Oleh: Anselmus DW Atasoge
MAJALAH Martinus dari Keuskupan Eisenstadt, Austria, edisi 12 Oktober 2025, menampilkan pemikiran Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, tentang ‘peran bahasa dalam karya misi Gereja’. Judul artikelnya tegas dan menyentuh: Sprache ist der Schlüssel zum Herz yang berarti ‘bahasa adalah kunci menuju hati’.
Dalam wawancara tersebut, Uskup Budi menekankan peran bahasa dalam karya misi Gereja. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Bagi Uskup Budi, bahasa membuka pintu menuju pemahaman, kepercayaan, dan kedekatan. Bahasa menyentuh sisi terdalam manusia. Bahasa membangun jembatan antara pewarta dan apa yang diwartakan.
Dalam konteks kebahasaan itu, Uskup Budi juga menyoroti pentingnya interkulturalitas. Dunia misi bergerak di tengah keberagaman. Bahasa menjadi sarana untuk ‘merawat relasi yang tulus’. Bahasa menumbuhkan rasa hormat. Bahasa menghindarkan dominasi. Bahasa mengajak untuk mendengarkan.
Dalam pelayanan pastoral, kehadiran menjadi kunci. Para misionaris dipanggil untuk hadir secara utuh. Mereka tidak datang sebagai penguasa. Mereka hadir sebagai pelayan. Mereka belajar dari masyarakat. Mereka bertumbuh bersama umat yang mereka layani. Dan, tentu dengan ‘bahasa hati’ yang mereka miliki.
Pemikiran Uskup Budi mengingatkan kita bahwa misi bukan soal metode. Misi adalah soal sikap. Bahasa menjadi cermin dari sikap itu. Bahasa menunjukkan apakah kita sungguh hadir. Bahasa mengungkap apakah kita sungguh peduli.
Di tengah dunia yang penuh ketegangan, bahasa yang jernih dan penuh empati menjadi ‘jalan damai’. Bahasa yang tulus membuka ruang dialog. Bahasa yang rendah hati membangun harapan.
“The real power is not in money and weapons, but in dialogue, in the encounter between different cultures and religions.” Demikian kata Paus Fransiskus. Artinya, “Kekuatan sejati bukan terletak pada uang dan senjata, tetapi pada dialog, pada perjumpaan antara budaya dan agama yang berbeda.”
Kutipan ini memperkuat gagasan bahwa bahasa yang jernih dan penuh empati adalah jalan damai. Dialog yang tulus membuka ruang pengertian, dan perjumpaan yang rendah hati membangun harapan di tengah dunia yang penuh ketegangan. Dan, di tengah dunia yang penuh ketegangan, bahasa hadir sebagai sarana rekonsiliasi dan harapan.
Di titik ini, secara universal Gereja dipanggil untuk berbicara dengan hati. Gereja dipanggil untuk mendengarkan dengan kasih. Gereja dipanggil untuk hadir dengan bahasa yang menyembuhkan.*
Penulis adalah Staf Pengajar Stipar Ende