Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
SEPAK bola, lebih dari sekadar permainan, merupakan cermin nilai publik yang hidup di tengah masyarakat. Di lapangan hijau, kita diajarkan tentang sportivitas, kerja sama, dan rasa percaya terhadap aturan main yang disepakati bersama. Namun, keputusan sepihak Asprov PSSI NTT membatalkan Kabupaten Ende sebagai tuan rumah ETMC ke-34 Tahun 2025 telah mencoreng wajah sportivitas itu.
Pilihan tersebut tidak hanya melukai hati masyarakat Ende, tetapi juga memperlihatkan gelapnya birokrasi olahraga kita—tak transparan, tak etis, dan sangat tidak menghormati proses demokratis yang sebelumnya telah dilegitimasi oleh kongres resmi.
Jika keputusan kongres dapat dibatalkan begitu saja melalui rapat pengurus, lalu apa gunanya forum tertinggi itu?
Di mana letak sportivitas jika komitmen pemerintah daerah, persiapan teknis, dan antusiasme publik bisa dileburkan hanya karena alasan “efisiensi anggaran” yang tidak disertai dasar resmi? Perse Ende memilih mundur bukan karena tak mampu bertanding, melainkan sebagai bentuk protes bermartabat demi menjaga harga diri daerah dan integritas publik.
Dalam situasi ini, sepak bola bukan lagi soal siapa juara, tetapi soal apakah nilai-nilai kebersamaan dan keadilan masih dijaga. Bahwa permainan pun memiliki etika, dan setiap keputusan memiliki dampak moral yang tak bisa diabaikan.
Kepemimpinan Asprov PSSI NTT layak dievaluasi secara struktural.
Sikap yang bertentangan dengan hasil kongres menunjukkan cacat komunikasi, lemahnya manajemen konflik, dan absennya kepemimpinan etik. Sportivitas tidak hanya tentang skor pertandingan, tetapi tentang penghormatan terhadap proses yang legal dan sah.
Pembatalan tuan rumah tanpa surat resmi dari Pemkab Ende adalah tindakan sepihak yang menggerogoti kredibilitas lembaga olahraga itu sendiri.
Solidaritas yang ditunjukkan oleh Perse Ende harus dibaca sebagai sikap perlawanan terhadap praktik pengelolaan olahraga yang bias pada kepentingan tertentu. Ini bukan soal mundur dari kompetisi, melainkan tentang berdiri tegak menyuarakan keadilan komunitas. Karena tanpa keberanian untuk mengatakan “tidak” terhadap ketidakadilan, olahraga akan kehilangan jiwanya.
Sepak bola NTT kini menghadapi krisis makna. Yang dibutuhkan bukan sekadar rotasi tuan rumah, tetapi rekonstruksi nilai. Jika prosedur yang sah dan aspirasi rakyat bisa diabaikan begitu saja, maka sepak bola tak lagi milik rakyat. Ia menjadi arena tarik-menarik kepentingan, dan bola pun tak lagi bundar. Tabola bale, bola kehilangan ruhnya.
Dalam kaca mata sosiologi, sepak bola bukan sekadar olahraga. Ia adalah arena simbolik di mana identitas kolektif, solidaritas sosial, dan struktur kekuasaan bermain dan dipertanyakan.
Kasus pemindahan ETMC ke-34 dari Ende ke Kupang menunjukkan pergeseran makna institusional dari sepak bola sebagai medium kebersamaan menuju ajang perebutan kuasa dan dominasi birokratis.
Etika publik yang seharusnya mengiringi keputusan-keputusan dalam ruang organisasi olahraga justru terkubur oleh logika efisiensi dan kalkulasi politik yang lepas dari aspirasi masyarakat lokal.
Komunitas pendukung Perse Ende tidak sekadar kecewa karena hilangnya momentum tuan rumah, tetapi karena mereka merasa identitas kolektif mereka dipinggirkan.
Dari perspektif sosiologi, tindakan pembatalan ini dapat dipahami sebagai bentuk “exclusionary practice”, praktik peminggiran yang dilakukan oleh struktur kekuasaan atas kelompok yang dianggap kurang memiliki daya tawar.
Penolakan dari Perse Ende untuk berpartisipasi merupakan bentuk resistensi sosial, ekspresi dari apa yang disebut Emile Durkheim sebagai mekanisme moral dalam mempertahankan solidaritas organik: bukan sekadar protes, tetapi peneguhan norma dan nilai dalam komunitas lokal.
Konflik ini juga mencerminkan masalah dalam struktur dan proses demokratis di organisasi olahraga. Ketika hasil kongres yang mestinya menjadi wadah representatif seluruh anggota diabaikan, maka legitimasi organisasi tersebut mengalami delegitimasi.
Dalam perspektif Max Weber, otoritas yang bertumpu pada prosedur hukum formal kehilangan maknanya jika tidak diikuti oleh tindakan yang sah secara normatif. Maka, krisis sportivitas bukan hanya soal etika, tetapi cerminan dari krisis legitimasi sosial dalam sistem organisasi.
Sepak bola, jika tidak diurus dengan semangat kolektif dan transparansi, akan menjadi mikro-representasi dari ketimpangan sosial yang lebih luas. ‘Tabola bale’ bukan hanya sindiran, melainkan refleksi sosiologis tentang kegagalan institusi dalam menjaga ruang bersama sebagai milik rakyat.
Maka, rekonstruksi nilai bukan lagi sebuah harapan, melainkan kebutuhan mendesak demi menjaga permainan tetap bermakna dan etika tetap hidup di tengah masyarakat.*










