Oleh: Marselina Lindi
Apa kabar para buruh terdidik?
Apa kabar para sarjana yang mulai ragu pada ijazahnya sendiri?
Setiap 1 Mei, Indonesia memperingati Hari Buruh. Namun, bagi jutaan pekerja dan penganggur terdidik di negeri ini, peringatan ini bukanlah seremoni penuh haru. Ia justru menjadi pengingat yang getir akan sistem kerja yang semakin menindas dan memiskinkan.
Negeri ini terus memproduksi sarjana—anak-anak bangsa yang tumbuh dengan harapan menjadi tumpuan keluarga.
Namun, banyak dari mereka justru menjadi beban bukan karena mereka tak mampu, tetapi karena negara gagal menyediakan ruang kerja yang layak.
Di tengah sistem yang menjadikan manusia seperti mesin kontrakan, tidak ada jaminan masa depan. Kontrak kerja dibungkus janji, tetapi tak menjamin hari tua. PHK sepihak menjadi fenomena yang dilegalkan lewat regulasi.
Yang lebih ironis, pemerintah rajin menebar wacana pembangunan. Namun, ketika lapangan kerja tetap sempit dan pertumbuhan ekonomi tak menciptakan pekerjaan, siapa yang sebenarnya menikmati hasil pembangunan itu? Jika sarjana saja menganggur, bagaimana dengan lulusan SMA dan SMK?
Di banyak tempat, proyek pembangunan hanya menghasilkan proyek pengadaan. Bahkan, belanja barang seperti seragam sekolah diserahkan kepada vendor luar negeri, sementara penjahit lokal dibiarkan menganggur. Ini bukan persoalan teknis. Ini adalah pilihan politik.
Pemerintah terus bicara soal efisiensi anggaran. Tapi efisiensi macam apa yang rela mengorbankan pembangunan manusia? Subsidi dikurangi, pendidikan diprivatisasi, pelayanan publik diserahkan ke swasta.
Di saat yang sama, utang korporasi diselamatkan, dan proyek-proyek infrastruktur terus berjalan meski tak memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal.
Mari lihat kondisi buruh tani di Indonesia Timur. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), masih banyak buruh yang bekerja dengan bayaran Rp30.000 hingga Rp50.000 per hari.
Itu lebih murah dari sebotol minyak goreng. Ini bukan hanya rendahnya nilai upah, tapi adalah bentuk pelecehan terhadap martabat manusia.
Bagaimana mungkin kita berbicara tentang keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap), jika nilai manusia kita serendah itu? Jika pembangunan hanya berputar di Pulau Jawa, dan Indonesia Timur tetap tertinggal dalam segala indikator kesejahteraan?
NTT adalah wajah nyata dari kompleksitas pembangunan yang timpang. Di satu sisi, provinsi ini kaya potensi: pariwisata, pertanian, energi terbarukan. Namun, semua potensi itu belum menjadi sumber kehidupan bagi rakyatnya.
Pendidikan tinggi tidak menjamin pekerjaan. Infrastruktur hadir tanpa menyentuh kebutuhan dasar warga.
Sementara itu, investasi datang membawa harapan semu—lebih banyak menyerap lahan daripada menyerap tenaga kerja.
Bonus demografi di NTT bisa menjadi kekuatan. Tapi dalam sistem ekonomi yang gagal mengintegrasikan anak muda ke dalam sektor produktif, bonus itu justru berubah menjadi beban. Pengangguran meningkat, urbanisasi melonjak, dan kemiskinan menjadi lingkaran setan yang sulit diputus.
Inilah ironi pembangunan kita: pertumbuhan ekonomi dirayakan dalam angka, tetapi disangkal dalam kenyataan hidup rakyat.
Hari Buruh tahun ini seharusnya menjadi panggung untuk kesadaran kolektif, bukan hanya untuk buruh formal, tetapi seluruh rakyat pekerja. Dari petani, tukang bangunan, hingga guru honorer. Dari mahasiswa penganggur hingga perawat kontrak.
Perjuangan hari ini bukan lagi sekadar soal kenaikan upah. Ini soal hak hidup yang dirampas oleh sistem. Ini soal keadilan yang dikalahkan oleh logika pasar. Ini soal negara yang semakin jauh dari rakyatnya.
Kita tidak sedang kekurangan ide. Kita kekurangan keberanian politik untuk berpihak.
Dan selama sistem ini tetap memihak pemilik modal, selama pembangunan hanya melayani pusat kekuasaan, maka suara-suara perlawanan akan terus menggema.
Kami bersuara, bukan meminta, tetapi menuntut:
– Lapangan kerja nyata yang berbasis pada potensi lokal.
– Pendidikan yang menghasilkan pekerjaan, bukan sekadar gelar.
– Upah layak yang dihitung berdasarkan kemanusiaan, bukan efisiensi semu.
Bangkitlah, buruh Indonesia!
Bangkitlah,pemuda-pemudi Indonesia Timur!
Kesadaran adalah langkah pertama menuju kemerdekaan sejati.
Dan jika suara kami terus diabaikan, maka gelombang perlawanan akan menjadi jawabannya.
Karena Hari Buruh bukan hanya peringatan. Ia adalah peringatan bagi sistem yang menindas, bahwa rakyat tak akan diam selamanya. *
Penulis tinggal di Riung Barat, Kabupaten Ngada, NTT. Aktif menulis isu-isu ketenagakerjaan dan ketimpangan wilayah di Indonesia Timur. *
Editor : Anton Harus