Politik Cinta: Bagaimana Empati Bisa Mengubah Lanskap Politik Kita

- Jurnalis

Kamis, 19 September 2024 - 15:13 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Lexi Anggal

Lexi Anggal

Oleh: Lexi Anggal

DALAM dekade terakhir, kita menyaksikan pergeseran besar dalam cara pandang masyarakat terhadap politik, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Persaingan yang semakin ketat, polarisasi yang mendalam, dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap institusi politik hemat penulis membuat banyak orang merasa terasing dari proses demokrasi.

Namun, di tengah tantangan ini, muncul sebuah konsep yang dapat menjadi harapan baru: politik cinta. Konsep ini berakar pada empati, solidaritas, dan rasa kemanusiaan yang mendalam.

Apakah mungkin empati dapat menjadi jembatan untuk menyatukan perbedaan dan mengubah lanskap politik kita?

Empati sebagai Landasan Politik di NTT

Empati, dalam konteks politik, adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Hal ini sangat penting, terutama di NTT yang memiliki keragaman budaya, bahasa, dan adat istiadat. Latar belakang yang berbeda dapat menciptakan kesenjangan, tetapi dengan empati, kita dapat menghubungkan perbedaan tersebut.

Menurut Daniel Goleman dalam bukunya EmotionalIntelligence, empati adalah kunci untuk komunikasi yang efektif dan dapat meningkatkan kerjasama di antara individu (Goleman, 2011).

Di NTT, kita sering melihat bagaimana suara masyarakat lokal diabaikan dalam pembuatan kebijakan. Ketika pemerintah dan pemimpin daerah mengedepankan empati, mereka dapat lebih baik memahami kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Ini adalah fondasi dari politik cinta, di mana para pemimpin dan masyarakat sama-sama berusaha untuk menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua.

Contoh Empati dalam Kebijakan Publik di NTT

Salah satu contoh nyata dari politik cinta yang berbasis empati bisa kita lihat dalam kebijakan publik yang memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal.

Misalnya, program-program kesehatan masyarakat yang dirancang berdasarkan umpan balik dari komunitas, seperti program imunisasi anak di NTT, menunjukkan bagaimana empati dapat mengarah pada hasil yang lebih baik.

Pada tahun 2020, program imunisasi yang melibatkan orang tua dalam proses pengambilan keputusan menunjukkan peningkatan cakupan yang signifikan di beberapa kabupaten di NTT.

Menurut laporan dari Dinas Kesehatan NTT, cakupan imunisasi di Kabupaten Kupang meningkat sebesar 25% setelah melibatkan komunitas dalam promosi kesehatan (Dinas Kesehatan NTT, 2020).

Hal yang sama berlaku untuk kebijakan pendidikan. Ketika pemerintah daerah mendengarkan suara orang tua dan siswa, mereka dapat merancang kurikulum dan program yang lebih relevan dengan konteks lokal.

Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan pendidikan hemat penulis dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara signifikan, seperti yang terlihat dari beberapa inisiatif pendidikan berbasis masyarakat di NTT, termasuk program “Sekolah Ramah Anak” yang berfokus pada partisipasi orang tua (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2021).

Baca Juga :  Perspektif Komunikasi dalam Menjembatani Kesenjangan Pemerataan Pendidikan

Menghadapi Polarisasi Melalui Empati di NTT

Di tengah polarisasi yang semakin mendalam, terutama menjelang pemilu, politik cinta dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketegangan.

Ketika individu dan kelompok mulai saling memahami perspektif satu sama lain, kemungkinan untuk mencapai konsensus menjadi lebih besar.

Di NTT, di mana keberagaman suku dan budaya menjadi bagian penting dari identitas, dialog antar kelompok sangat diperlukan untuk menciptakan harmoni.

Media sosial, meskipun sering kali menjadi tempat konflik, juga dapat digunakan sebagai platform untuk mempromosikan empati.

Kampanye-kampanye yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mendengarkan satu sama lain, seperti #DengarSuaraRakyat, dapat membantu menciptakan diskusi yang konstruktif dan memperkuat solidaritas di antara warga NTT.

Menurut survei oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, 65% pengguna media sosial di NTT setuju bahwa dialog yang positif dapat membantu mengurangi perpecahan (Kementerian Kominfo, 2022).

Peran Pemimpin dalam Menerapkan Politik Cinta di NTT

Pemimpin di NTT hemat penulis memiliki peran kunci dalam menerapkan politik cinta. Mereka harus menjadi teladan dalam menunjukkan empati, mendengarkan suara rakyat, dan merangkul keberagaman.

Dalam konteks lokal, pemimpin yang terjun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluhan dan aspirasi masyarakat, seperti yang dilakukan oleh beberapa Bupati di NTT, dapat meningkatkan kepercayaan publik dan menciptakan rasa solidaritas di tengah tantangan.

Menurut hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia, 78% warga NTT merasa lebih percaya kepada pemimpin yang aktif mendengarkan keluhan masyarakat (LSI, 2023).

Mengedukasi Masyarakat tentang Empati di NTT

Pendidikan juga memainkan peran penting dalam mengembangkan empati di masyarakat. Sekolah-sekolah di NTT dapat mengintegrasikan pendidikan karakter yang menekankan pentingnya empati dan kerjasama.

Dengan menanamkan nilai-nilai ini sejak dini, hemat penulis kita akan menciptakan generasi yang lebih peka dan peduli terhadap orang lain. Buku The EmpathyEffect oleh Helen Riess menekankan bahwa pendidikan yang mengajarkan empati dapat menghasilkan individu yang lebih mampu berinteraksi secara sosial dan berkontribusi positif kepada masyarakat (Riess, 2018).

Media massa di NTT juga memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan pesan-pesan yang positif dan membangun.

Berita yang menekankan kisah-kisah inspiratif dari individu atau komunitas yang menunjukkan empati dapat mengubah pandangan masyarakat tentang politik dan mendorong tindakan positif.

Menyusun Langkah ke Depan di NTT

Untuk mengimplementasikan politik cinta yang berbasis empati,  hemat penulis kita perlu menyusun langkah-langkah konkret di NTT.

Baca Juga :  Bijak Bermedia Sosial Dalam Terang Evangelii Nutiandi

Pertama, kita perlu mendorong dialog antar kelompok yang berbeda, baik itu melalui forum komunitas, diskusi publik, atau platform online.

Kedua, pemerintah daerah perlu melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi rakyat.

Ketiga, pendidikan tentang empati harus dimulai sejak dini. Kurikulum pendidikan di NTT harus mencakup pelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan dan pentingnya berempati terhadap orang lain. Hal ini akan membantu menciptakan generasi yang lebih peduli dan terlibat dalam proses politik.

Kesimpulan

Dalam era politik yang semakin kompleks dan penuh tantangan, konsep “politik cinta” yang berlandaskan empati menjadi harapan baru bagi masyarakat NTT.

Di tengah polarisasi yang mendalam dan ketidakpercayaan terhadap institusi politik, empati dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan perbedaan dan menciptakan harmoni.

Dengan memahami dan merasakan pengalaman orang lain, kita dapat mengatasi kesenjangan yang ada antara pemerintah dan masyarakat, serta mewujudkan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan lokal.

Penerapan politik cinta di NTT bukan hanya tugas para pemimpin, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai warga negara. Dalam konteks ini, pemimpin yang menunjukkan empati dan keterlibatan langsung dengan masyarakat akan membangun kepercayaan dan solidaritas yang dibutuhkan untuk menciptakan perubahan positif.

Melalui dialog konstruktif dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, kita dapat menciptakan kebijakan yang mencerminkan aspirasi rakyat.

Pendidikan juga memainkan peran penting dalam mengembangkan budaya empati di NTT. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai empati dalam kurikulum pendidikan, kita dapat membentuk generasi muda yang lebih peduli dan terlibat dalam proses politik.

Media massa, sebagai pilar informasi, juga memiliki peranan penting dalam menyebarkan pesan-pesan positif yang mendorong aksi nyata untuk menciptakan masyarakat yang lebih empatik.

Ke depan, langkah-langkah konkret perlu diambil untuk mewujudkan politik cinta di NTT. Dialog antar kelompok, partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan, dan pendidikan tentang empati harus menjadi fokus utama.

Dengan mengedepankan empati dalam setiap aspek kehidupan politik, kita dapat mengubah lanskap politik NTT menjadi lebih inklusif, harmonis, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Politik cinta  hemat penulis bukan hanya sebuah konsep, tetapi sebuah kebutuhan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua masyarakat NTT. Mari kita wujudkan politik yang mencintai, menghargai, dan mengedepankan kemanusiaan. *

Penulis adalah, Pegiat Isu-isu Sosial, tinggal di Boncukode Cibal, Manggarai, NTT

Editor : Wentho Eliando

Berita Terkait

Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk
Penunjukan 21 Kardinal oleh Paus Fransiskus, Apakah Gereja dan Masyarakat Membutuhkan Banyak Kardinal?
Ketika Krisis Sosial Memukul Mental Masyarakat NTT, Siapa yang Bertindak?
Awasan Menjelang Pilkada Serentak 2024
Gereja Harus Terlibat dalam Politik (Diskursus Ringan Seputar Pilkada Ende)
Politik Hak Fundamental Seorang Imam
Dari Aspirasi ke Aksi: Suara Rakyat dalam Pilkada
Menjamah yang Terluka
Berita ini 55 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 9 Oktober 2024 - 21:12 WITA

Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk

Senin, 7 Oktober 2024 - 19:20 WITA

Penunjukan 21 Kardinal oleh Paus Fransiskus, Apakah Gereja dan Masyarakat Membutuhkan Banyak Kardinal?

Minggu, 29 September 2024 - 18:55 WITA

Ketika Krisis Sosial Memukul Mental Masyarakat NTT, Siapa yang Bertindak?

Minggu, 22 September 2024 - 15:44 WITA

Awasan Menjelang Pilkada Serentak 2024

Kamis, 19 September 2024 - 15:13 WITA

Politik Cinta: Bagaimana Empati Bisa Mengubah Lanskap Politik Kita

Berita Terbaru

Kepala Dinas Pengendalian Penduduk  dan Keluarga Berencana Mabar NTT, Rafael Guntur.

Nusa Bunga

Lima Upaya Mengatur Pertumbuhan Penduduk di Manggarai Barat

Kamis, 10 Okt 2024 - 21:10 WITA

Nusa Bunga

Ada Kasus Gigitan HPR, Stok VAR di Dinkes Ende Kosong

Kamis, 10 Okt 2024 - 13:43 WITA

Marianus Jefrino

Opini

Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk

Rabu, 9 Okt 2024 - 21:12 WITA