusak kebebasan individu sekaligus meruntuhkan tujuan bersama masyarakat yang adil.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya