Ada Apa dengan Sistem Pendidikan dan Birokrasi di Indonesia?

- Jurnalis

Sabtu, 28 Desember 2024 - 08:41 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi

Ilustrasi

Oleh: Yulius Maran

KORUPSI di Indonesia telah menjadi isu sistemik yang meluas dan menyentuh hampir semua sektor, termasuk pendidikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya menjadi masalah hukum, tetapi juga masalah moral, sosial, dan institusional.

Dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi pilar pembentukan karakter bangsa, justru sering kali menjadi ajang praktik-praktik korupsi yang merugikan generasi muda dan masa depan negara.

Salah satu manifestasi korupsi yang paling mencolok adalah dalam pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang dirancang untuk mendukung operasional sekolah tetapi seringkali disalahgunakan.

Dalam konteks pendidikan, korupsi tidak hanya berbentuk penyelewengan dana tetapi juga kebijakan yang membuka celah untuk praktik manipulasi.

Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPlah), yang dirancang untuk memfasilitasi pengadaan barang dan jasa secara transparan, sering kali justru dimanfaatkan oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Perbedaan harga barang yang signifikan antara pasar umum dan platform ini menjadi bukti nyata bahwa sistem yang ada belum mampu sepenuhnya mencegah korupsi.

Masalah ini mengindikasikan bahwa akar korupsi di dunia pendidikan tidak hanya terkait kelemahan pengawasan, tetapi juga masalah struktural dalam birokrasi dan lemahnya implementasi nilai-nilai integritas di lingkungan pendidikan. Hal ini memerlukan solusi yang tidak hanya bersifat teknis tetapi juga menyentuh aspek budaya dan moral masyarakat.

SIPlah dan Korupsi dalam Dunia Pendidikan

Salah satu kebijakan pemerintah dalam memastikan transparansi dan efisiensi penggunaan dana BOS adalah dengan mewajibkan satuan pendidikan melakukan pengadaan barang dan jasa melalui platform SIPlah.

SIPlah dirancang untuk menjadi sistem pengadaan berbasis teknologi yang aman, transparan, dan akuntabel. Namun, di lapangan, sistem ini justru kerap menghadirkan masalah baru yang berpotensi melanggengkan praktik korupsi.

Salah satu isu utama adalah perbedaan harga yang signifikan antara barang yang dijual di SIPlah dan pasar umum. Misalnya, sebuah laptop dengan spesifikasi dasar dapat dibeli di pasar umum dengan harga sekitar Rp 5 juta.

Namun, melalui SIPlah, laptop dengan spesifikasi serupa sering kali dihargai jauh lebih tinggi, bahkan mencapai Rp10 juta. Perbedaan ini menunjukkan adanya markup yang tidak wajar, yang pada akhirnya merugikan anggaran pendidikan.

Selain itu, SIPlah seringkali memberikan ruang bagi oknum untuk memainkan harga melalui monopoli penyedia barang. Beberapa penyedia memiliki kendali atas jenis barang tertentu yang tersedia di platform, sehingga sekolah tidak memiliki banyak pilihan selain membeli barang dengan harga tinggi.

Praktik ini tidak hanya melanggar prinsip transparansi tetapi juga mengurangi efisiensi penggunaan dana BOS yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Praktik Dana BOS: Kegagalan dalam Implementasi Kebijakan

Kasus penyalahgunaan dana BOS tidak hanya terjadi dalam pengadaan melalui SIPlah. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2022 mengungkapkan bahwa penyimpangan dana BOS terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari laporan fiktif, penggelembungan harga, hingga alokasi dana yang tidak sesuai peruntukannya.

Baca Juga :  Nagekeo: Hakikat Ada yang Belum Tuntas

Sebagai contoh, di sebuah daerah di Jawa Timur, dana BOS yang seharusnya digunakan untuk pembelian buku pelajaran justru dialokasikan untuk kebutuhan pribadi kepala sekolah. Kasus ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan dana BOS masih lemah.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2021 mencatat bahwa sektor pendidikan adalah salah satu sektor dengan tingkat korupsi tertinggi di Indonesia.

Dari total kasus korupsi yang dilaporkan, sekitar 11% terjadi di sektor ini, dengan kerugian negara mencapai miliaran rupiah. Data ini mencerminkan perlunya perbaikan mendasar dalam tata kelola pendidikan.

Analisis Filosofis dan Sosiologis dalam Pendidikan

Dalam konteks pendidikan, Plato (2000) dalam The Republic menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana pembentukan moral dan karakter yang baik.

Bagi Plato, pendidikan bukan hanya sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga merupakan proses pembentukan individu yang dapat mencapai kebijaksanaan dan kebaikan. Pendidikan, menurutnya, seharusnya bertujuan untuk menciptakan warga negara yang berintegritas dan bertanggung jawab.

Namun, dalam kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia yang seharusnya menjadi benteng terakhir untuk melawan korupsi, justru sering kali terlibat dalam praktik-praktik yang merusak.

Ketika pengelola pendidikan dan sistem pengadaan seperti SIPlah tidak menunjukkan integritas, masyarakat, terutama siswa, menerima pesan yang keliru bahwa korupsi dapat dinegosiasikan atau diabaikan, yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Plato.

Immanuel Kant (1785) dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals berpendapat bahwa tindakan moral harus berlandaskan pada kewajiban yang universal dan tidak tergantung pada konsekuensi yang bersifat pribadi.

Menurut Kant, pendidikan seharusnya menanamkan prinsip-prinsip moral yang mengajarkan individu untuk bertindak dengan niat baik dan bertanggung jawab.

Dalam pandangan Kant, sistem pendidikan yang gagal mengajarkan prinsip-prinsip moral akan menghasilkan individu yang tidak hanya gagal memahami kebenaran, tetapi juga tidak memiliki kemampuan untuk bertindak secara moral.

Pendidikan yang terkontaminasi oleh korupsi dan pengelolaan yang tidak transparan akan menurunkan kualitas moral generasi mendatang, dan secara langsung melanggar prinsip kewajiban moral yang Kant ajukan. Ketika pendidikan tidak lagi mengutamakan prinsip ini, masyarakat akan kehilangan fondasi moralnya.

Michel Foucault (1977) dalam Discipline and Punish mengungkapkan bahwa kontrol sosial dalam masyarakat harus dilakukan dengan mekanisme yang konsisten dan transparan.

Foucault menyatakan bahwa kekuasaan yang tidak tampak secara langsung, seperti dalam bentuk pengelolaan pendidikan dan hukum, memiliki dampak besar terhadap norma-norma sosial.

Dalam konteks pendidikan, jika pengelolaan dana pendidikan penuh dengan celah korupsi, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan akan berkurang secara signifikan.

Kepercayaan ini penting karena jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem pendidikan, maka legitimasi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan pendidikan juga akan dipertanyakan.

Baca Juga :  Profisiat Alvin Parera Penjabat Bupati Sikka, Ingat Jabatan Amanah

Foucault menekankan bahwa hanya dengan pengelolaan yang adil dan transparan, masyarakat dapat menjaga legitimasi sosial dan politik yang mendasari sistem pendidikan.

Zygmunt Bauman (2000) dalam karyanya tentang liquid modernity menggambarkan dunia modern yang ditandai oleh ketidakstabilan dan perubahan yang cepat.

Dalam dunia yang cair ini, norma-norma sosial menjadi semakin rapuh dan kabur. Bauman berpendapat bahwa dalam masyarakat yang demikian, individu lebih cenderung mencari keuntungan pribadi daripada mempertahankan nilai-nilai kolektif yang mengikat.

Dalam konteks pendidikan, Bauman mengamati bahwa ketika sistem pendidikan tidak lagi memberikan ketegasan moral dan etis, individu akan cenderung menjadi lebih apatis dan tidak memperjuangkan kebaikan bersama.

Sistem pendidikan yang tidak mampu mempertahankan prinsip integritas dan keadilan akan mengarah pada ketidakpercayaan yang semakin mendalam terhadap institusi sosial, termasuk pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang diimplementasikannya.

Bauman menyarankan bahwa dalam dunia modern yang cair, pendidikan harus menjadi pilar yang kokoh untuk menanamkan kembali nilai-nilai moral yang mengikat masyarakat bersama.

Solusi untuk Meningkatkan Transparansi

Untuk memutus rantai korupsi dalam dunia pendidikan, diperlukan langkah-langkah konkret yang terintegrasi, antara lain:

Reformasi SIPlah sangat mendesak dilakukan. Pemerintah harus menetapkan standar harga maksimum untuk barang tertentu dan memastikan penyedia barang melalui seleksi yang ketat untuk mencegah monopoli. Langkah ini akan mengurangi potensi markup yang tidak wajar dan memastikan kompetisi yang sehat.

Mekanisme pengawasan terhadap penggunaan dana BOS harus diperkuat dengan melibatkan masyarakat, komite sekolah, dan auditor independen. Langkah ini akan meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi potensi penyelewengan dana.

Kepala sekolah dan bendahara sekolah perlu diberikan pelatihan intensif tentang pengelolaan keuangan dan pengadaan barang sesuai aturan. Peningkatan literasi keuangan ini akan membantu mereka mengelola dana BOS dengan lebih transparan dan efisien.

Edukasi anti-korupsi harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas sejak dini. Langkah ini bertujuan membangun budaya anti-korupsi yang berkelanjutan di masyarakat.

Catatan Akhir

Korupsi dalam dunia pendidikan, terutama dalam pengelolaan dana BOS dan SIPlah, adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan segera. Sistem yang ada saat ini membutuhkan reformasi mendalam untuk menciptakan lingkungan yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik-praktik curang.

Membangun dunia pendidikan yang bebas korupsi tidak hanya memerlukan langkah teknis tetapi juga komitmen kolektif dari semua pihak.

Sebagaimana Michel Foucault menegaskan, kekuatan sebuah sistem tidak hanya terletak pada struktur yang ada tetapi juga pada kemampuan untuk menjaga kepercayaan dan legitimasi di mata masyarakat.

Dengan memperbaiki sistem pendidikan, kita tidak hanya menanamkan nilai-nilai kejujuran tetapi juga membangun masa depan bangsa yang lebih baik dan bermartabat. *

Penulis Adalah Praktisi Pendidikan.

Editor : Anton Harus

Berita Terkait

Kekerasan Seksual: Luka dalam Relasi yang Harus Dihentikan
Quo Vadis Pendidikan Dasar Indonesia?
Bodho dan Begho di Republik Seolah-olah
Pembelajaran Mendalam: Fondasi Baru Pendidikan Indonesia?
Koperasi Merah Putih di NTT: Peluang atau Ancaman bagi BUMDes?
Pendidikan Karakter Berbasis Komunitas: Kolaborasi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Orang Pintar Restui Tindakan Main Hakim Sendiri (PT Krisrama Pelanggar HAM atau Sebenarnya Korban?)
Flores: Dari Pulau Bunga Menuju Pulau Panas Bumi
Berita ini 83 kali dibaca
REDAKSI: Kami Menerima Artikel Opini Dilengkapi Biodata Singkat dan Foto Penulis. Dikirim Melalui Email: florespos@yahoo.co.uk atau redflorespos@gmail.com.

Berita Terkait

Rabu, 9 April 2025 - 19:55 WITA

Kekerasan Seksual: Luka dalam Relasi yang Harus Dihentikan

Senin, 7 April 2025 - 21:18 WITA

Quo Vadis Pendidikan Dasar Indonesia?

Minggu, 30 Maret 2025 - 20:34 WITA

Bodho dan Begho di Republik Seolah-olah

Selasa, 18 Maret 2025 - 21:59 WITA

Pembelajaran Mendalam: Fondasi Baru Pendidikan Indonesia?

Selasa, 18 Maret 2025 - 19:57 WITA

Koperasi Merah Putih di NTT: Peluang atau Ancaman bagi BUMDes?

Berita Terbaru

Upacara pembasuhan kaki pada Misa Kamis Putih di Gereja Santo Yosef Onekore, Kamis (17/4/2025).

Nusa Bunga

Lima Ribuan Umat Paroki Onekore Hadiri Misa Kamis Putih

Jumat, 18 Apr 2025 - 10:03 WITA