Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
SEKOLAH Abu Snan adalah sebuah lembaga pendidikan negeri yang terletak di kota kecil Abu Snan, wilayah Galilea Barat, Israel.
Kota ini sendiri merupakan simbol keberagaman sosial, dihuni oleh tiga komunitas utama—Druze, Muslim, dan Kristen—yang hidup berdampingan dalam keseharian masyarakat.
Sekolah ini berdiri di tengah realitas politik dan sosial yang kompleks, namun justru memilih jalur pendidikan sebagai alat membangun koeksistensi yang damai.
Dipimpin oleh kepala sekolah bernama Sulaiman, seorang tokoh dari komunitas Druze, Sekolah Abu Snan menerapkan pendekatan yang unik dan inklusif dalam kurikulumnya.
Komposisi muridnya mencerminkan demografi kota: mayoritas Muslim, diikuti oleh Druze, dan sebagian kecil dari komunitas Kristen.
Alih-alih membiarkan perbedaan menjadi sumber sekat, sekolah ini menyusun kurikulum yang berpijak pada kekuatan budaya dan spiritual masing-masing komunitas. Setiap anak diajak bukan hanya untuk belajar, tetapi juga untuk mengenali dan menghargai perspektif yang berbeda.
Kurikulum yang diterapkan bersifat multi-faceted, menggabungkan nilai-nilai universal seperti cinta, hormat, dan toleransi melalui kisah-kisah dari setiap tradisi agama.
Interaksi harian antara guru dan murid bukan hanya tentang pengetahuan akademik, tetapi juga tentang membangun relasi yang sehat, terbuka, dan antikonflik. Dengan semboyan “We are one family,” Abu Snan menanamkan gagasan bahwa sekolah harus menjadi rumah kebersamaan, bukan hanya tempat belajar.
Dalam praktiknya, pendekatan ini terbukti efektif: siswa menunjukkan kemampuan berinteraksi lintas identitas dengan penuh empati dan saling menjaga. Tak heran, sekolah ini beberapa kali meraih penghargaan dari Kementerian Pendidikan Israel sebagai representasi pendidikan yang membangun peradaban damai.
Di tengah lanskap pendidikan yang terus berkembang, Indonesia kini melangkah ke arah yang lebih reflektif dan manusiawi. Melalui gagasan Kurikulum Deep Learning yang diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, pembelajaran tak lagi hanya mengejar penguasaan materi, tetapi juga merawat sisi batin siswa.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya











