Affan Kurniawan, On Violence dan Homo Vivens

- Jurnalis

Jumat, 29 Agustus 2025 - 10:55 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Anselmus DW Atasoge

PADA malam 28 Agustus 2025, Jakarta menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi yang mengguncang nurani bangsa.

Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, meninggal dunia setelah terlindas kendaraan taktis milik Brimob Polri di kawasan Pejompongan.

Ia bukan demonstran, bukan provokator, bukan ancaman bagi negara. Ia hanya seorang pekerja yang tengah mengantar pesanan terakhir, berharap pulang dengan selamat ke rumahnya yang sederhana.

Namun harapan itu hancur di tengah kekacauan, saat gas air mata membutakan arah dan sirene memekakkan nurani. Tubuh Affan terseret, lalu terlindas oleh kendaraan yang melaju tanpa ampun. Ia sempat dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong. Video amatir yang merekam kejadian itu menyebar luas, memicu kemarahan publik dan desakan agar ada pertanggungjawaban.

Baca Juga :  Hentikan Perdagangan Orang di Indonesia

Kematian Affan bukan sekadar insiden. Ia adalah cermin retak dari sistem yang lupa bahwa keamanan bukan soal kekuatan, melainkan soal kemanusiaan. Dalam terang pemikiran Hannah Arendt, sebagaimana tertuang dalam On Violence, kita diingatkan bahwa kekuasaan sejati lahir dari konsensus dan partisipasi.

Kekerasan, menurut Arendt, adalah pengganti yang brutal ketika kekuasaan telah gagal. Di titik ini, ketika negara menggunakan kekerasan terhadap warga sipil tak bersenjata, seperti Affan, itu bukan tanda kekuatan, melainkan tanda ketakutan dan kemunduran politik. Negara yang mengandalkan represi telah kehilangan legitimasi moralnya.

Saya teringat akan adagium teologis Gloria Dei, Homo Vivens. Allah dimuliakan jika manusia hidup. Adagium ini mengandung pesan mendalam. Bahwasanya, kehidupan manusia bukan hanya bernilai secara biologis, tetapi merupakan pancaran kemuliaan ilahi itu sendiri.

Baca Juga :  Bergerak Bersama Lanjutkan Merdeka Belajar (Sebuah Refleksi)

Karena itu, setiap tindakan yang merendahkan, melukai, atau bahkan menghilangkan nyawa bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan penghinaan terhadap martabat spiritual yang melekat pada setiap insan.

Dalam konteks tragedi Affan Kurniawan, adagium ini menjadi cermin tajam: negara yang gagal melindungi kehidupan warganya telah gagal memuliakan Sang Pencipta. Mengapa? Kematian Affan adalah penghinaan terhadap martabat ilahi. Ia adalah Imago Dei, citra Allah yang seharusnya dijaga dan dihormati.

Ketika sistem keamanan menjadi penyebab kematian, bukan pelindung kehidupan, maka negara telah melukai bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa masyarakat.

Berita Terkait

Reformasi Partai Politik
Gestur Kecil yang Berbesar Dampak
Percaya Diri Tanpa Kompetensi: Psikologi di Balik Dunning-Kruger Effect
Bara Ketidakpuasan untuk Demokrasi yang Bertopeng
Menghidupkan Kembali Kemanusiaan
Ketimpangan yang Membunuh
SVD: Dari Logos Menuju ‘Filosof Praksis’
PTDH Kompol Kosmas: Fakta Teknis dan Keadilan Etik 
Berita ini 279 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 13 September 2025 - 16:14 WITA

Reformasi Partai Politik

Jumat, 12 September 2025 - 22:22 WITA

Gestur Kecil yang Berbesar Dampak

Jumat, 12 September 2025 - 11:52 WITA

Percaya Diri Tanpa Kompetensi: Psikologi di Balik Dunning-Kruger Effect

Kamis, 11 September 2025 - 20:44 WITA

Bara Ketidakpuasan untuk Demokrasi yang Bertopeng

Rabu, 10 September 2025 - 22:10 WITA

Menghidupkan Kembali Kemanusiaan

Berita Terbaru

Nusa Bunga

Festival Jelajah Maumere Usung Tema Lumbung Benih

Sabtu, 13 Sep 2025 - 18:46 WITA

Opini

Reformasi Partai Politik

Sabtu, 13 Sep 2025 - 16:14 WITA

Nusa Bunga

Wabup Domi Mere: Doa Lintas Agama Cahaya Kasih di Tengah Badai

Sabtu, 13 Sep 2025 - 15:54 WITA