Pidato Prabowo di PBB:  Suara  Global, Tanya dari Desa (Sebuah refleksi di Hari Tani Nasional)  

- Jurnalis

Kamis, 25 September 2025 - 08:10 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Zefirinus Kada Lewoema

Zefirinus Kada Lewoema

Oleh : Zefirinus Kada Lewoema

TANGGAL 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional, berdasarkan Keppres No. 169 Tahun 1963 untuk mengenang lahirnya UUPA 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria). Hari ini menjadi simbol perjuangan petani melawan ketidakadilan agraria dan janji reforma yang tak kunjung tuntas.

Tahun 2025, Hari Tani terasa istimewa sekaligus ironis. Pada hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidatonya di Sidang Umum PBB ke-80 di New York-Amerika Serikat.

Dua peristiwa yang bersamaan ini memperlihatkan kontras mencolok: satu di panggung diplomasi global, satu di sawah, ladang, dan jalanan desa Indonesia.

Bagi petani, peringatan Hari Tani adalah ruang menagih janji reforma agraria. Bagi Presiden, podium PBB adalah tempat menyuarakan keadilan global.

Pertanyaannya: apakah suara global itu juga menjawab harapan petani yang sedang berteriak di jalanan tanah air?

Dari Kolonialisme ke Diplomasi Global

Dalam pidatonya, Prabowo menyinggung sejarah kolonialisme yang pernah menindas Indonesia. Solidaritas internasional, termasuk PBB, ikut meneguhkan kemerdekaan bangsa ini. Itu adalah bahasa anti-kolonial: bangsa yang dulu dijajah kini menuntut keadilan dunia.

Namun bagi masyarakat desa, kolonialisme hadir dalam bentuk baru: tanah tergadai, laut terprivatisasi, benih lokal tersingkir oleh varietas impor.

Karena itu, pidato anti-kolonial di PBB hanya bermakna bila juga digunakan untuk membela petani dan nelayan kecil.

Gaza, Desa, dan Solidaritas

Prabowo menolak kekerasan terhadap warga sipil Gaza. Dunia melihat itu sebagai pesan moral. Desa melihatnya sebagai bagian dari kearifan lokal: perang hanya sah untuk bertahan hidup; menyerang anak-anak dan perempuan adalah aib besar.

Solidaritas dengan Palestina menyentuh hati. Tetapi desa pun bertanya: mengapa kita bisa begitu peduli pada tanah jauh, sementara reforma agraria di tanah sendiri belum juga tuntas?

Solusi Dua Negara dan Musyawarah Adat

Baca Juga :  Dinamika Politik Lokal: Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan

Prabowo menegaskan dukungan Indonesia pada solusi dua negara, bahkan membuka peluang diplomatik dengan Israel jika Palestina diakui.

Bagi desa, ini mirip musyawarah adat menyelesaikan sengketa tanah. Perdamaian tak akan lahir tanpa pengakuan. Dalam tradisi agraris, musyawarah ditutup dengan makan bersama; simbol bahwa hidup bersama bisa dilanjutkan. Diplomasi Indonesia di PBB sejalan dengan nilai itu.

Reformasi PBB dan Suara dari Selatan

Prabowo menyerukan reformasi PBB agar lebih adil. Ia melanjutkan jejak Soekarno (1960), SBY (2005–2013), dan Jokowi (2020). Meskipun berbeda dalam gaya, benang merah keempat pemimpin negara itu sangat terlihat; Indonesia selalu bicara dari posisi bangsa yang pernah dijajah, menuntut tata dunia yang lebih adil.

Dalam perspektif post-colonial, reformasi global sangat penting. Negara kuat masih menguasai pasar dunia, sementara petani kecil menanggung risiko. Reformasi berarti memberi ruang bagi suara Global South, termasuk desa-desa Indonesia.

Swasembada Beras dan Bantuan ke Palestina

Prabowo menegaskan Indonesia kini swasembada beras, bahkan mengekspor dan memberi ribuan ton beras ke Palestina. Dunia menilainya sebagai tanda percaya diri Indonesia. Namun desa bertanya: apakah swasembada ini membuat harga gabah lebih baik? Apakah pupuk tersedia? Apakah benih lokal dilindungi?

Swasembada sejati bukan sekadar surplus statistik, tetapi kesejahteraan petani. Bantuan beras ke Palestina mulia, tetapi bila di desa sendiri masih ada anak-anak keracunan makanan bergizi (MBG) atau panen yang merugi, maka paradoks terasa kuat.

Diplomasi sebagai Pertanian Moral

Prabowo menolak kebencian dan apartheid. Pesan ini mudah dipahami petani: bila menanam dengan tamak, tanah cepat rusak; bila merawat dengan sabar, hasilnya lestari. Diplomasi sejati, seperti bertani, adalah pertanian moral: menanam keadilan, merawat harmoni, berpikir lintas generasi.

Dinamika di Seputaran Momentum Pidato

Baca Juga :  Pemimpin dan Transformasi Roh Sang Pemimpin

Pidato Prabowo memunculkan beragam reaksi. Media Israel menyoroti janji jaminan keamanan Israel dan salam “Shalom”; memberi pesan bahwa Indonesia diperhatikan bahkan oleh pihak yang sulit ditembus. Pemerintah Indonesia menyebut pidato ini bukti Indonesia masuk jajaran “negara berpengaruh.”

Media internasional melaporkan “dunia kagum,” bahkan ada warga AS yang bersama-sama menonton pidato. Bersamaan dengan itu, ribuan petani berdemo di DPR dan Istana, menuntut reforma agraria sejati. Dinamika ini menunjukkan: pidato memberi kebanggaan simbolik, tetapi rakyat menuntut bukti konkret.

Antara Aula PBB dan Balai Desa

Kontrasnya terasa jelas: aula PBB penuh tepuk tangan, balai desa penuh keluhan. Perspektif rural development menegaskan: diplomasi global hanya bermakna bila berpantulan di desa. Jika di luar negeri bicara keadilan, di dalam negeri pun keadilan agraria harus hadir.

Dari Desa untuk Dunia

Tiga langkah agar suara global bermakna di sawah dan ladang: Kedaulatan pangan; swasembada harus berarti petani sejahtera.

Pengakuan pengetahuan lokal; kebijakan pangan harus menghargai cara bertani tradisional.

Reformasi global yang membumi; perubahan di PBB harus berdampak pada harga stabil, pupuk adil, perlindungan nelayan dan petani kecil.

Penutup: Hari Tani sebagai Cermin

Hari Tani Nasional dan pidato Presiden Prabowo di PBB jatuh di hari yang sama; 24 September 2025. Satu suara menggema di dunia, satu suara berteriak di jalanan desa.

Solidaritas dengan Palestina adalah tanda kemanusiaan. Solidaritas dengan petani sendiri adalah ujian keadilan domestik. Diplomasi sejati bukan hanya tepuk tangan di New York, melainkan juga rasa lega di balai desa. Ketika suara global bertemu suara lokal, barulah pidato presiden benar-benar berarti.*

Penulis adalah, candidate doktor dalam bidang knowledge, technology and Innovation, di Wageningen University and Research, Belanda.

Berita Terkait

Estetika Harapan dari Tangan Perempuan Solor
Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Elite
Retret Kepemimpinan, Etika Politik dan Sensitivitas Publik
25 Tahun Anugerah Imamat dan Misi
“Janji Palsu di Tanah Suci”
Buku, Pemahaman dan Tindakan Destruktif
DPRD dan Wajah Budaya Politik Lembata (Sisipan Ide untuk Steph Tupeng Witin)
Seni Pertunjukan sebagai Laboratorium Sosial (Sisip Gagas untuk Festival Siswa Flores Timur 2025)
Berita ini 49 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 25 September 2025 - 08:10 WITA

Pidato Prabowo di PBB:  Suara  Global, Tanya dari Desa (Sebuah refleksi di Hari Tani Nasional)  

Rabu, 24 September 2025 - 15:46 WITA

Estetika Harapan dari Tangan Perempuan Solor

Rabu, 24 September 2025 - 13:54 WITA

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Elite

Selasa, 23 September 2025 - 20:26 WITA

Retret Kepemimpinan, Etika Politik dan Sensitivitas Publik

Selasa, 23 September 2025 - 11:12 WITA

25 Tahun Anugerah Imamat dan Misi

Berita Terbaru

Bupati Ngada, Raymundus Bena

Nusa Bunga

Kabupaten Ngada Tuan Rumah Festival Gayain 2025

Kamis, 25 Sep 2025 - 11:37 WITA

Ketua DPC PKB Matim, Yohanes Rumat

Nusa Bunga

Misteri Map Hijau Guncang PKB Manggarai Timur

Rabu, 24 Sep 2025 - 19:55 WITA