Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
RAPAT paripurna penutupan masa sidang DPRD Kabupaten Flores Timur semestinya menjadi momentum reflektif dan simbolik atas tanggung jawab politik yang telah dijalankan selama satu tahun anggaran.
Namun, sebagaimana diberitakan oleh Florespos.net, pemandangan yang muncul justru mengundang tanya: sejumlah anggota DPRD mengenakan pakaian “rumpu-rampe” yang tidak seragam, sementara kalangan pemerintah hadir dengan sepatu olahraga yang terkesan santai. Fenomena ini bukan sekadar soal estetika, melainkan menyentuh ranah etika politik yang lebih dalam.
Dalam tradisi demokrasi, simbol dan gestur publik memiliki makna etis. Pakaian formal dalam sidang paripurna bukan sekadar protokol, tetapi representasi penghormatan terhadap mandat rakyat dan institusi demokrasi.
Ketika para wakil rakyat dan pejabat eksekutif tampil dengan busana yang tidak mencerminkan keseriusan dan kepatutan, maka yang terganggu bukan hanya citra personal, melainkan martabat lembaga itu sendiri.
Etika politik menuntut bahwa setiap tindakan publik termasuk cara berpakaian dalam forum resmi harus mencerminkan tanggung jawab, integritas, dan penghormatan terhadap konstituen.
Lebih spesifik lagi, sidang paripurna adalah ruang deliberatif yang menandai akuntabilitas dan transparansi. Ketidakwajaran dalam penampilan bisa dibaca sebagai bentuk kelalaian terhadap nilai-nilai representasi.
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga politik, gestur-gestur kecil seperti ini justru memiliki dampak besar dalam membentuk persepsi masyarakat.
Apakah para pemimpin benar-benar memahami makna simbolik dari jabatan yang mereka emban? Ataukah ruang politik lokal telah bergeser menjadi panggung seremonial yang kehilangan bobot etisnya?
Masyarakat tidak menuntut kesempurnaan visual. Namun, dalam konteks Flores Timur yang kaya akan nilai adat dan spiritualitas sosial, kepatutan dalam ruang publik bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari etos kolektif.
Demokrasi lokal membutuhkan pemimpin yang tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara simbolik dan moral.
Bagi saya, peristiwa ini seharusnya menjadi bahan refleksi bersama. Bahwasanya, etika politik bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal sikap, simbol, dan kesadaran akan tanggung jawab publik.
Kecil-kecil yang banyak akan menjadi baik yang besar. Kebaikan tidak selalu lahir dari tindakan besar dan spektakuler, melainkan dari akumulasi tindakan kecil yang dilakukan dengan konsistensi dan ketulusan, termasuk dalam hal gestur yang ‘kecil-kecil tadi’.
Dan, bahwasanya perubahan-perubahan besar dalam masyarakat sering kali dimulai dari gerakan kecil yang tersebar luas.*
Penulis adalah Staf Pengajar Stipar Ende