Oleh: Steph Tupeng Witin
SEMUA orang Katolik yang membaca judul tulisan ini mestinya paham dan mengerti bahwa Gereja tidak bisa tidak berpolitik. Telaah historis dan teologi-biblis sepakat dengan kesimpulan bahwa iman baru menjadi hidup dan bermakna ketika diaplikasikan dalam segala bidang kehidupan nyata, termasuk politik.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa setiap refleksi teologis mesti menjadikan Kitab Suci sebagai tumpuannya (DV 24). Sabda Tuhan menjadi acuan dasar dari ajaran moral sosial Gereja sepanjang sejarah.
Diskursus seputar keterlibatan Gereja (awam dan klerus) dalam tata dunia, termasuk masalah sosial politik, mesti diletakkan lalu dipahami dalam konteks hidup, karya dan ajaran Yesus selama di tanah Palestina.
Orang Katolik percaya bahwa inkarnasi Yesus adalah jalan Allah untuk masuk dan terlibat dalam sejarah keselamatan dunia.
Keterlibatan Yesus yang terungkap dalam hidup, ajaran dan karya-Nya terdokumentasi dalam Kitab suci. Kita bisa memahami mengapa Tuhan mau terlibat dalam dunia dengan segala problematika sosial politiknya.
Pepatah Latin kuno berbunyi: Quod non est assumptum, non est sanatum yang artinya: tidak ditanggung atau tidak diterima, tidak disembuhkan. Obat hanya bisa menyembuhkan seseorang jika obat itu diterima dan dimasukkan ke dalam tubuh agar bisa menghancurkan sumber penyakit sehingga tersembuhkan.
Pepatah ini menjadi keyakinan Gereja abad-abad pertama untuk menjelaskan alasan Yesus harus menderita dan wafat di salib. Yesus rela mati memilukan di salib. Selama dianiaya hingga wafat, Dia tak pernah melawan, menantang, atau mengancam untuk mempraperadilkan para pendakwa.
Sebaliknya, Putra Allah mendoakan dan mengampuni orang-orang durhaka yang melukai tubuh-Nya. Yesus mau menanggung dan menerima dalam diri-Nya tindakan dan akibat dosa dunia melalui penderitaan dan kematian-Nya, agar Dia dapat menyembuhkan mereka.
Pertanyaannya yang sudah muncul di kalangan murid pertama Yesus: Mengapa Dia harus sengsara dan mati disalibkan? Dia mati di salib karena dihukum mati penguasa. Benturan dengan penguasa Romawi yang menjajah tanah Yudea, lokasi dimana Yesus menjalankan hidup dan karya-Nya, sekurang-kurangnya meletakkan prosesi kematian itu dalam ruang politik kekuasaan. Kita bisa lihat itu dalam Kitab Suci dan tulisan para penulis rohani.
Politik dalam Konteks
Kitab Suci ditulis pada konteks sosial budaya dan politik tertentu. Maka, Kitab Suci adalah Buku Suci yang berisi Firman Tuhan sekaligus juga merupakan buku sejarah religiositas yang merekam berbagai peristiwa sosial, politik, ekonomi, budaya pada masa tertentu.
Diskusi tentang tema politik dalam perspektif Perjanjian Baru dapat diawali dengan pertanyaan: sejauh manakah dapat dicermati minat dan keprihatinan sosial-politis dari para penulis Perjanjian Baru.
Apakah kita bisa merumuskan sebuah teologi politik dari khotbah-khotbah dan tindakan Yesus semasa hidup dan karya-Nya di depan umum? Jemaat Kristen Perdana hidup dalam satu situasi sosial keagamaan yang terkait erat dengan percaturan politik pada masanya.
Lukas merupakan salah satu pengarang Injil yang menyadari relasi sejarah dan politik ini sejak awal Injilnya. Peristiwa Yesus yang dikisahkan Lukas berada dalam satu jejaring kekuasaan pada zaman itu: antara pemerintahan kekaisaran Romawi, kekuasaan administratif di provinsi, dan penguasa-penguasa lokal dengan hubungan kekerabatannya dan pemimpin-pemimpin agama yang turut ambil bagian di dalamnya.
Lukas menulis: Dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberius, ketika Pontius Pilatus menjadi wali negeri Yudea, dan Herodes raja wilayah Galilea, Filipus, saudaranya, raja wilayah Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias raja wilayah Abilene, pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun (Luk 3:1-2).
Dalam konteks kisah sengsara Yesus, keempat penginjil “mengakui” persekongkolan antara pemerintahan Gubernur Romawi, Ponsius Pilatus, dan aristokrasi imam-imam kepala di Yerusalem dalam proses penyaliban Yesus.
Tuduhan dari Sanhedrin bahwa Yesus menyesatkan bangsa Yahudi dengan melarang mereka membayar pajak (Luk 23:1-5), persahabatan antara dua seteru politik Herodes dan Pilatus dalam pengadilan Yesus (Luk 23:12), begitu pula dakwaan yang tertulis di atas salib sebagai alasan hukuman mati-Nya (Mat 27:37; Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh 19:19-22) menunjukkan kesadaran para penginjil bahwa peristiwa penyaliban Yesus itu sangat diwarnai oleh faktor politik dan kekuasaan (Solichin: 2017).
Konsepsi Jemaat Kristen perdana tentang politik sangat terkait dengan pewartaan Yesus akan Kerajaan Allah yang segera datang dalam segala kepenuhannya.
Keyakinan ini membawa mereka pada satu konsekuensi hidup baru dalam Kristus yang sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap praktik hidup bangsa terjajah yang didominasi kekuasaan Romawi.
Injil yang secara langsung mengungkapkan cara hidup kemuridan yang kontras di hadapan logika pemerintahan duniawi adalah wejangan Yesus kepada murid-muridnya untuk menanggapi permintaan Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus.
Yesus memanggil mereka lalu berkata: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”(Mrk 10:42-45)
Yesus Bukan Politikus
Tema terkait Yesus dan Politik selalu menarik dan relevan pada setia masa. Yesus adalah tokoh abadi sepanjang sejarah peradaban.
Buku-buku terkait tema Yesus dan politik cukup banyak dan representatif dalam bahasa asing tapi sangat terbatas dalam Bahasa Indonesia. Misalnya, bahasa Jerman: Christlicher Glaube und politische Vernunft, karya Herwig Buechele (Wien-Zurich-Duesseeledorf, 1987) atau bahasa Inggris karya Jim Wallis: The Great Awakening: Reviving Faith & Politics in A Post-Religious Right America (New York: HarperCollins, 2008), karya Richard H. Horsley berjudul: Jesus and the Politics of Roman Palestine (The University of South Caroliona, 2014) dan karya Johan F. MacArthur berjudul: The Murder of Jesus: The Study of How Jesus Died (Thomas Nelson Publisher, 2004).
Para penulis berbagai buku ini umumnya memiliki benang merah yang memunculkan kesamaan dari berbagai buku tentang Yesus dan politik.
Rata-rata semua punya pemahaman senada bahwa Yesus itu bukan politikus. Meski demikian, Yesus harus hidup dalam sikon yang kental dengan nuansa politis.
Bahkan, Yesus pernah diharapkan masyarakat Yahudi 2000 tahun silam sebagai tokoh politik yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Itu terjadi pada Minggu Palma, lima hari sebelum penyaliban-Nya pada Jumat, ketika Yesus dielu-elukan orang banyak saat dia memasuki kota Jerusalem.
Orang-orang Yahudi memang sudah sejak lama punya harapan akan datangnya Mesias sang Pembebas. Orang-orang yang mengelu-elukan Yesus itu punya harapan mesianik bahwa Yesuslah Mesias itu.
Namun, betapa kecewanya orang-orang itu karena Yesus menolak untuk dijadikan raja atau tokoh yang sesuai dengan harapan mereka. Yesus ternyata tidak mau berpolitik praktis.
Dengan demikian, Yesus jelas bukan sosok politikus atau bermain dalam tataran politik praktis. Ketika dibawa kepada Gubernur Pontius Pilatus, saat ditanya wakil pemerintah Romawi, “Apakah Engkau seorang raja?”, Yesus menjawab bahwa kerajaan-Nya tidak berasal dari dunia ini.
Meski demikian, dunia tempat Yesus hidup ketika itu sudah menyeret-Nya ke dalam permasalahan politik. Bahkan oleh para ahli agama Yahudi yang tidak suka dengan sepak terjang Yesus yang selalu memihak orang kecil, disebarkan tuduhan atau fitnah bernada politis bahwa Yesus punya agenda memberontak melawan pemerintah Romawi.
Ajaran-ajarannya yang memuji orang miskin dan teraniaya, Yesus dituduh sebagai provokator. Tuduhan itu membawa konsekuensi berat. Sampai akhirnya Yesus dihukum mati lewat digantung disalib, sebuah hukuman ala Romawi yang biasanya dilakukan untuk para kriminal (Saptaatmaja: 2019).
Ketika Yesus mati disalib, sebagian pengikut Yesus yang sejak semula mengelu-elukan-Nya sebagai Mesias atau tokoh politik yang membebaskan langsung terpuruk dalam rasa putus asa yang besar. Yesus dianggap telah gagal oleh hukuman salib.
Politik Etis
Meski tidak mendirikan partai politik atau menjadi politikus dari aliran tertentu, Yesus sebenarnya berpolitik juga, yakni politik etis.
Dengan kata lain, lewat ajaran-ajaran-Nya seperti bisa kita baca dalam Injil, Yesus ialah inspirator bagi gerakan moral untuk memperjuangkan kaum lemah yang kala itu amat menderita. Politik Yesus ialah politik memihak kaum lemah.
John P Meier dalam buku A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus: The Roots of the Problem and the Person membuktikan kepada kita betapa selama hidupnya, Yesus terlibat dan menyatu dengan kaum miskin.
Ziarah misi Yesus dari Betlehem hingga Kalvari adalah saksinya. Orang buta, pelacur, pengemis, hingga penyamun adalah sosok-sosok kaum jelata yang akrab dengan Yesus.
Yesus bukan politikus yang suka menjual isu orang miskin, melainkan benar-benar solider dengan kaum miskin. Bahkan di awal karya-Nya, kata pujian pertama yang keluar dari mulut-Nya ialah ‘berbahagialah orang-orang miskin’ (Matius 5:2).
Tidak sekadar memuji kaum miskin, Yesus juga lantang mengecam kolusi antara pejabat agama dan penguasa yang berpusat di Bait Allah di Jerusalem.
Bait Allah pada waktu itu menjadi tempat atau kantor Imam Besar (eksekutif), kantor Sanhedrin (legislatif), pusat peradilan (yudikatif) sekaligus tempat bagi Bank Sentral.
Yesus marah Bait Allah telah dijadikan “sarang para maling atau penyamun.” Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari halaman Bait Allah. Dia berani menyerang jantung kekuasaan yang ada waktu itu.
Maka kita dapat mengatakan bahwa Yesus ialah pejuang bagi tegaknya politik etis atau politik moral yang berani mengkritik persekongkolan antara pejabat agama dan birokrat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan di atas penderitaan orang-orang lemah.
Semua itu akhirnya membawa konsekuensi, Yesus dihukum mati lewat tiang salib. Yesus menjadi korban kebencian dan permusuhan para pemimpin agama: kaum Farisi, imam-imam kepala, dan ahli Taurat. Kehadiran Yesus dinilai membahayakan kedudukan para penguasa agama (Sutrisnatmaka, 2019).
Secara de facto, para penguasa politik Romawi dan penguasa agama Yahudi terlibat permainan politik praktis, melegalkan segala cara, termasuk korupsi untuk mempertahankan kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat.
Kehadiran Yesus yang menyerukan kebenaran, kejujuran, dan pertobatan kepada Allah membuat mereka merasa terancam dan tersaingi. Mereka iri dan dengki kepada Yesus sehingga membuat tuduhan palsu.
Pemimpin Yahudi ini lalu membuat kriminalisasi atas diri Yesus. Mereka menyuap rakyat agar mendukung argumentasi untuk melenyapkan Yesus. Itulah alasan rakyat bersedia berteriak-teriak, “Salibkanlah Dia.”
Pontius Pilatus sebagai wali negeri Romawi di Palestina menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus lebih karena alasan politis. Walaupun tidak menemukan kesalahan pada diri Yesus, dia ingin menjaga hubungan baik dengan pemimpin agama Yahudi.
Pilatus juga tidak mau kehilangan simpati rakyat. Selain itu, dia melihat Yesus berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dan bahkan mengurangi pajak pendapatan. Gara-garanya, Yesus sempat mengusir para pedagang di Bait Allah, sehingga terjadi keonaran. Apabila pasar di Bait Allah dibubarkan, pajak bagi pemerintah Romawi akan hilang. Padahal itu jadi upeti bagi Pemerintahan Romawi. Sogokan yang mesti diberi kepada kaisar Romawi.
Pilatus sesungguhnya bukan sekadar sebuah nama. Lebih dari sebuah nama, ia memperlihatkan suatu karakter, yang menurut Giorgio Agamben-penulis buku “PilatoeGiesu”, yang menyatu dan melekat dalam darah dan daging sebagai seorang pemimpin yang kotor dengan karakter seorang penguasa lalim, ironis dan pintar bersandiwara.
Pilatus memperlihatkan “kenyataan” bahwa cara hidup yang gelap tidak perlu sesuai dengan kebenaran. Kekuasaan palsu tidak harus tunduk pada kebenaran.
Kebesaran tidak selamanya ditempuh melalui jalur yang benar. Keputusan yang lalim tidak perlu berdasarkan pada hati nurani dan kebenaran. Pilatus adalah simbol dan figur kekuasaan gelap yang sewenang-wenang itu.
Sementara di pihak lain, Yesus adalah figur kekuasaan yang benar. Ia mengajarkan kebenaran yang sesungguhnya. Hidupnya adalah kebenaran. Kata-katanya adalah kebenaran. Bahkan seluruh diri-Nya adalah kebenaran. Ia berbicara dari kesucian dan bertindak dalam kasih suci untuk menyelamatkan orang banyak. Orang buta melihat, yang tuli mendengar, yang bisu berbicara, yang berdosa diampuni, dan bahkan yang mati dihidupkan.
Urgensi Politik Kenabian
Yesus menolak memenuhi harapan orang Yahudi yaitu menjadi raja. Ia menolak tawaran kekuasaan duniawi. Ia memilih belaskasih dan mengutamakan orang miskin.
Tindakan kenabian lebih dari sekadar kritik sosial, bukan hanya mengutuk struktur yang tak adil dan menindas atau sekadar menyampaikan sabda Tuhan tapi merupakan pilihan hidup (optio fundamentalis), tentu dengan konflik yang muncul.
Keterlibatan dan kepedulian Gereja serta konflik yang diakibatkannya merupakan tanda nyata bahwa Gereja melakukan sesuatu di dunia. Kalau Gereja tidak terusik, nyaman dan bahkan tidak terancam, padahal dunia sekitarnya menderita, maka itu tanda Gereja tidak berbuat apa-apa. Gereja harus melawan struktur yang menindas dan menyengsarakan sesama manusia.
Para penjahat yang berlaku jahat melalui struktur dan sistem yang dibuatnya, harus dilawan dan disadarkan bahwa mereka telah banyak perbuatan jahat. Mereka harus bertobat: berhenti berbuat jahat dan belajar berbuat baik.
Gereja (awam dan klerus) mesti berdiri paling depan dalam mempertahankan martabat luhur manusia yang dijadikan sekadar komoditas politik lima tahunan.
Martabat manusia hanya sekadar menjadi kalkulasi angka-angka survei dan statistik kemiskinan untuk menjadi bahan kampanye murahan.
Gereja mesti berjuang untuk nasib kaum lemah seperti sudah dilakukan Yesus. Politisi Katolik mesti bersama Yesus memperjuangkan politik moral, berupa politik kenabian, menjauhi politik partisan yang tidak lain ialah politisasi agama yang menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan politik. Praksis politik tak terpuji ini sama dengan kita menyalibkan Yesus untuk kedua kalinya.
Gereja (awam dan klerus) harus terlibat dalam merawat dan menjaga nilai kehidupan. Proses meraih kekuasaan mesti melalui jalan yang baik dan benar.
Sejarah Ende membuktikan: kekuasaan yang diraih dengan uang akan menghasilkan elite politik-birokrasi yang korup. Bupati dan anggota DPRD Ende yang tenar sebagai terduga koruptor menggunakan uang untuk membeli martabat rakyat.
Awam dan klerus mesti aktif mengadvokasi rakyat Ende agar memilih bupati dan wakil bupati yang memiliki rekam jejak teruji dalam dunia politik-birokrasi, kapasitas yang mumpuni mengelola birokrasi dan berintegritas.
Awam dan klerus mesti berkolaborasi mengadvokasi rakyat agar tidak menyerahkan daerah ini ke tangan orang-orang yang kapasitas, kapabilitas, kemampuan manusiawi dan integritas sangat meragukan. Rakyat Ende paling tahu rekam jejak semua calon pemimpin yang balihonya berderet-deret di atas got dan selokan kota yang kotor.
Awam dan klerus mesti bersatu mencerahkan warga agar jangan menyerahkan Ende ke tangan orang yang diduga sangat kuat terlibat dalam kasus pembunuhan Ansel Wora di Pulau Ende karena diduga menyuruh ajudan dan sopir pribadi menjemput Almarhum di rumahnya dan dikembalikan dari Pulau Ende dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Tanpa informasi kepada keluarga dan isteri almarhum. Tindakan ini sangat keji dan super jahat.
Rakyat Ende mesti diingatkan agar menggunakan hak pilihnya dengan benar agar tragedi Ansel Wora tidak terulang kembali. Pulau Ende adalah pulau berdarah dan darah itu akan terus memanggil semua orang yang bersandiwara di balik kematian tragis ini.
Paket calon (Paslon) bupati dan wakil bupati yang bertarung dalam Pilkada Ende hasil pilihan sendiri dan tidak ada kaitan atau relasi dengan gagasan toleransi. Apalagi membawa-bawa nama Ende sebagai kota Pancasila maka calon pemimpinnya mesti berasal dari agama tertentu.
Pola pikir ini sangat dangkal dan menyesatkan akal sehat. Toleransi itu laku hidup harian di tengah masyarakat. Orang yang merasa lemah dan mendekati kekalahan, terkadang jadi kalap, kesurupan dan kehilangan akal sehat.
Menjadi bupati dan wakil bupati Ende itu soal kapasitas, kapabilitas, kepemimpinan dan integritas. Orang beriman itu pola pikirnya sudah melampaui sekat primordial:suku, agama, ras dan golongan. Orang yang menjadikan politik-apalagi tim sukses paslon-sebagai lapangan kerja cari makan-pasti pasang badan biarpun salah.
Pembicaraan tentang calon pemimpin Ende itu mestinya terkait program kerja dan penataan birokrasi, bukan masih berkutat pada isu-isu agama yang sempit.
Organisasi semisal PMKRI dan GMNI mesti mawas diri agar tidak sekadar menjadi area pembuangan “tinja politik” para mantan anggotanya yang rekam jejaknya sudah diketahui publik luas.
Anak-anak muda memang pemilik masa depan tapi jangan memaksakan diri berpendapat melampaui kemampuan sendiri. Jangan juga menjadi lubang persembunyian jurnalis kutu loncat yang kerjanya memanfaatkan orang/institusi untuk menggelaplan nuraninya.
Bangun diskusi yang kritis dengan semua pihak agar wawasan tidak “terbatas” di ketiak seniordan baca buku lebih banyak lagi agar keberanian memiliki basis argumentasi yang kuat.
Profetisme butuh napas panjang, makan waktu yang lama dan timbunan energi yang tidak sedikit. Jangan sekali teriak di atas pick up lalu membusungkan dada mewakili aspirasi rakyat (Pulau) Ende. *
Penulis adalah Wartawan, Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM, 2019)
Editor : Wentho Eliando