Oleh: Polykarp Ulin Agan
DI PENGHUJUNG Oktober 2025 ini, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, menjadi pusat perhatian dalam perayaan Festival Pangan Lokal dan Budaya NTT 2025. Tema yang didengungkan pun sarat dengan nuansa budaya: “Melestarikan Rasa, Menjaga Keberagaman Budaya”.
Khususnya subtema “Merajut Kisah Pangan Lokal dari Ladang ke Meja” menjanjikan sebuah ruang dialog yang mempertemukan berbagai perspektif.
Singkatnya, festival ini bukan hanya sebuah festival kuliner atau pameran budaya, melainkan sebuah wadah edukasi lintas perspektif.
Ia tidak hanya mengajak masyarakat memahami pentingnya keanekaragaman hayati dan pertanian berkelanjutan, tetapi juga menyentuh corak keberadaan masyarakat yang plural.
Salah satu aspek menarik dalam festival ini ialah kenyataan, bahwa melalui serangkaian lokakarya, demo memasak, dan pameran produk lokal, masyarakat diundang untuk tidak hanya merayakan warisan budaya masa lalu, tetapi juga menyiapkan langkah nyata bagi masa depan.
Dalam undangan ini tersirat sebuah ajakan untuk memikirkan kembali cara berdialog dan berinteraksi dengan keberagaman—baik itu dalam hal budaya, tradisi, atau bahkan pola pikir.
Dari Resistensi Menuju, Penyatuan Cakrawala
Bukan suatu hal baru, bahwa di banyak wilayah, termasuk NTT, gagasan kemajuan—entah itu tepat sasar atau tidak—sering kali dihadapkan pada resistensi kelompok yang memiliki pola pikir yang berbeda.
Petani tradisional, komunitas adat, dan kelompok etnis minoritas seringkali melihat model pembangunan modern yang top-down sebagai ancaman terhadap cara hidupnya yang sudah berlangsung selama berabad-abad.
Resistensi ini sering kali semakin nyaring, karena ritual panen, sistem ladang berpindah, atau pola kerja sama komunitas yang mereka praktikkan dianggap usang atau tidak relevan.
Mereka merasa, bahwa bahasa dan tradisinya tidak mendapat pemahaman yang memadai. Padahal sinergi yang menguntungkan justru terjadi ketika masing-masing kelompok merasa dimengerti dan dipahami.
Oleh karena itu dibutuhkan apa yang dinamakan dialog sejati, bukan sekadar konsultasi simbolis. Pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat direalisasikan lewat dialog sejati ini.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya











