Oleh: Ansel Atasoge
SEJUMLAH peristiwa bencana alam di Indonesia dahulu maupun yang terbaru seperti Banjir Bandang di Mauponggo Nagekeo seakan ‘mengamini judul’ bahwa Indonesia itu bukan hanya negeri seribu pulau, tetapi juga negeri seribu potensi bencana.
Gempa bumi, banjir, tanah longsor, hingga erupsi gunung berapi telah menjadi bagian dari sisi kehidupan masyarakat. Namun, bencana bukan sekadar peristiwa alam. Ia juga adalah ujian terhadap kesiapsiagaan dan kualitas respon kemanusiaan kita.
Dalam konteks ini, tiga variabel utama yakni bencana, kesiapsiagaan, dan respon kemanusiaan perlu ‘ditengok kembali’ sebagai satu kesatuan yang menentukan apakah kita sekadar bertahan atau benar-benar bangkit.
Pertama, bencana harus dipahami bukan hanya sebagai kehancuran fisik, tetapi juga sebagai peristiwa sosial yang mengungkap ketimpangan, kerentanan, dan kekuatan komunitas.
Ketika banjir bandang melanda Mauponggo, Nagekeo, pada September 2025, kita tidak hanya melihat rumah yang hanyut, tetapi juga solidaritas yang mengalir dari dapur umum, posko lintas iman, dan pelukan antarumat. Bencana mengungkap siapa yang paling rentan (anak-anak, lansia, penyandang disabilitas) dan siapa yang paling siap untuk menolong.
Bencana menjadi momen di mana identitas sosial agama, suku, status ekonomi dilebur dalam satu kesadaran kolektif. Bahwasanya, penderitaan adalah milik bersama, dan penyembuhan harus dilakukan bersama pula.
Mauponggo mengajarkan bahwa kekuatan komunitas bukan hanya terletak pada jumlah relawan atau logistik, tetapi pada kedalaman empati dan kecepatan respon sosial yang lahir dari relasi yang telah lama dibangun dalam keseharian.
Kedua, kesiapsiagaan bukanlah sekadar simulasi tahunan atau poster di kantor desa. Ia harus menjadi budaya hidup. Kesiapsiagaan yang efektif adalah yang berbasis komunitas, mengintegrasikan kearifan lokal, dan pendidikan kebencanaan sejak dini.
Salah satu contoh konkret dari pentingnya kesiapsiagaan berbasis komunitas dalam kasus banjir bandang Mauponggo dapat dilihat dari respons spontan dan terorganisir yang dilakukan oleh warga dan komunitas sipil, seperti Komunitas Gebrak Ngada Peduli.
Tanpa menunggu instruksi formal, mereka menggalang bantuan melalui media sosial dan aksi keliling Kota Bajawa, lalu menyalurkan logistik darurat ke titik-titik terdampak di Mauponggo. Ini menunjukkan bahwa solidaritas lokal bisa menjadi tulang punggung kesiapsiagaan yang hidup bukan sekadar formalitas tahunan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya