Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
‘SEMANA SANTA’ dan ‘Sole Oha’ di Larantuka telah ditetapkan sebagai ‘Warisan Budaya Tak Benda Nasional’. Pengakuan ini memberi makna penting bagi masyarakat Flores Timur.
Dari sisi kajian antropologi agama, khususnya pendekatan simbolik, keduanya memuat pesan spiritual dan sosial yang mendalam. Tulisan sederhana ini mencoba menarik pesan itu.
Prosesi Tuan Ma dan Tuan Ana dalam tradisi Semana Santa Lamaholot tidak dapat dipahami semata sebagai arak-arakan seremonial. Patung-patung tersebut merepresentasikan dua tema besar yakn ‘penderitaan’ sekaligus ‘harapan’ umat beriman.
Jalan salib yang dilalui bukan hanya rute ritual, melainkan ruang refleksi mendalam, tempat umat menyatukan diri dengan kisah sengsara Kristus.
Dalam konteks ini, simbol menjadi medium spiritual yang menghubungkan pengalaman lokal dengan narasi universal iman.
Menurut antropolog Victor Turner (1969), ritus semacam ini mengandung dimensi communitas. Dimensi itu merupakan suatu ‘pengalaman kolektif’ yang melampaui struktur sosial formal dan menyatukan individu dalam kesadaran spiritual yang sama.
Prosesi Semana Santa menjadi ruang di mana umat mengalami penderitaan dan pengharapan secara bersama, melintasi batas kampung, kelas sosial, dan status ekonomi.
Ritus Sole Oha memperkaya prosesi Semana Santa dengan dimensi lokal yang khas. Tarian, nyanyian, serta penggunaan bahasa adat berpadu dalam satu kesatuan liturgis.
Simbol-simbol ini menjadi titik temu antara iman Katolik dan budaya Lamaholot, menghadirkan perjumpaan yang bermakna antara tradisi leluhur dan spiritualitas universal.
Antropolog Clifford Geertz (1973) menekankan bahwa simbol budaya tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga membentuk cara umat memahami dunia.
Halaman : 1 2 Selanjutnya











