Oleh: Sarlianus Poma, S.Pd.,M.M
PEMIMPIN, menurut Hersey dan Blanchard, “pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi.”
Pemimpin yang dimaksud dalam tulisan ini adalah para pejabat publik, politisi, pimpinan lembaga/institusi, pimpinan organisasi, entah organisasi politik, olahraga, dan bidang apapun dimanapun.
Pemimpin adalah seorang terpercaya yang dipercayakan oleh orang-orang yang dipimpinnya, seseorang yang diberi kepercayaan sebagai ketua (kepala) dalam sistem di sebuah organisasi/perusahaan atau lembaga apapun.
Secara sederhana, pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan, power, kompetensi dan kuasa tertentu untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok.
Dalam diri sang pemimpin melekat roh atau jiwa (spirit), energi (energy),kehendak (willingness) sebagai penggerak untuk bertindak (taking action).
Menurut Friedrich Nietzche, seorang filsuf asal Jerman yang sepanjang karirnya mengeskplorasi gagasan tentang “Kehendak untuk Berkuasa-Will to Power”.
Kehendak untuk berkuasa, menurut Nietzsche adalah energi atau dasar pendorong manusia untuk bertindak.
Dalam bertindak, seorang pemimpin harus punya roh untuk menggerakkan, mengarahkan, menuntun, mengendalikan apa yang dipimpin, memiliki visi misi yang jelas, mampu mengeksekusi visi misi dan tentunya pandai dalam berkomunikasi.
Roh atau jiwa (spirit) ini bisa dikatakan sebagai energi(energy) atau dasar pendorong manusia (baca: pemimpin) untuk bertindak (take action).
Transformasi Roh Sang Pemimpin
Menarik kalau membaca transformasi roh sang pemimpin di zaman ini bila dipandang dari perspektif Friedrich Nietzche.
Ada tiga (3) macam transformasi roh ala Friedrich Nietzche, yaitu Unta, Singa, dan Bayi.
Dalam buku Gaya Filsafat Nietzsche karya Romo Augustinus Setyo Wibowo, S.J, seorang dosen aktif di STF Dryarkara menulis demikian: Ada tiga macam transformasi roh yang mungkin terjadi dalam diri satu orang yang sama (baca: pemimpin): Unta, Singa, dan Bayi.
Di dalam buku tersebut dijelaskan sikap Unta adalah sikap iya secara naif terhadap apa saja yang datang. Sakit, sebagai salah satu dari banyak segi kehidupan, diiyai secara naif oleh roh berujud Unta.
Iya,datanglah hai rasa sakit, aku menghendakimu, aku justru membutuhkanmu lebih banyak lagi. Aku butuh cobaan, aku butuh dicobai, sebab tanpa cobaan, jadi apa aku ini? Roh Unta selalu membutuhkan beban eksternal agar dia memiliki pegangan hidup.
Eksistensi dirinya didapat dari reaksinya terhadap beban eksternal. Ia hanya ada sejauh beban itu ada, reaksi atas beban ituyang membuat Unta merasa berjatidiri.
Roh Unta bukanlah roh yang sadis (yang suka menyakiti orang lain), sebaliknya, ia justru cenderung masokhis (menikmati rasa sakit, memuja rasa sakit sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri).
Ia percaya bahwa eksistensi dirinya akan melayang-layang tanpa kepastian bilamana beban sakit diambil dari dirinya.
Sekarang ini, tak jarang kita menemukan tipe pemimpin dengan roh berujud unta, yang iya secara naif terhadap apa saja yang datang.
Ia menanggung semuanya yang diterimanya tanpa mempertimbangkan bahwa beban yang dipanggulnya adalah hampa makna.
Sikap iya naif tampak halus, bagus, suci,namun bila terus dijalankan akan berakibat menghancurkan dirisi Unta sendiri, diri sang pemimpin sendiri.
Sakit yang diiyai secara naif pun akan menghancurkan dan merusak diri sangpenanggung rasa sakit, sang pemimpin itu sendiri.
Pemimpin dengan roh berujud unta ini cenderung menanggung banyak beban dan eksklusif.
Ia menutupi penderitaannya dengan senyuman. Ia cenderung masokhis (menikmati rasa sakit, memuja rasa sakit sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri).
Realita bisa kita ketahui dan saksikan beberapa hari terakhir ini terkait dinamika yang terjadi di internal tubuh organisasi politik.
Saya tidak perlu menyebutnya secara spesifik organisasi politik yang mana, namun publik Indonesia pasti mengetahuinya.
Bila sang pemimpin lemah, rapuh, dan tidak kuat menahan godaan serta cenderung iya secara naif terhadap apa saja yang datang, maka ia akan digoyang, diganggu, diancam, dipotong atau ditumbangkan atau bahkan dibunuh secara halus.
Hingga akhirnya ia merasa tertekan dan terancam, dan berakhir pada pengambilan sikap mengundurkan diri.
Ia tahu, namun tak semua yang ia tahu harus diberitahu.Unta, roh penurut yang lemah, yang takut berhadapan dengan realitas sehingga realitas ia tanggung (bahkan lalu dinikmati) sampai ia sendiri hancur.
Ia berada dalam lingkaran perkelahian hati nurani, beban pikiran, beban psikologis, dan beban moral. Ia secara persona mungkin menyadari bahwa ia dianggap ada sejauh beban itu ada.
Reaksi atas beban itu membuat sang pemimpin berujud unta merasa punya jati diri. Iamenyimpan beban-beban itu, karena ia menyadari bahwa eksistensi dirinya akan melayang-layang tanpa kepastian bilamana beban sakit diambil dari dirinya.
Sementara, roh Singa adalah kebalikan dari roh unta. Singa adalah roh menidak naif yang tahunya hanya mengatakan tidak, karena takut apa pun yang menyentuhnya akan menundukkannya, akan merebut wilayah kekuasaannya.
Apa saja yang datang adalah ancaman, harus ditendang jauh-jauh. Reaktif, itulah kata yang tepat untuk memperlihatkan paranoia roh Singa yang menggelegak penuh curiga dan melawan apa saja yang datang.
Tipe pemimpin berujud roh singa bisa diketahui dan ditemukan di sebuah organisasi politik (partai politik) yang memiliki idealisme partai dan ideologi partai yang sangat kuat.
Saking kuatnya, sehingga organisasi (partai politik) ini sangat sulit diatur dan ditumbangkan oleh rezim kekuasaan saat ini.
Pemimpin dan organisasi politik (partai politik) ini hampir terjebak oleh tawaran seorang penguasa tertinggi negeri saat ini, namun pemimpinnya menolak.
Sekali lagi, saya tidak perlu menyebut secara spesifik siapa nama pemimpin dan organisasi politik/partai politik yang mana, namun publik Indonesia pasti mengetahuinya siapa yang menolak tawaran kekuasaan dari penguasa untuk terus berkuasa kala itu.
Penolakan tawaran dari rezim kekuasaan yang tak peduli konstitusi Negara tentu menunjukkan sikap dan kualitas sang pemimpin tersebut.
Penolakan itu tentu punya landasan hukum yang jelas karena sang pemimpin tidak ingin konstitusi dan demokrasi di negeri ini diobrak-abrik dan dirusak oleh rezim yang haus akan kekuasaan.
Tipe pemimpin dengan roh berujud singa adalah pemimpin yang berani menidak naïf terhadap apa saja yang datang. Tentu apa saja yang datang tersebut berupa intensi buruk dengan tujuan pragmatis, dengan tujuan merusak konstitusi Negara.
Pemimpin berujud roh singa berani mengatakan tidak terhadap apapun yang menyentuhnya, berupa godaanakan tawaran-tawaran kekuasaan yang pragmatis, karena baginya itu akan meruntuhkan valuenya, merusak martabatnya sebagai pemimpin dan akan berdampak pada kehancuran organisasi yang dipimpinnya.
Itu adalah ancaman, sehingga harus ditendang jauh-jauh. Sikap reaktif, itulah kata yang tepat untuk memperlihatkan paranoia roh Singa yang menggelegak penuh curiga dan melawan apa saja yang datang.
Kemudian timbul pertanyaan demikian; Cukupkah independensi dipertahankan dengan energi yangterkuras untuk senantiasa menidak?
Bukankah sikap tidaknaïf hanyalah ekstrem lain dari iyanaif yang merupakan dua sisi dari keping mata uang yang sama, yaitu sikap buruburu serba naif itu sendiri, sikap reaktif yang artinya menggantungkan diri pada sesuatuyang eksternal?
Semoga penidakkan secara naif dari pemimpin berujud roh singa tidak hanya sekedar ujud sok kuat dari roh yang juga sebenarnya takut terhadap apa saja yang datang.
Dibalik kegarangan raungan singa harus ada kekuatan besar bukan sebaliknya ketakutan pada realitas.
Jangan sampai roh reaktif singa hanyalah gelembung besar tenggorokan katak yang hendak menakut-nakuti ular yang akan menelannya. Terkadang di balik raungannya, tersembunyi roh yang lemah.
Lalu di mana roh kuat, yang oleh Nietzsche dikumandangkan sebagai Übermensch?
Secara paradoksal roh yang mampu menciptakan nilai-nilai baru adalah roh Bayi, yang polos, yang dengan kemurniannya memberikan afirmasi kudus pada apa saja yang datang. Memang sangat sulit menemukan tipe pemimpin berujud roh bayi, yang polos, kudus dan suci.
Afirmasi ini bukan lagi topeng kelemahan Unta atau Singa untuk menutupi ketakutan mereka pada realitas, melainkan sebuah iya sekaligus tidak kepada realitas yang dari dirinya sendiri tidak perlu ditakuti juga tidak perlu dipuja. *
Penulis, adalah Dosen dan Ketua LPPM STIM Kupang
Editor : Wentho Eliando