Buruknya Penegakan Hukum dan Urgensitas Pendataan dan Pencegahan TPPO di NTT

- Jurnalis

Senin, 5 Juni 2023 - 22:39 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sarlianus Poma, S.Pd.,M.M

Sarlianus Poma, S.Pd.,M.M

Oleh: Sarlianus Poma, S.Pd.,M.M

SENIN, 22 Mei 2023, Komnas HAM RI melakukan kunjungan ke IRGSC.Dalam kunjungan tersebut Komnas HAM RI melakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC).

Untuk diketahui, IRGSC adalah lembaga penelitian kebijakan dan wadah pemikir yang terdiri dari generasi baru peneliti, ilmuwan, cendekiawan, intelektual publik dan pengusaha kebijakan yang berbasis di Indonesia. Kantor pusatnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Dalam forum tersebut yang disoroti adalah kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau Human Trafficking.

Saat diadakannya forum tersebut, penulis hadir dan ikut terlibat dalam forum tersebut. Hadir dalam forum tersebut Koordinator Sub Komisi Pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah dan Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI, Hari Kurniawan.

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) itu sendiri sangat bertentangan dengan hukum.

Pemerintah Indonesia menegaskan dalam Hukum Anti-Trafficking (UU No.21 tahun 2007) bahwa; Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Hari ini hampir sebagian besar orang NTT minatnya tinggi untuk bekerja di luar ketimbang di daerahnya sendiri, meski masih ada yang memilih bertahan hidup dan bekerja di NTT. Tentu ini ada masalah serius yang perlu ditelusuri.

Dalam konteks ini, Negara (Pemerintah Provinsi) tidak melarang warganya untuk bekerja di luar negeri asalkan legal dan melalui prosedur yang jelas. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Fakta yang ditemukan bahwa pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT makin berminat untuk bekerja di luar negeri lewat jalur nonprosedural.

Digitalisasi perekrutan sangat tinggi lewat media sosial, facebook, instagram, WhatsApp, dll.Salah satu faktor pemicu utama PMI asalNTT yang berada di desa-desa atau kampung-kampung bekerja di luar negeri adalah tergiur dengan iming-iming gaji tinggi.

Namun, faktanya tidak seperti yang dijanjikan di awal. Yang terjadi adalah mereka tidak mendapatkan gaji tinggi dan mereka justru mendapat perlakuaan yang tidak senonoh.Mereka justru diperdagangkan layaknya barang.

Mereka diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.

Sehingga akibat dari perbudakan tersebut, banyak yang menjadi korban.Dan korban dipulangkan ke daerah asalnya dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Banyak jenazah korban yang dikirim, sebagian organ tubuhnya sudah tidak lengkap lagi.

Itu dibuktikan dengan adanya kiriman 55 jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT. Setelah diidentifikasi, ternyata ada beberapa korban yang berangkat dengan usia masih dibawah umur. Ini diduga akibat tekanan hidup di dalam keluarga dan beban ekonomi yang dialami korban.Kita tentu menjadi galau karena tingginya angka jenazah yang dikirim ke NTT.

Penerimaan jenazah terlihat tinggi.Namun berbeda dengan yang disampaikan Polda NTT.Menurut Polda NTT bahwa kasus TPPO di NTT tergolong rendah.Hal ini menunjukkan bahwa semacamada  ketidakselarasan data yang ditemui pihak LSM atau NGO sama pihak aparat kepolisian.

Ketidakselarasan data ini akan memicu kebingungan publik NTT. Kebingungan ini akan bermuara pada ketidakpercayaan publik terhadap data dari aparat kepolisian. Karena bisa saja ada dugaan bahwa ada data korban yang sengaja dihapus atau dihilangkan dari sistem.Dan memang ada indikasi penghapusan data kepulangan migran yang melapor secara resmi ke pihak aparat terkait.

Maraknya para pekerja migran Indonesia asal NTT yang bekerja ke luar negeri lewat jalur nonprosedural mencerminkan lemahnya pengontrolan pergi dan pulang oleh aparat kepolisian dan gugus tugas. Salah seorang peserta diskusi yang juga aktif dan selalu mengikuti perkembangan kasus TPPO NTT, mengungkapkan bahwa ada sejumlah 55 jenazah PMI yang dikirim ke NTT.

Baca Juga :  Tradisi Bakar Lilin dan Pesan Natal untuk Masyarakat

Ini ada persoalan pengontrolan oleh Satgas.Satgas harus mampu memetakan titik-titik transitnya para pekerja migran tersebut.Titik transitnya ada di Batam, Medan, dan Jakarta.Dan Malaysia menjadi target utama para pencari kerja Indonesia.

Menanggapi jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang semakin besar, Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).

Dalam pengimplementasian UU tersebut, telah diterbitkan beberapa peraturan pengikat, diantaranya: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO; (2) Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO; dan (3) Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang Standar Operasional Prosedur Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO.

Penegakan Hukum TPPO Buruk

Saat ini Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah mendapat kiriman 55 jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI).Meningkatnya jumlah pengiriman jumlah jenazah korban TPPO ini mencerminkan masih lemah dan buruknya sistem penegakan hukum TPPO.

Penegakan hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Provinsi NTT buruk.Sudah begitu, upaya pencegahan pun tidak dilaksanakan secara baik.Ini semakin diperparah dengan berbagai aturan dan regulasi khususnya terkait Peraturan Daerah (Perda) TPPO yang cuma bagus di atas kertas, tapi implementasi di lapangan sangat buruk.Artinya regulasi hanya bersinar di atas kertas tapi menjadi gelap ketika implementasi di lapangan.

Boleh dikatakan, Provinsi NTT rawan TPPO, tapi minim koordinasi.Menurut Koordinator Sub Komisi Pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah bahwa buruknya penegakan hukum TPPO di NTT karena aparat penegak hukum (APH) mulai dari polisi, jaksa dan hakim atau secara institusional (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) tidak memiliki persepsi yang sama terkait implementasi penegakan hukum TPPO.

Ada banyak laporan terkait TPPO tetapi sedikit yang diproses.Sudah begitu, dari sedikit yang diproses itu, banyak vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku TPPO yang ringan dan tidak memenuhi rasa keadilan.

Padahal, TPPO adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). TPPO adalah bentuk perbudakan manusia di zaman modern. Tapi sayangnya, para pelaku kejahatan internasional tersebut lebih sering mendapat hukuman yang ringan saat diproses secara hukum di Provinsi NTT.

Selain itu Publik NTT juga mempertanyakan fungsi gugus tugas apa masih ada atau tidak? Hasil investigasi Tim Riset di lapangan bahwa memang Satgas NTT sudah tidak jalan sejak tahun 2020. Ada 2 Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Gubernur pada 2019 dan SK tersebut dipegang oleh Satgas.

Kemudian pada 2020, ada SK baru yang dikeluarkan oleh Gubernur dan SK tersebut tidak disebarkan ke petugas Satgas. Sehingga di sini terlihat jelas bahwa tidak adanya koordinasi dan integrasi dalam penanganan kasus TPPO. Akibatnya, muncullah indikasi saling tuding menuding antarsatgas dan akhirnya kerjasama antarsatgas dan fungsi koordinasi tidak jalan.

Aspek Pendataan dan Fungsi Kontrol

Negara tampak lemah dalam menjalankan fungsi kontrol terkait dokumen kepulangan parah PMI. Ada anggapan bahwa dokumen untuk berangkat bekerja itu tidak penting. NTT semacam kehilangan dokumen untuk teman – teman atau PMI asal NTT yang berangkat ke luar negeri untuk bekerja.

Itu semakin diperparah ketika moratorium diberlakukan, banyak yang berangkat lewan jalan tikus atau jalur nonprosedural (illegal). Moratorium ini justru mempermudah orang untuk berangkat ke luar tanpa dokumen.Meski moratorium TKI sudah diterapkan, namun korban TPPO terus berjatuhan.

Perda No.19 tahun 2022 yang berisi tugas dan fungsi OPD terkait hampir semuanya sama dan itu membuat kebingungan teman-teman OPD dalam menjalankannya. Pemerintah terkesan melanggengkan proses pengiriman teman-teman atau saudara kita yang bekerja ke luar negeri tanpa prosedural.

Baca Juga :  Kita Bermakna Dalam Waktu dan Kita Pun Dikenang Dalam Waktu (Catatan Akhir Tahun 2023)

Hasil temuan Rumah Harapan bekerjasama dengan salah satu Yayasan terkait bahwa memang dokumen kedatangan PMI asal NTT ke tingkat desa tidak ada. Hampir semua desa di NTT tidak punya data yang lengkap dan valid terkait teman-teman yang berangkat untuk bekerja di luar negeri.Begitu pula data kepulangannya tidak ada.Harusnya desa punya data-data tersebut.

Data ini menjadi satu problem besar. Di desa, berdasarkan data BPS Laporan Bulanan tidak ada sama sekali, karena memang secara aturan itu tidak ada kewenangan desa untuk melakukan pendataan migran. Padahal, mestinya data ini penting sekali.

Di desa-desa sudah ada fasilitator-fasilitator yang berkunjung ke desa, dan mestinya ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan pendataan para calon migran yang hendak berangkat ke luar negeri dan juga data kepulangan para migran.

Data ini sungguh sangat penting sebagai langkah pendeteksian untuk pencegahan. Pentingnya fungsi pendataan secara akurat di tingkat desa untuk menjaga adanyaindikasi penghapusan data kepulangan migran yang melapor secara resmi ke pihak aparat terkait.

Selain peran pemerintah desa, aparat kepolisian dan gugus tugas juga sangat dibutuhkan.Banyak PMI asal NTT yang berangkat lewat jalur laut tanpa prosedural.Ada sejumlah 3 kapal perintis yang masuk ke pelabuhan di Kupang. 3 kapal ini adalah hasil buatan program Pemerintahan Jokowi.

Kapal inilah yang menjadi sarana transportasi buat para migran untuk berangkat bekerja ke luar negeri. Perlu ada upaya identifikasi oleh pihak aparat terkait keberangkatan migran yang nonprosedural. Nah, di sini sangat dibutuhkan fungsi kontrol dari aparat kepolisian dan gugus tugas.

Pemerintah Provinsi sendiri harus punya data keberangkatan dan data kepulangan yang akurat dan valid.Oleh karena itu, pentingnya mendorong Pemerintah Provinsi NTT untuk melihat dan mendatakan calon migrasi secara baik dan harus ada fungsi kontrol. Sampai Mei 2023 tercatat sebanyak 55 jenazah telah diterima Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT.Warga NTT itu diketahui merupakan PMI illegal atau non-prosedural.

Aspek Pencegahan

Aspek pencegahan TPPO di NTT masih sangat minim baik di tingkat provinsi maupun di beberapa kabupaten. Padahal dari aspek kelembagaan dan aturan sudah sangat mumpuni dan sangat baik.

Lemahnya aspek pencegahan ini tidak harus menjadi batu sandungan untuk menangani kasus TPPO di NTT. Itu dijadikan sebagai pelajaran dan bahan evaluasi untuk memperbaikinya. Langkah perbaikan ini bisa dimulai dari lingkup kecil, desa misalnya.

Langkah pencegahan ini bisa dimulai dari desa. Pemerintah Desalah yang paling tahu terkait keberangkatan masyarakatnya. Pemerintah desa harus bisa mendata secara baik warganya yang hendak berangkat kerja ke luar. Fungsi kontrol bisa dimulai dari desa. Karena di situ ada BPSnya ada POSnya, sehingga itu bisa didata.

Pemerintah Desa harus mampu untuk mendata itu secara rapi. Desa harus punya kemampuan itu.Selain itu mesti ada satu Call Center di mana kalau mereka tidak jelas di desa, mereka bisa ke Call Center.

Isu TPPO adalah isu yang sangat mengerikan.Untuk menangani TPPO, kita tidak bisa bekerja sendirian, ini membutuhkan sinergitas mulai dari hulu hingga ke hilir untuk meminimalisir dan memutus mata rantai masalah ini.

Kejahatan TPPO adalah kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime), oleh karena itu sangat dibutuhkan komitmen dan kerja sama luar biasa (Extraordinary Work) dari semua pihak, baik Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Provinsi maupun pihak Gereja. Peran Gereja juga dilibatkan dan sangat dibutuhkan untuk menangani masalah TPPO ini.

Sementara itu, Komnas HAM mendorong upaya pencegahan menggunakan perspektif HAM, mengutamakan hak konstitusional warga, artinya Negara punya kewajiban untuk melindungi pekerja migran agar aman dan terhindar dari kerentanan TPPO saat bekerja di luar negeri.*

Penulis adalaf Staff Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IEU Surabaya, Coordinator of STIM Kupang “International Class”, dan Researcher

Berita Terkait

Pembelajaran Mendalam: Fondasi Baru Pendidikan Indonesia?
Koperasi Merah Putih di NTT: Peluang atau Ancaman bagi BUMDes?
Pendidikan Karakter Berbasis Komunitas: Kolaborasi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Orang Pintar Restui Tindakan Main Hakim Sendiri (PT Krisrama Pelanggar HAM atau Sebenarnya Korban?)
Flores: Dari Pulau Bunga Menuju Pulau Panas Bumi
Memutus Rantai TPPO NTT (Sebuah Ajakan Transformatif)
Makan Bergizi Gratis, Menu Sehat untuk Generasi Emas
Tolak Proyek Geothermal Demi Keutuhan Ciptaan (Dukungan “Kecil” atas Sikap Tegas Uskup Agung Ende)
Berita ini 8 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 18 Maret 2025 - 21:59 WITA

Pembelajaran Mendalam: Fondasi Baru Pendidikan Indonesia?

Selasa, 18 Maret 2025 - 19:57 WITA

Koperasi Merah Putih di NTT: Peluang atau Ancaman bagi BUMDes?

Minggu, 23 Februari 2025 - 19:57 WITA

Pendidikan Karakter Berbasis Komunitas: Kolaborasi untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Rabu, 19 Februari 2025 - 21:34 WITA

Orang Pintar Restui Tindakan Main Hakim Sendiri (PT Krisrama Pelanggar HAM atau Sebenarnya Korban?)

Kamis, 23 Januari 2025 - 08:34 WITA

Flores: Dari Pulau Bunga Menuju Pulau Panas Bumi

Berita Terbaru

Nusa Bunga

KKJ Kecam Teror Kepala Babi Terhadap Jurnalis Tempo

Sabtu, 22 Mar 2025 - 22:40 WITA

Tim Kuasa hukum PT Krisrama saat memberikan keterangan kepada media setelah mmebuat laporan polisi di Polda NTT, Jumat (21/3/2025)

Nusa Bunga

PT Krisrama Polisikan Kasus HGU Nangahale di Polda NTT

Sabtu, 22 Mar 2025 - 20:15 WITA

Kadis Kominfo Kabupaten Sikka Very Awales (kanan) bersama Direktur RSUD TC Hillers Maumere,dr.Clara Yosefine Francis.(FOTO : EBED DE ROSARY)

Nusa Bunga

Pemda Sikka Garap Perbup untuk Bayar Uang Jasa Covid-19

Sabtu, 22 Mar 2025 - 19:49 WITA