Oleh: Febri Nagut
UDARA laut dari pesisir Reo malam itu berembus pelan, membawa sejuk yang jarang datang. Biasanya malam di kota kecil ini terasa gerah, tapi kali itu berbeda-lebih tenang, lebih lembut.
Di pelataran SMA St. Gregorius Reo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), tempat para siswa/i biasa berbaris setiap pagi, malam itu menjelma menjadi panggung terbuka. Luas dan beratapkan langit, dengan papan-papan mading di sisi kiri, kanan, dan belakang yang disulap menjadi pembatas.
Di panggung sederhana itu, lampu sorot berwarna menari di udara, memberi sinyal kuat untuk berganti warna mengikuti irama emosi para pemeran. Di bawah pancaran warna-warna itu, wajah-wajah muda tampak tegang sekaligus bersemangat-siap memainkan kisah tentang manusia dan perbedaan.
Dari pengeras suara terdengar lagu “Kulihat Ibu Pertiwi” pelan, serak, tapi menyentuh. Di atas panggung, seorang siswi duduk bersimpuh. Wajahnya tertunduk, seperti menyimpan sesuatu yang berat.
Dari belakang, pemeran utama berjalan pelan mendekat, lalu bertanya, “Ada apa?” “Lihat anak-anakku,” jawabnya lirih, “mereka saling menyakiti karena perbedaan.”
Kalimat itu seolah menembus udara malam. Penonton diam. Tak ada yang bersuara.
Malam itu, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, kelompok Teater Senja membawakan pementasan berjudul Harmoni? sebuah tanda tanya yang tak sekadar menghiasi judul, tapi juga menggugat keyakinan lama tentang apa artinya benar-benar bersatu.
Luka yang Dipentaskan
Selama satu jam, para pemeran “harmoni?” memainkan kisah tentang manusia-manusia yang terpisah oleh perbedaan.
Ada gadis yang diejek karena tubuhnya cacat, pelajar yang diremehkan karena miskin, dan perempuan yang tak pernah didengar suaranya hanya karena ia perempuan.
Setiap adegan terasa dekat dengan kehidupan mereka sendiri, seolah panggung itu menjadi cermin kecil dari keseharian di sekolah maupun di rumah.
Lewat kisah-kisah itu, mereka menyampaikan pesan sederhana tapi kuat: pentingnya kesatuan, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan.
“Kami ingin menunjukkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk menjauh,” kata Tiara Inar, siswi kelas XII yang memerankan tokoh utama. “Justru di situlah kita belajar memahami satu sama lain.”
Sutradara pementasan, Anriana Kalulu Sengga Langga, mengatakan tema Harmoni? dipilih karena sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda.
“Nilai persatuan yang diikrarkan para pemuda tahun 1928 itu masih sangat relevan sekarang,” ujarnya. “Lewat teater, kami ingin mengingatkan kembali bahwa perbedaan bukan penghalang untuk bersatu.”
Bagi Anriana, pementasan ini bukan sekadar acara sekolah, tapi bentuk refleksi bersama. “Lewat cerita yang menyentuh hati, kami ingin menginspirasi penonton untuk lebih menghargai perbedaan dan bekerja sama mencapai tujuan bersama,” tambahnya.
Namun di balik pertunjukan yang tampak rapi, proses menuju panggung tidak selalu mudah. Latihan dilakukan di sela jam pelajaran dan sepulang sekolah.
Para pemain sering kewalahan menghafal dialog dan menguasai gerak. “Waktu latihan terbatas, ruang luas tapi penuh aktivitas lain. Anak-anak harus pandai membagi waktu,” kata Anriana.
Beberapa anggota juga kesulitan menjiwai karakter mereka. “Tidak mudah memainkan peran yang begitu emosional,” ujar Tiara. “Kadang kami mengulang satu adegan berkali-kali sampai benar-benar terasa pas.”
Guru pendamping, Oktavianus Pipin Andriano Tamung, melihat semua itu sebagai bagian dari proses belajar. “Di kelas mereka bisa hafal isi Sumpah Pemuda,” katanya. “Tapi di panggung, mereka belajar memaknainya-bukan hanya dengan kepala, tapi dengan hati.”
Cermin Kecil di Reo
Dari panggung kecil itu, Reo seperti sedang menatap dirinya sendiri. Kota di pesisir utara Flores ini memang bukan kota besar, tapi justru di ruang-ruang kecil seperti inilah perbedaan sering terasa lebih nyata.
“Kalau ada teman dari keluarga sederhana, kadang masih dianggap rendah,” kata Vinsensiana Rungku, siswi kelas XII yang menonton malam itu. “Pementasan ini seperti menampar kami sendiri.”
Tema yang mereka angkat ternyata lebih luas dari sekadar cerita panggung.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2023 menunjukkan kasus perundungan di sekolah meningkat dalam dua tahun terakhir. Sebagian besar dipicu perbedaan ekonomi, fisik, dan gender-isu yang juga mereka pentaskan dalam Harmoni?
Dalam konteks itu, teater menjadi ruang yang langka: tempat anak-anak bisa menertawakan ketakutannya sendiri, berdialog tanpa dihakimi, dan belajar memahami sebelum menilai.
“Selama ini nilai-nilai karakter sering diajarkan lewat kata-kata,” kata Anriana. “Lewat teater, anak-anak belajar merasakannya sendiri.”
Sumpah yang Belum Menjadi Aksi
Menjelang akhir pementasan, Tiara berdiri di tengah panggung. Suaranya bergetar saat membaca ulang teks Sumpah Pemuda, perlahan dan penuh jeda, seolah menimbang setiap katanya.
Di ujung kalimat, ia menatap penonton dan bertanya dengan nada menggugat, “Apakah kita benar-benar bersatu?” Hening. Tak ada yang menjawab.
Beberapa detik kemudian, seorang pemeran lain berjalan pelan menuju bendera Merah Putih yang berdiri tegak di tengah panggung. Ia berhenti di depannya, mengulurkan tangan, lalu mengelus perlahan sebelum menunduk dan mengecupnya.
Gerakannya lembut, bukan heroik, seolah ingin berkata bahwa mencintai negeri ini berarti juga merawat perbedaan di dalamnya.
Cahaya panggung berganti temaram. Musik pelan terdengar. Malam berakhir dalam diam-diam yang tidak kosong, tapi penuh makna.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan ini, anak-anak SMA St. Gregorius Reo memilih berbicara dengan cara paling sunyi: lewat teater. Mungkin di tangan mereka, kata “harmoni” menemukan maknanya yang baru dan lebih jujur. *
Penulis: Staf Pengajar di SMAS St. Gregorius Reo, Manggarai, NTT
Editor : Anton Harus











