Oleh: Steph Tupeng Witin
AKHIRNYA, para mafia itu keluar juga dari liang persembunyian. Selama ini, institusi Polri dijadikan semacam bunker pelindung bagi kejahatan yang mereka lakukan.
Berbagai tulisan saya tentang dugaan praktik mafia dan penderitaan warga di kawasan terdampak Waduk Lambo perlahan menyingkap wajah asli jaringan mafia yang melibatkan oknum aparat penegak hukum.
Senin, 21 Oktober 2025, seseorang melaporkan saya ke Polres Nagekeo atas nama mantan Kapolres AKBP Yudha Pranata dan AKP Servulus Tegu. Mereka mengaku dirugikan oleh opini saya berjudul “Ketika Keadilan Dirampas Kekuatan Mafia Nagekeo” yang terbit di Florespos.net, sehari sebelumnya.
Mereka marah, mungkin karena merasa tersingkap. Tapi bagi saya, laporan itu justru mengonfirmasi kebenaran yang sedang saya perjuangkan: bahwa ada luka moral yang dalam di tanah Nagekeo, dan ada kekuatan gelap yang ingin menutupinya dengan intimidasi dan teror.
Laporan kepada polisi sungguh merupakan sebuah tindakan kriminalisasi kepada penulis. Bukankah tulisan harus dibalas dengan tulisan? Mengapa tulisan harus dilawan dengan pedang hukum yang ada di tangan jaringan para mafia itu? Hal yang lebih subtil: mengapa kita mesti takut akan teror gerombolan mafia yang sedang panik luar biasa?
Polisi Berwajah Mafia
Kasus ini hanyalah puncak gunung es dari persoalan besar yang telah lama menggerogoti sendi-sendi keadilan di Nagekeo.
Dalam berbagai tulisan “Nagekeo dalam Cengkeraman Mafia?”, “Ketika Mafia Merampok Rezeki Warga di Waduk Lambo”, Rakyat Nagekeo Harus Tolak Bungkan (Dukungan untuk Suka Redu, Gaja dan Isa)”, “Mempertanyakan Posisi Moral Pater Mill”, “Polemik, Kronologi 14 Bidang Tanah dan Terempasnya Dus Wedo”, dan “Ketika Keadilan Dirampas Kekuatan Mafia Nagekeo”, saya berulang kali menegaskan bahwa yang kita hadapi bukan sekadar konflik tanah atau proyek pembangunan, melainkan sistem mafia yang melibatkan sejumlah oknum: polisi, pengacara, wartawan, pengusaha, dan masyarakat lokal yang dijadikan “tuan tanah palsu.”
Dalam lingkaran mafia itu, kekuasaan dijadikan alat untuk memperdagangkan keadilan. Ketika rakyat kecil melapor ke polisi, laporannya mentah karena yang dilaporkan adalah kawan atau bagian dari jaringan itu sendiri. Dan yang paling ironis, ketika polisi menjadi bagian dari mafia, kepada siapa lagi rakyat akan mencari perlindungan?
Contohnya, pada hari yang sama, 21 Oktober 2025, AKP Servulus Tegu-seorang perwira Polres Nagekeo sekaligus pemilik Cokelat Café-meneror seorang mahasiswa kritis asal Rendu, Narsinda Gatu Tursa, yang berkuliah di Kupang.
Hanya karena mengkritik Tegu di grup WhatsApp, sang mahasiswa diancam akan “berurusan” ketika pulang ke Flores jika tidak meminta maaf terbuka. Ini bukan sekadar arogansi pribadi, melainkan gejala institusional: penyalahgunaan kewenangan untuk menakut-nakuti rakyat.











