Oleh: P. Felix Baghi, SVD
UNESCO menetapkan tiap hari Kamis minggu ke tiga bulan Nopember sebagai hari filsafat sedunia.
Tentu penetapan ini tidak serta merta berkenaan dengan filsafat sebagai ilmu spekulatif atau normatif, melainkan filsafat sebagai fondasi berpikir kritis yang memungkinkan refleksi tentang nilai kehidupan manusia.
Penetapan UNESCO adalah isyarat betapa pentingnya filsafat bagi manusia. Filsafat merefleksikan “nilai” di dalam hidup manusia.
Filsafat Penting Dalam Hidup
Sejak awal mula, filsafat lahir sebagai tanggapan atas situasi dunia yang kompleks. “Menghadapi kompleksitas dunia saat ini, refleksi filosofis di atas segalanya adalah panggilan untuk kerendahan hati, untuk mundur selangkah dan terlibat dalam dialog yang beralasan, membangun solusi bersama atas tantangan yang berada di luar kendali kita.
Ini adalah cara terbaik untuk mendidik warga negara yang cerdas untuk melawan kebodohan dan prasangka.
Semakin besar kesulitan yang dihadapi, semakin besar pula kebutuhan akan filsafat untuk memahami pertanyaan-pertanyaan tentang perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.”
Karena itu adalah sangat keliru dan bahkan salah, jika orang mengira “filsafat sebagai sesuatu yang teoritis belaka, yang tidak memiliki aplikasi praktis.”
Ketika dunia dilanda krisis kesehatan (covid-19) misalnya, pertanyaan fundamental yang muncul adalah bagaimana suatu persoalan hidup direfleksikan secara kritis sampai ke akar penyebab terdalam, dan bagaimana suatu tindakan darurat secara bijaksana diambil untuk mengatasi kondisi dan situasi masyarakat?
Di sini, filsafat berperan sebagai jembatan untuk mengatasi kesenjangan sosial. Filsafat berfungsi memperbaiki tatanan sosial serta memberi petunjuk untuk membangun tatanan sosial dan tatanan masyarakat yang lebih kohesif.
Tahun ini, tema hari filsafat sedunia adalah “Filsafat untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan.” Tema ini menyadarkan masyarakat tentang kebutuhan filsafat untuk mencerdaskan ruang publik melalui aktivitas diskursus tentang nilai-nilai kehidupan bersama.
Diskursus ruang publik tidak lain adalah percakapan filosofis yang bernas, karena masyarakat, terlebih kaum muda dan anak-anak remaja berwacana tentang hidup sesuai situasi dan kondisi mereka.
Hidup Butuh Kualitas Berpikir
René Descartes telah lama melihat betapa pentingnya berpikir dalam hidup. Sebagai Bapak filsafat modern, ia menggarisbawahi aktivitas “berpikir” sebagai dasar eksistensi manusia. “Cogito, ergo sum”-saya berpikir, karena itu saya ada.” Manusia menyadari jati dirinya secara eksistensial “as a thinking being.”
Sebagai mahluk berpikir, manusia menyadari kohesi internal antara kesadaran diri dan caranya berada. Artinya aspek kesadaran sebagai bagian esensial dalam berpikir dipandang penting untuk menggambarkan cara manusia berada.
Kesadaran yang mendalam lahir dari kekuatan berpikir meditatif yang baik. Karena itu, Descartes menempatkan “Meditations on First Philosophy” sebagai bagian eksplorasi kekuatan berpikir untuk menangkap ide-ide yang “clara et distincta”.
Hidup yang benar sebaiknya memiliki fondasi berpikir yang eviden. Artinya nilai evidensi berpikir harus diuji melalui analisa, melalui kemampuan aplikasi, kecakapan evaluasi dan kontrol demi suatu kebenaran.
Hidup yang Tidak Diuji Dipandang Tidak Layak Dilayani
Demi suatu kebenaran hidup, kita diajak kembali ke sejarah filsafat, dan sejak awal kita kata-kata Sokrates ini: “The unexamined life is not worth living.”
Pencarian filosofis tentang makna hidup dimulai dari lika-liku kehidupan yang dijalani manusia. Lika liku itu tentang ujian hidup.
Penderitaan, duka, nestapa, pelipur lara, konflik dan perang, kelahiran dan kematian, perjuangan diri, menuntut kekuatan refleksi yang baik.
Kekuatan itu menyiapkan fondasi hidup. Fondasi itu berbicara bahwa pencarian makna harus dimulai dari ladang kehidupan itu sendiri. Ladang itu menyajikan tempat persemaian nilai-nilai yang direfleksikan dan diangkat ke permukaan.
Bagi Sokrates, panggilan hidup perlu selalu diarahkan kepada suatu tingkatan refleksi tentang semua persoalan. Refleksi itu dibuat melalui kecakapan dialog yang baik untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang nilai hidup ini.
Manusia Dihukum oleh Kebebasannya
Persoalan eksistensial yang selalu menghantui manusia adalah kebebasan. Tema tentang kebebasan selalu direfleksikan dari waktu ke waktu.
Pemikir eksistensialis Prancis, Sartre, berkata pernah: “Man is condemned to be free.” Beban hidup yang selalu berada di pundak setiap manusia adalah tanggungjawab atas kebebasannya.
Setiap manusia tanggungjawab untuk menciptakan nilai hidup sendiri, tanggungjawab untuk mengekspresikan kebebasan, dan tanggungjawab untuk menemukan pilihan makna sesuai situasinya.
Kebebasan dan tanggungjawab adalah dua mata rantai yang mengikat secara erat kodrat eksistensial manusia.
Axel Honneth kemudian melihat kebebasan sebagai hak dasar (Freedom’s Right) yang tidak boleh diabaikan oleh siapapun.
Kebebasan sebagai hak dasar tidak selalu memberi jaminan sepenuhnya. Filsuf Rousseau menyadari hal ini, dan karena itu, ia berkata: Man is born free, and everywhere he is in chains.”
Secara politik manusia terikat oleh tatanan sosial dan budayanya. Ikatan itu dibuat melalui kontrak sosial.
Kontrak dibuat melalui ikatan struktur sosial; dan karena itu, hidup manusia terikat dalam struktur dan ia menjadi tidak bebas.
Ada keterbatasan diri yang harus disadari secara baik, dan keterbatasan ini memungkinkan kontrak, membangun kerjasama untuk menjaga hubungan yang baik antara individu, antara kelompok masyarakat dan antara negara.
Intelligent Virtue
Filsafat sebagai cinta akan kebijaksanaan harus dibawa ke ranah kebijaksaan untuk mencintai sesama.
Kebijaksanaan seperti ini direfleksikan melalui etika. Etika merefleksikan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam terang keadilan.
Manusia tidak hanya mengandalkan kebiasan hidup (habit) namun kebiasaan hidup itu dipandang baik jika direfleksikan sebagai dasar atas kebenaran moral dalam relasi dengan sesama yang lain.
Karena itu karakter sosial yang baik perlu dibentuk. Nilai etika dan politik senantiasa berorientasi pada “bonum commune”. Salah satu model eksplorasi filsafat tentang nilai etika dan politik yang baik adalah Aristoteles.
Melalui “Nicomachean Ethics,” Aristoteles mengajak kita untuk selalu hidup berdasarkan kebajikan (virtue). Kebajikan adalah patokan untuk merangkai kelimpahan makna hidup demi tujuan kebahagiaan bersama.
Di sini, “Intelligent Virtue” atau kebajikan yang cerdas menjadi alasan mengapa rasionalitas dan akal budi tidak cukup untuk dirinya sendiri.
Rasionalitas dan akal budi perlu selalu dituntun oleh cahaya kebijaksanaan demi suatu kebajikan hidup yang cerdas. Kebajikan hidup harus dilandasi oleh kecerdasan yang bijaksana.
Pada zaman di mana orang mengagungkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), filsafat mengingatkan kita untuk kembali kepada kekuatan maha penting dari “kebajikan yang cerdas” (intelligent virtue”).
Melalui filsafat, kita semua perlu dituntun kembali oleh cahaya kebajikan yang benar dan baik di dalam akal budi kita.
Kita memerlukan kekuatan kebajikan di dalam akal budi yang baik untuk memberi pertimbangan yang bijaksana sesuai situasi. Kita memerlukan refleksi filsafat untuk mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan, religiositas, keadilan dan kebenaran dalam setiap langkah hidup kita.
“Intelligent Virtue” berkenaan dengan kebajikan dan kebahagiaan sebagai nilai utama dalam hidup. Manusia menjalankan suatu kebajikan hidup dengan cara melibatkan penalaran praktis sebagaimana orang-orang pada umumnya menggunakan pikiran praktis mereka sebagai penuntun ketrampilan hidup yang baik dan benar.
Oleh karena itu, untuk memperoleh dan melatih suatu kebajikan di dalam hidup, orang perlu belajar dari keterampilan praktis yang ia tekuni setiap hari, sama seperti ketika seorang pemain tenis atau piano yang tekun berlatih setiap saat. Yang dibutuhkan adalah kesetiaan, intensitas, kedalaman, kecerdasan nurani, dan jalan tengah yang bijak di dalam aktivitas hidup itu. *
Editor : Redaksi