Oleh: Marianus Jefrino
PASCA pemilu presiden dan wakil presiden, kini kita memasuki babak baru, pemililhan kepala daerah (Pilkada) Serentak, yang akan dilaksanakan bulan November 2024 mendatang.
Pemilihan kepala daerah ini menjadi momen penting bagi masyarakat, untuk berpartisipasi langsung dalam memilih pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi daerah masing-masing.
Pilkada merupakan manifestasi nyata dari demokrasi di tingkat lokal, di mana suara rakyat menjadi penentu masa depan kepemimpinan daerah.
Namun, sebagaimana agenda politik besar lainnya, pilkada menghadirkan berbagai tantangan dan bahaya yang perlu diwaspadai oleh masyarakat, yaitu “Polarisasi Politik.” Suatu kondisi di mana ikatan sosial dan politik masyarakat dapat terpecah-belah oleh narasi dan manipulasi politik yang destruktif.
Fenomena ini telah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam politik modern dan bisa mengancam stabilitas sosial, jika tidak dikelola dengan baik.
Apa Itu Polarisasi Politik?
Polarisasi politik adalah fenomena di mana masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki pandangan politik yang berseberangan, dan sering kali memperburuk hubungan antarkelompok tersebut.
Menurut Jennifer McCoy dari Georgia State University, polarisasi politik tidak hanya membentuk perbedaan pendapat politik, tetapi juga mengarah pada pemisahan sosial yang tajam, di mana kelompok-kelompok masyarakat saling memandang sebagai “musuh,” yang tidak bisa disatukan.
Hal ini berarti, di bawah polarisasi yang ekstrem, masyarakat bukan hanya berbeda pendapat, melainkan terpecah secara mendasar dalam cara mereka memahami dan memperlakukan kelompok lain (McCoy, 2018: 15).
Dalam konteks Pilkada Serentak 2024, polarisasi politik bisa terjadi ketika perbedaan pilihan politik mengarah pada ketegangan sosial yang tajam di kalangan masyarakat.
Ketika masyarakat terpecah menjadi dua kubu atau lebih berdasarkan dukungan mereka terhadap calon kepala daerah, konflik tidak lagi sekadar terjadi dalam ranah ideologis, tetapi bisa merambah ke hubungan sosial di tingkat komunitas hingga keluarga. Tentu, bukan hal demikian yang kita inginkan.
Polarisasi Politik Menjelang Pilkada 2024
Menjelang Pilkada 2024, berbagai tanda polarisasi politik sudah mulai terlihat. Media sosial menjadi salah satu arena utama di mana perpecahan politik semakin dalam.
Kampanye politik di dunia maya sering kali diwarnai oleh narasi yang penuh emosi dan provokasi, di mana para pendukung kandidat saling menyerang dengan berbagai tuduhan dan informasi yang belum tentu benar. Penyebaran berita bohong (hoaks) juga menjadi salah satu pemicu utama terjadinya polarisasi ini.
Polarisasi politik tidak hanya terjadi di tingkat elite politik, tetapi juga merambah ke masyarakat akar rumput. Dalam beberapa kasus, kita dapat melihat bagaimana perbedaan pilihan politik bisa memecah persahabatan, hubungan keluarga, bahkan menciptakan ketegangan di tempat kerja.
Larry Diamond, seorang ahli demokrasi dari Stanford University, menyebut bahwa polarisasi yang ekstrem bisa berujung pada delegitimasi proses demokrasi, di mana salah satu kelompok merasa pemilu telah dimanipulasi atau tidak adil, sehingga hasilnya tidak diakui oleh kelompok yang kalah.
Ketika kepercayaan pada sistem demokrasi berkurang, konflik terbuka antara kelompok pendukung calon yang berbeda bisa lebih mudah terjadi (Diamond, 2019: 142).
Polarisasi politik memiliki dampak yang cukup serius, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Polarisasi dapat dengan cepat memicu konflik sosial di kalangan masyarakat. Ketika perbedaan pandangan politik dipertajam dengan sentimen emosional, masyarakat akan cenderung saling menyerang, baik secara verbal maupun fisik.
Selain itu, polarisasi memperbesar peluang bagi penyebaran hoaks dan disinformasi. Ketika masyarakat terjebak dalam “gelembung informasi” di mana mereka hanya mendengarkan informasi yang sesuai dengan pandangan politik mereka, berita-berita palsu yang memperburuk situasi akan lebih mudah diterima tanpa verifikasi.
Ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat, memperdalam perpecahan, dan pada akhirnya melemahkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi secara rasional dalam proses demokrasi. Dalam kondisi yang lebih ekstrem, polarisasi dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Jika salah satu kelompok merasa bahwa pemilu tidak adil atau tidak transparan, mereka mungkin menolak hasil Pilkada dan memicu protes yang lebih besar, yang berpotensi merusak legitimasi pemilu dan mengancam stabilitas politik.
Apa yang Mesti Dibuat?
Pertama, penting untuk meningkatkan literasi politik di kalangan masyarakat. Literasi politik yang dimaksud bukan hanya tentang pemahaman terhadap sistem politik, melainkan juga kemampuan untuk menyaring informasi yang valid dan tidak terjebak dalam seruan emosional politik.
Masyarakat harus diberdayakan untuk bisa membedakan antara fakta dan hoaks, serta didorong untuk tetap kritis dalam menilai setiap informasi yang diterima. Kampanye edukasi politik ini harus menyasar berbagai lapisan masyarakat, terutama melalui media sosial yang sering kali menjadi tempat penyebaran disinformasi.
Dengan meningkatnya kemampuan masyarakat dalam menyaring informasi, diharapkan mereka tidak mudah termakan oleh narasi yang hanya memperkeruh suasana.
Kedua, pengawasan terhadap ruang publik digital harus diperketat. Media sosial dan platform digital seperti Facebook, Instagram, dan sejenisnya, harus lebih bertanggung jawab dalam mengontrol konten yang disebarkan.
Kerja sama antara pemerintah dan penyedia platform harus dibangun untuk memerangi penyebaran hoaks serta ujaran kebencian yang sering kali memperburuk polarisasi politik.
Dalam situasi ini, jaringan kesadaran digital harus dikembangkan, di mana masyarakat juga turut menjadi bagian dari solusi dengan melaporkan konten-konten yang berpotensi memecah belah dan menyebarkan kebencian. Dengan demikian, ruang publik digital dapat menjadi lebih sehat dan mendukung dialog politik yang lebih objektif.
Ketiga, dialog sosial inklusif harus digalakkan di tingkat masyarakat. Perbedaan pandangan politik seharusnya tidak menjadi alasan untuk memecah belah persatuan sosial.
Masyarakat harus diajak untuk terbuka terhadap berbagai pandangan politik dan belajar untuk berdialog tanpa perlu terjebak dalam emosi yang berlebihan. Melalui dialog yang sehat dan saling menghargai, kita dapat mengurangi ketegangan sosial yang diakibatkan oleh perbedaan politik.
Kebajikan dialogis, istilah yang menggambarkan kemampuan untuk berdebat tanpa kehilangan rasa hormat terhadap pihak lain, harus menjadi landasan dalam setiap diskusi politik.
Keempat, elite politik harus menunjukkan kepemimpinan yang transformatif, di mana mereka mampu menjembatani perbedaan dan mengedepankan narasi yang bersifat menyatukan.
Kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat harus lebih menekankan solusi bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya mengandalkan narasi populis yang memperkuat basis dukungan tertentu.
Dengan kepemimpinan yang inklusif dan visi, yang melibatkan semua kelompok, ketegangan politik bisa diredakan. *
Marianus Jefrino adalah Alumnus IFTK Ledalero dan Staf Pengajar di Sekolah Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat.
Editor : Anton Harus