Orang Pintar Restui Tindakan Main Hakim Sendiri (PT Krisrama Pelanggar HAM atau Sebenarnya Korban?)

- Jurnalis

Rabu, 19 Februari 2025 - 21:34 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

P. Dr Alexander Jebadu SVD

P. Dr Alexander Jebadu SVD

Mengapa PTK tidak ada akumulasi modal? Jawabannya jelas. Hasil usaha PTK berupa sayur, ubi, pisang, kelapa, sapi, babi dan kambing yang dihasilkan setiap tahun dari tanah HGU Nangahale dan Patiahu, dari dulu hingga sekarang, selalu langsung disambar alias DIMAKAN TERUS sampai HABIS oleh para mahasiswa calon pastor Senusatenggara yang dididik di Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret dan di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero.

Lebih miris lagi. Para calon pastor yang makan minum dari susu rahim tanah HGU Nangahale dan Patiahu yang diusahakan oleh PT DIAG Ende dan sekarang oleh PTK ini hanya sekitar 30% yang jadi pastor dan sekitar 70% jadi awam Katolik.

Lalu sayang sekali kalau yang 70% ini juga ikut caci maki almamater (Gereja Keuskupan dan Provinsi SVD Ende) sehubungan dengan kisruh tanah HGU Nangahale dan Patiahu saat ini. Kalau itu terjadi,  pihak ini betul-betul seperti kacang lupa kulit. Sangat menggelikan.

Baca Juga :  Nagekeo: Hakikat Ada yang Belum Tuntas

Kembali lagi ke soal pokok. Jadi menurut hukum, soalnya jelas. Pemilik Tanah Nangahale adalah Negara dan bukan Keuskupan Maumere dan bukan Provinsi SVD Ende. Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD Ende hanya berperan sebagai peminjam tanah milik negara yang dikelola oleh badan usaha  PTK.

Nah, sekarang warga setempat berpendapat bahwa tanah HGU ini adalah tanah nenek moyang mereka sebelum tahun 1859. Hal itu semua pihak tahu dan kalau hal itu benar maka mereka harus mengajukan gugatan perkara ke BPN.

Kalau klaim mereka benar, maka negara Indonesia, bukan Gereja dan bukan SVD Ende, akan kembalikan tanah Nangahale dan Patiahu kepada mereka.

Lalu Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD Ende akan bersedia untuk tidak mengelolanya lagi. Tentu kelapa-kelapa dan tanaman lain  harus dipetik dulu dan dimusnahkan dulu.

Baca Juga :  Sepak Bola sebagai Medium Pembangunan Sosial dan Keadilan Wilayah

Warga tidak bisa seenaknya petik dari hal yang mereka tidak pernah tanam. Itu prosedur hukumnya. Jadi warga masyarakat tidak bisa klaim dengan cara menyerobot.

Dengan mengklaim hak dengan cara menyerobot seperti yang telah dilakukan sejak tahun 2014, maka warga masyarakat bermain hakim sendiri dengan buat rumah akal-akalan di situ, petik kelapa perusahaan sesukanya, sensor beratus-ratus kayu jati yang mereka tidak pernah tanam sendiri dan jual.

Tindakan main hakim sendiri ini sudah dilakukan selama 10 tahun sejak 2014. Jelas, ini tindakan barbar, tak beradab, karena main hakim sendiri. Tapi tak seperti PT-PT biasa, PTK milik Gereja sebagai lembaga cinta kasih telah bersabar selama 10 tahun.

Berita Terkait

Menuju Penyatuan Cakrawala
Dampak Stunting Bagi Pertumbuhan Anak
Mungkinkah Demokrasi Deliberatif dalam Kasus RS Pratama Solor
Martabat Manusia, Kekerasan Simbolik dan Krisis Sportivitas
“Yang Sakral dan Yang Sosial”
Perencanaan Strategis dan ‘Proses Menjadi’ (Sisip Gagas untuk Artikel Vinsensius Crispinus Lemba)
Bahasa, Jalan Menuju Hati dan Rekonsiliasi
Menata Arah Pendidikan dengan Pikiran Strategis
Berita ini 5,145 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 26 Oktober 2025 - 19:34 WITA

Dampak Stunting Bagi Pertumbuhan Anak

Senin, 20 Oktober 2025 - 18:48 WITA

Mungkinkah Demokrasi Deliberatif dalam Kasus RS Pratama Solor

Jumat, 17 Oktober 2025 - 08:56 WITA

Martabat Manusia, Kekerasan Simbolik dan Krisis Sportivitas

Selasa, 14 Oktober 2025 - 14:12 WITA

“Yang Sakral dan Yang Sosial”

Jumat, 10 Oktober 2025 - 07:17 WITA

Perencanaan Strategis dan ‘Proses Menjadi’ (Sisip Gagas untuk Artikel Vinsensius Crispinus Lemba)

Berita Terbaru

Steph Tupeng Witin

Oring

Mewaspadai Terjangan Mafia Nagekeo

Kamis, 30 Okt 2025 - 15:23 WITA