Oleh: Anselmus DW Atasoge
FESTIVAL Lamaholot 2025 digelar dan berlangsung meriah di Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata, pada Selasa, 7 Oktober 2025. Ribuan peserta memenuhi jalan-jalan utama dalam karnaval budaya yang menjadi bagian dari perayaan warisan Lamaholot.
Tulisan ini boleh dipandang sebagai ‘sisipan dalam festival’ itu. Juga bermisi sederhana, menjaga spirit sebuah festival bernuansa budaya. Perspektif sosiologis menjadi bingkainya.
Sejatinya, budaya tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari interaksi sosial yang terus berlangsung. Festival atau pun karnaval budaya menjadi ruang publik tempat masyarakat menegaskan siapa mereka. Setiap tarian, pakaian adat, dan simbol lokal menunjukkan keterikatan pada warisan leluhur.
Sosiolog Émile Durkheim menyatakan bahwa “masyarakat adalah sumber utama dari kesadaran kolektif.”
Dalam konteks ini, festival budaya menjadi sarana pembentukan dan penguatan kesadaran kolektif melalui simbol-simbol yang dikenali bersama. Ia menyebut ritual publik sebagai mekanisme pemersatu yang memperkuat solidaritas sosial.
Dengan merujuk pada pandangan Durkheim, dapat ditegaskan bahwa festival budaya seperti Lamaholot bukan hanya peristiwa estetis. Ia adalah proses sosial yang memperkuat identitas, solidaritas, dan makna hidup bersama.
Partisipasi ribuan orang menunjukkan adanya solidaritas sosial. Masyarakat berkumpul, berinteraksi, dan merayakan nilai bersama. Ini memperkuat kohesi sosial. Dalam masyarakat yang majemuk, kohesi sosial menjadi fondasi penting untuk menjaga harmoni.
Durkheim menyebut solidaritas sebagai kekuatan yang menyatukan individu dalam satu kesadaran kolektif.
Ketika masyarakat terlibat dalam kegiatan budaya bersama, mereka memperkuat ikatan sosial yang mendasari kehidupan bersama. Durkheim menegaskan bahwa ‘ritual publik’ seperti festival berfungsi sebagai mekanisme pemersatu yang memperkuat rasa kebersamaan.
Anthony Giddens, sosiolog kontemporer, juga menekankan pentingnya ruang sosial dalam membentuk identitas dan relasi.
Halaman : 1 2 Selanjutnya











