Oleh: Anselmus DW Atasoge
SEJARAH terus bergerak dan hari ini untuk Serikat Sabda Allah (SVD) dirayakan sebagai 150 tahun kelahirannya. Inilah jejak waktu yang mengandung makna, arah, dan harapan.
Serikat Sabda Allah (SVD), sejak kelahirannya di Steyl, Belanda, telah menapaki jalan panjang sebagai komunitas religius yang tidak hanya mewartakan Injil, tetapi juga menghadirkan terang dalam arti filosofis yang mendalam yakni sebagai pencerahan eksistensial, etis, dan sosial.
Tema yang dipilih untuk perayaan ini adalah “Bersaksi tentang Terang dari Segala Penjuru bagi Setiap Orang”. Bagi saya, ini bukan sekadar slogan spiritual. Ia mengandung resonansi ontologis dan praksis: bahwa terang bukan hanya simbol ilahi, tetapi juga panggilan untuk hadir secara radikal dalam realitas manusia, hic et nunc, di sini dan sekarang.
Dalam tradisi filsafat, terang sering dikaitkan dengan akal budi (logos), kebenaran, dan pembebasan. Dari Plato yang melihat terang sebagai bentuk ideal, hingga Heidegger yang memahami terang sebagai keterbukaan terhadap ‘Ada’, SVD telah menjadi partisipan dalam proyek besar kemanusiaan: menghadirkan terang sebagai jalan menuju pemahaman, keadilan, dan kasih.
Santo Arnoldus Janssen, Sang Pendiri, dengan spiritualitas Trinitas yang mendalam, tidak sekadar membangun kongregasi. Ia merumuskan sebuah etika relasional yang melampaui batas-batas geografis dan dogmatis. Dalam terang Tritunggal, relasi menjadi pusat: antara Allah dan manusia, antara sesama, antara komunitas dan dunia.
Kini, SVD telah mengutus lebih dari 5.700 misionaris di 79 negara. Mereka bukan sekadar utusan rohani, melainkan ‘subjek praksis’ yang menjadikan terang sebagai tindakan konkret.
Dalam berbagai konteks budaya dan sosial, mereka membangun sekolah sebagai ruang pembebasan, rumah sakit sebagai tempat pemulihan martabat, dan gereja sebagai komunitas dialog yang inklusif. Kehadiran mereka menjadi wujud nyata dari spiritualitas yang berpihak pada kehidupan, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam kerja dan pelayanan yang menyentuh akar kemanusiaan.
Dalam hal ini, SVD telah menjelma menjadi ‘filosof praksis’ yakni komunitas yang tidak hanya berpikir tentang dunia, tetapi berani mengubahnya. Mereka menghidupi terang sebagai etika keberadaan, sebagai panggilan untuk hadir secara penuh dalam realitas yang kompleks dan sering kali penuh luka.
Dengan semangat Santo Arnoldus Janssen dan spiritualitas Trinitas yang mendalam, SVD terus menjadi saksi bahwa iman yang hidup adalah iman yang bergerak, yang membebaskan, dan yang membangun jembatan harapan bagi setiap orang.
Dalam konteks dunia yang dilanda fragmentasi, polarisasi, dan krisis makna, kehadiran SVD menjadi relevan secara filosofis. Mereka tidak menawarkan dogma, tetapi dialog. Tidak memaksakan kebenaran, tetapi mengundang partisipasi dalam terang yang membebaskan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya