Transisi Energi, Tapi Bukan Transisi Keadilan

- Jurnalis

Sabtu, 12 Juli 2025 - 11:34 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pascual Semaun, SVD

Pascual Semaun, SVD

Oleh: Pascual Semaun, SVD

Jeritan Tanah dan Kehidupan yang Terancam

DALAM pusaran kampanye global menuju energi bersih, masyarakat adat di Flores dan Lembata justru terjerat dalam penderitaan.

Proyek panas bumi (geothermal) yang digembar- gemborkan sebagai simbol kemajuan dan keberlanjutan, dalam kenyataannya menimbulkan kerusakan ekologis, sosial, dan budaya yang mendalam. Lebih menyedihkan lagi adalah cara masyarakat lokal diperlakukan dalam proses ini.

Mereka dianggap “tidak tahu apa-apa” karena tidak menguasai bahasa teknis, tidak duduk di bangku universitas, atau tidak memiliki sertifikat keahlian. Pengetahuan lokal yang hidup dari pengalaman sehari-hari selama puluhan, bahkan ratusan tahun, dianggap tidak sah.

Baca Juga :  Pemimpin dengan Predikat Mosa Ngai Dewa-Daki Rende Ria (Sebuah Perspektif Sosial dan Alternatif untuk Nagekeo Makin Mandiri)

Ukuran kecerdasan dibatasi hanya pada kriteria pendidikan formal. Masyarakat setempat bukan sekadar menyaksikan perubahan tersebut, melainkan melihat dan mengalaminya secara langsung sebagai bentuk degradasi, kehancuran, dan malapetaka.

Pembangunan yang Mengabaikan Martabat Manusia dan Alam

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015) dengan sangat jelas menyatakan bahwa kita harus menghargai dan belajar dari kearifan masyarakat adat dalam menjaga bumi.

Ia menulis: “Tanah bagi mereka bukanlah objek ekonomi, melainkan warisan hidup yang mengikat identitas dan keberadaan—suatu ruang suci tempat mereka berinteraksi, menopang nilai-nilai dan jati diri mereka.” (Laudato Si’, 146)

Pembangunan yang mengabaikan suara serta hak-hak masyarakat, dan merusak tanah leluhur, merupakan bentuk perampasan martabat manusia.

Baca Juga :  Menuju Titik Balik (Refleksi: Mgr. Paulus Budi Kleden Pulang Kampung Waibalun)

Hal ini bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik tentang keadilan sosial, hak atas lingkungan hidup yang layak, serta penghormatan terhadap seluruh ciptaan.

Hal ini juga ditegaskan dalam Dokumen Abu Dhabi (2019) dan Fratelli Tutti (2020), di mana Paus Fransiskus mengajak dunia untuk tidak menjadikan keuntungan ekonomi sebagai satu-satunya ukuran pembangunan, melainkan menjadikan martabat manusia dan keberlanjutan kehidupan bersama sebagai prinsip utama.

Gustavo Gutiérrez, bapak Teologi Pembebasan dari Negara Peru,, mengingatkan bahwa kemiskinan dan penindasan tidak bisa dipisahkan dari kerusakan lingkungan.

Berita Terkait

Human Trafficking, Retakan Moral Kolektif dan Tanggung Jawab Spiritual
Menuju Penyatuan Cakrawala
Dampak Stunting Bagi Pertumbuhan Anak
Mungkinkah Demokrasi Deliberatif dalam Kasus RS Pratama Solor
Martabat Manusia, Kekerasan Simbolik dan Krisis Sportivitas
“Yang Sakral dan Yang Sosial”
Perencanaan Strategis dan ‘Proses Menjadi’ (Sisip Gagas untuk Artikel Vinsensius Crispinus Lemba)
Bahasa, Jalan Menuju Hati dan Rekonsiliasi
Berita ini 424 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 4 November 2025 - 09:05 WITA

Human Trafficking, Retakan Moral Kolektif dan Tanggung Jawab Spiritual

Kamis, 30 Oktober 2025 - 13:50 WITA

Menuju Penyatuan Cakrawala

Minggu, 26 Oktober 2025 - 19:34 WITA

Dampak Stunting Bagi Pertumbuhan Anak

Senin, 20 Oktober 2025 - 18:48 WITA

Mungkinkah Demokrasi Deliberatif dalam Kasus RS Pratama Solor

Jumat, 17 Oktober 2025 - 08:56 WITA

Martabat Manusia, Kekerasan Simbolik dan Krisis Sportivitas

Berita Terbaru

Nusa Bunga

Wabup Sikka Apresiasi IMI Sikka Selenggarakan Grass Track

Kamis, 6 Nov 2025 - 19:51 WITA