Oleh: RD. Reginald Piperno
ISU tentang geothermal kini kembali mencuat ketika bapak Uskup Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD secara tegas menyatakan menolak eksploitasi geothermal di seluruh wilayah Keuskupan Agung Ende.
Pernyataan ini disampaikan di hadapan para imam Keuskupan Agung Ende dalam acara Natal dan Tahun Baru bersama tanggal 6 Januari 2025 di rumah Keuskupan Agung Ende.
Pernyataan ini tentu lahir dari sebuah refleksi dan petimbangan yang matang dan tentu juga didukung dengan data-data lapangan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai seorang pemimpin gereja lokal, pernyataan tegas dari yang mulia ini memang patut diapresiasi. Tentu ada sekian banyak tanggapan terhadap pernyataan beliau ini.
Namun untuk masyarakat kecil yang selama ini mengalami dampak langsung dari proyek geothermal, pernyataan yang mulia ini, menjadi semacam angin segar di tengah ketidakpastian tentang nasib mereka.
Selama ini mereka yang berdampak hanya bisa meratap pilu dalam diam dan tidak tahu kemana mereka harus mengaduh. Pihak-pihak yang seharusnya menjadi tempat mereka mengaduh dan berlindung justru telah menjadi bagian dari proyek besar ini.
Karena itu, ketika Bapak Uskup Agung Ende secara tegas mengatakan bahwa menolak proyek geothermal di seluruh wilayah Keuskupan Agung Ende, lahirlah sebuah harapan dan semangat baru. Masyarakat yang berdampak mulai dengan berani menyampaikan secara terbuka tentang hal-hal apa yang sesungguhnya mereka alami ketika proyek panas bumi ini beroperasi.
Masyarakat Sokoria mulai mengeluhkan tentang menurunnya debit air dan secara kasat mata air terlihat berminyak dan tidak berbusa ketika menggunakan detergen untuk mencuci pakaian atau peralatan makan.
Wilayah Sokoria yang sebelumnya terkenal sebagai penghasil kopi arabika, saat ini tidak bisa berbuat banyak karena banyak pohon kopi yang mengalami kekeringan dan mati. Serta masih banyak persoalan sosial lainnya yang tengah mereka alami.
Berbagai persoalan ini tentu melahirkan keprihatinan gereja dan gereja melalui Bapak Uskup Agung Ende, menunjukkan keberpihakannya yang tegas dan jelas yakni menolak geothermal.
Mayoritas masyarakat kabupaten Ende pasti belum mengetahui bahwa kabupaten Ende saat ini sedang dikepung oleh proyek geothermal.
Wilayah utara Ende ada Lesugolo, yang izinan untuk survei sudah dikeluarkan oleh menteri ESDM Jero Wacik dalam surat keputusan No. 2492 K/30/MEM/2013, tanggal 12 Juni 2013.
Izinan survei untuk panas bumi di wilayah ini diserahkan kepada PT. Bumi Lesugolo Energi. Hingga Desember 2024 sudah sampai pada tahap pendekatan kepada para mosalaki dan pemilik tanah untuk pembebasan lahan.
Pergerakannya di lapangan sangat masif dilakukan baik oleh pemerintahan pusat maupun oleh pemerintah daerah dan dikawal oleh pihak keamanan. Sementara di wilayah selatan kabupaten Ende terdapat empat titik yakni Sokoria, Detusoko, Jopu dan Kombandaru.
Keempat titik ini, sudah sampai pada tahap izinan pemboran dan produksi. Semua izinannya diberikan kepada PT, Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) dengan luas wilayah kerja panas bumi (WKP) 42.570 Ha.
Konsesi Wilayah Kerja panas bumi PT. Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) mencakup 12 kecamatan yakni : Kecamatan Ende, Kecamatan Ende Timur, Kecamatan Ende Utara, Kecamatan Ende Tengah, Kecamatan Ende Selatan, Kecamatan Detusoko, Kecamatan Ndona, Kecamatan Ndona Timur, Kecamatan Kelimutu, Kecamatan Wolojita, Kecamatan Wolowaru dan kecamatan Lepembusu Kelisoke.
Ketika kami coba mengkonfirmasi di tiga wilayah yakni Detusoko, Jopu dan Kombandaru, masyarakat setempat tidak mengetahui soal lokasi proyek geothermal tersebut.
Sementara PT. Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) mengklaim bahwa persetujuan prinsip izin pembangunan dan penempatan bangunan sudah di peroleh dari bupati Djafar H. Achmad, MM, melalui surat nomor BU.620/PUPR.07/256/IV/2020 tanggal 3 April 2020.
Membaca peta geothermal yang ada dan melihat konsesi wilayah kerja panas bumi yang sudah mendapat izinan maka sudah pasti bahwa kabupaten Ende saat ini sedang berada dalam pusaran bahaya geothermal.
Kita bisa membayangkan kalau wilayah geothermal Lesugolo juga telah mendapat izinan untuk pemboran dan produksi maka sebagian besar kecamatan di wilayah utara Kabupaten Ende seperti kecamatan Wewaria, Kecamatan Maurole, Kecamatan Kotabaru dan kecamatan Lepembusu Kelisoke juga masuk dalam wilayah konsesi panas bumi.
Wilayah utara dan selatan kabupaten Ende kemudian akan terhubung dalam proyek geothermal. Pertanyaannya, apakah sebagai masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah tersebut di atas sudah siap untuk setiap saat menghirup gas H2S (sat asam sulfat/belerang) dan zat CO (zat karbon monosikda), gas-gas beracun dan mematikan yang dihasilkan dari proyek geothermal ini ?
Selain persoalan gas-gas ini tentu masih banyak persoalan turunan lainnya yang mengganggu kenyamanan dan hak hidup kita sebagai warga negara.
Apalagi sebagian besar titik-titik geothermal ini berada dalam pemukiman yang padat penduduk. Sudah pasti bahwa akan terjadi perampasan hak hidup dan perampasan wilayah serta perusakan alam dan lingkungan hidup yang sulit terbendung.
Sebagai warga masyarakat Kabupaten Ende, kita tentu tidak ingin bumi yang menjadi rahim Pancasila ini, tercabik-cabik karena proyek geothermal. Kita juga tentu tidak ingin suasana persaudaraan, kekeluargaan, kekerabatan yang menjadi ciri khas kita sebagai orang Ende- Lio, akhirnya rusak karena kepentingan-kepentingan tertentu.
Kita diajak untuk tidak gampang diadu domba untuk kepentingan pihak-pihak yang mencari keuntungan dengan mengorbankan sesama kita.
Karena itu sesuai dengan ajakan Bapak Uskup Agung Ende, mari kita sebagai warga masyarakat kabupaten Ende membangun resistensi bersama untuk mengatakan tidak terhadap berbagai proyek yang tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Kita tentu tidak alergi terhadap pembangunan. Namun jika sebuah proses pembangunan tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal dan tidak membawa kesejahteraan bagi banyak orang maka kita harus berani mengatakan “TIDAK”. Suara kita tentu sangat menentukan masa depan dari anak-cucu kita.*
Penulis adalah, Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migran Perantau Keuskupan Agung Ende).
Editor : Anton Harus