Oleh: Paskalis Suba
POLITIK uang menjadi virus yang senantiasa bermetamorfosis dalam setiap perhelatan pesta demokrasi.
Dengan berbagai modus operandiyang digunakan, para arsitek politik uang memiliki satu cita-cita yakni mempengaruhi pemilih guna menjatuhkan pilihan pada mereka. Ironisnya, setiap transaksi selalu terselip harapan pasti yang tidak pasti.
Transaksi lima tahunan ini juga telah menjadi sesuatu yang banal. Hal ini karena para aktor yang terlibat dalam transaksi tersebut menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa dan normal-normal saja.
Belum lagi masyarakatjuga mengangapnya sebagai sesuatu yang klasik dan tidak perlu dipersoalkan bakhan dianggap sebagai sebuah kewajaran.
Oleh karena itu, tidak berlebihan, politik uang sudah menjadi “budaya” dalam berdemokrasi.
Bawaslu telah melakukan pemetaan kerawanan politik uang sebagai langkah pencegahan dalam pelaksanan pemilihan umum dan pemilihan serentak 2024.
Hasil pemetaan berdasarkan pengalaman pemilu 2019 dan pemilihan 2020, terdapat lima provinsi tertinggi rawan politik uang yakni Maluku Utara, Lampung, Jawa Barat, Banten dan Sulawesi Utara.
Dalam lingkup kabupaten/kota terdapat 20 Kabupaten/kota yang tertinggi rawan politik uang.
Meskipun demikian provinsi atau kabupaten/kota lainnya luput dari praktik politik uang melainkan masuk dalam kategori rawan sedang terjadi politik uang (Kompas.id, 16/08/2023).
Tolak Politik Uang
Dalam Restaetment Kumpulan Kajian Hukum Pemilu,Veri Junaidi, membeberkan ada banyak kajian tentang politik uang. Meskipun demikian defenisi politik uang, setidaknya terdapat dua unsur penting.
Pertama, menyangkut pemberiaan (langsung/tidak lansung:janji) barang atau jasa. Kedua menyangkut dampak yakni untuk mempengaruhi pilihan pemilih (Muhammad Nur Ramadhan dan Bachtir Baital, 2019;3).
Praktik politik uang merupakan aktus yang mencederai demokrasi itu sendiri. Kedaulatan rakyat yang menjadi roh dari demokrasi dibegal.
Hak penuh rakyat dalam menentukan pemimpin dan wakil merekadipasung demi memenuhi hasrat untuk berkuasa.
Oleh karena itu, kekuasan yang diperoleh bukanlah legitimasi dari masyarakat melainkan legitimasi ilegal, legitimasi hasil rampokan dari tangan rakyat.
Pada titik ini juga, pemimpin yang lahir dari rahim politik uang mungkin saja menjamin keberhasilan, namun bukan kesuksesan yang bertahan lama dan tanpa efek sampingan.
Kepemimpinan yang dibangun dengan politik uang, yang hanya sekedar membuat rakyat lupa diri dan realitas sesaat akan mudah menjadi penguasa yang gampang lupa janji dan kewajiban (Bdk. Paul Budi Kleden, 2013;41).
Pada sisi lain, pemimpin yang merupakan produk dari politik uang merupakan pemimpin parasit. Ia akan menjadi benalu yang akan mengekspolitasi masyarakat demi mencapai keuntungan parsial.
Eksistensi kepemimpinannya menjadi ladang untuk mengembalikan modal. Implikasinya, kekuasan yang diemban tidak lagi untuk melayani rakyat melainkan untuk melayani kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, transaksi politik uang mutlak ditolak. Tidak ada ruang tawar menawar bagi politik uang. Politik uang harus diputus mata rantainya.
Dengan kata lain, politik uang tidak boleh diberi ruang. Sebagai bentuk tanggungjawab moral, semua anak bangsa harus satu suara, “politik uang adalah musuh bersama”.
Manifestasi dari penolakan itu terkristal dalam undang-undang tentang pemilu yang melarang dan menindak bagi para pelaku politik uang.
Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 280 ayat 1 huruf j (Tahap Kampanye)), Pelaksanan, peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye, 278 ayat 2 (Masa tenang), dan Pasal 515 (Tahapan Pemungutan Suara).
Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku transaksi politik uang berupa sanksi administratif (Pasal 285, 286) dan pidana pemilu (Pasal 523 ayat 1, 2, dan 3).
Politik Uang “Disayang”.
Praktik politik uang merupakan suatu paradoks, ditolak tapi diterimah, dibenci tapi disayang. Meskipun praktik ini mencederai proses demokarsi tetapi tetap tumbuh subur setiap perhelatan pesta demokrasi lima tahunan. Oleh karena itu, praktik politik uang sesungguhnya disayang bahkan dikembangbiakan.
Ada dua alasan mengapa praktik politik uang disayang. Pertama, hukum yang limtatif dan kalkulatif. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum secara eksplisit membeberkan pasal dan ayat tentang pelarangan dan sanksi adiminstratif maupun pidana bagi para pelaku politik uang.
Meskipun demikan praktik politik uang dilarang hanya pada tiga tahapan pelakasana pemilihan umum yakni tahapan kampanye, masa tenang dan tahapan pemungutan suara.
Implikasinya penindakan pelaku praktik politik uang hanya dilakukan dalam tiga tahapan ini.
Di luar tiga tahapan yakni kampanye, masa tenang dan pemungutan suara, transaksi yang dikategorikan sebagai politik uang tidak bisa dikategorikan sebagai politik uang apalagi diproses secara hukum. Pada hal sesungguhya tahapan pemilihan umum bersifat integral.
Di luar tiga tahapan ini orang bisa saja melakukan transaksi dengan menggunakan strategi “booking”. Dengan kata lain, sudah dilakukan panjar kepada pemilih yang menjadi objek transaksi dengan berbagai konsensus yang telah disepakati.
Modus ini menjadi peluang besar bagi para aktor politik uang untuk beraksi secara masif. Tentu, prinsip do ut des berlaku.
Dengan kata lain, dalam pemberian uang atau materi lainnya, mutlak ada aksi tawar menawar yang dilakukan. Ibarat, tidak ada makan siang gratis.
Kedua, masyarakat yang permisif.Masyarakat memiliki kecendrungan permisif terhadap berbagai bentuk politik transaksional juga turut membuat praktik ini terus tumbuh.
Dalam survei yang dilakukan kompas, di mana sebagian besar responden yang mengaku pernah memiliki pengalaman langsung atau mengetahui praktik politik uang memilih diam dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang (Kompas.id, 08 Februari 2023).
Sekitar empat dari sepuluh bagian responden yang pernah mengetahui atau mengalami politik uang menyatakan tidak akan melaporkan kepada Bawaslu.
Mereka menganggap dengan melaporkan temuan kecurangan itu, maka akan berhadapan dengan urusan politik yang berbelit. Sikap yang tak jauh berbeda pun ditunjukan oleh seperti bagian responden lainnya.
Pada rumpun ini justru yang memilih untuk acuh tak acuh pada segala bentuk prakatik suap yang terjadi karena bukan merasa bagian dari tanggungjawabnya.
Sikap permisif masyarakat inijustru menjadi pupuk bagi praktik politik uang. Dengan kata lain, masyarakat yang merupakan pemilik kedaulatan memberikan ruang bagi politik uang.
Masyarakat, secara implisit sedang bekerja sama dan mengafirmasi bahwa praktik politik uang itu baik adanya. Masyarakat dan pelaku telah “berkolaborasi” dalam praktik politik uang.
Singkatnya, bungkamnya masyarakat dalam praktik politik uang memberi dalih tersirat bahwa aktus tersebut sudah selayaknya terjadi demikian (bdk. F. Budi Hardiman, 2018;165).
Penutup
Politik uang merupakan aktus pembusukan demokrasi. Cita-cita pemilu yang demokratis dan berintegritas terkubur dalam kedangkalan paradigma hasrat berkuasa.
Kedaulatan rakyat direduksi hanya sebatas pada kepentingan partikular. Oleh karena itu, politik uang mutlak ditolak.
Politik uang adalah musuh bersama yang harus diputus mata rantainya. Semua anak bangsa harus satu suara “Tolak Politik Uang”. ***
Penulis: Koordinator Divisi HPPMHM Panwaslu Kecamatan Atadei, Lembata, NTT