Oleh: Sarlianus Poma, S.Pd.,M.M
Energi Baru dan Terbarukan (EBT)
Pada 2013, ASEAN Centre for Energi (ACE) mencatat bahwa Indonesia merupakan Negara dengan penggunaan listrik yang paling boros di antara Negara-Negara ASEAN lain.
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) mengatur mengenai bauran energi nasional. Akibat tingginya konsumsi energi tidak terbarukan (energi dari fosil), pada 2007 diterbitkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi untuk pemanfaatan energi secara nasional. Banyak sumber-sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia yang berpotensi untuk menggantikan energi tidak terbarukan dari produk energi fosil (minyak) (Silitonga et al., 2020).
Konsumsi energi merupakan bagian integral dan tidak dapat terpisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu Negara. Pertumbuhan penduduk, gaya hidup yang meningkat, perbaikan produksi, dan daya saing ekonomi merupakan beberapa alasan untuk permintaan energi yang tinggi.
Pembakaran berlebihan bahan bakar fosil mengakibatkan karbon dioksida (CO2) meningkat, yang mengarah ke efek lingkungan yang merugikan seperti pemanasan global (Eren et al., 2019). Indonesia sebagai Negara dengan konsumsi energi terbesar di kawasan Asia Tenggara dan urutan kelima di Asia Pasifik dalam konsumsi energi primer, setelah Negara China, India, Jepang, dan Korea Selatan dengan konsumsi energi primer sebesar 185.5 MTOE pada tahun 2018 perlu adanya energi alternatif.
Energi dibutuhkan bagi aktivitas manusia terutama untuk kegiatan perekonomian, rumah tangga, industri, bisnis serta transportasi. Sebagian besar suplai energi di dunia berasal dari bahan bakar fosil yang merupakan sumber daya non terbarukan.
Penggunaan energi di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan energi tak terbarukan yang berasal dari fosil, khususnya minyak bumi dan batu bara, namun seiring berjalannya waktu, ketersediaan energi fosil semakin menipis dan untuk mengantisipasinya energi baru terbarukan (EBT) merupakan alternatifterbaik.
Penggunaan energi baru dan terbarukan harus menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi pemakaian energi fosil melainkan juga untuk mewujudkan energi bersih atau ramah lingkungan.
Di Indonesia, kebijakan energi baru dan energi terbarukan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam dokumen tersebut, energi baru dan terbarukan ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025, serta pada tahun 2050 minimal mencapai 31%.
Sebaliknya, ketergantungan terhadap minyak bumi dan batu bara ditargetkan akan berkurang, dengan masing-masing persentase sebesar 20% dan 25%. Untuk mencapai target tersebut, maka diperlukan berbagai upaya serta program yang penjabaran dan pelaksanaannya dituangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) serta Rencana Umum Energi Daerah setingkat Provinsi (RUED-P).
Peluang dan Potensi EBT di Indonesia
Dengan perspektif energi sebagai modal pembangunan, energi terbarukan memiliki peranan penting dalam mendorong sistem ekonomi hijau, berkelanjutan, dan rendah karbon. Pembangunan dengan kesadaran jangka panjang ini telah menjadi tren pembangunan di seluruh dunia, menyikapi semakin naiknya populasi, kebutuhan manusia, dan kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, meliputi sumber energi surya, sumber energi air dan mikrohidro, sumber energiangin, sumber energi panas bumi, sumber energi gelombang laut, dan sumber energi biomassa. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, konsumsi energi saat ini juga memiliki potensi untuk efisiensi dan konservasi energi.
Berdasarkan amanat Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, Kebijakan Energi Nasional (KEN) disusun dengan berdasarkan pada prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna mendukung terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional.
Implikasi dari kebijakan ini adalah perlunya diversifikasi energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, salah satunya dengan mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).
Dalam KEN, target EBT secara spesifik diatur dengan tenggat waktu 2025 dan 2050. Dalam target tersebut, porsi EBT dalam bauran energi nasional harus mencapai setidaknya 23% di tahun 2025 dan paling sedikit 31% tahun 2050 sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Target ini setara dengan 45.2 GW pembangkit listrik EBT di tahun 2025, sisanya merupakan kontribusi dari biofuel, biomassa, biogas, dan coal bed methane.
Dalam hal Rencana Umum Penyediaan Listrik (RUPTL) 2021-2030, diproyeksikan total tambahan kapasitas pembangkit adalah 40.575 Gigawatt (GW), dengan porsi pembangkit EBT sebesar 20.923GW atau 51.6% dan porsi pembangkit listrik sebesar 19.562 GW atau 48.4%.
Berdasarkan jenis pembangkitnya, pembangkit dengan sumber EBT terbesar adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air/Mikro/Mikrohidro (10.391 GW), kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (4.68GW), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (3.355 GW), PLT EBT Base (1.01 GW), lalu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (0.597 GW), PLT Bio (0.590 GW), dan BESS (0.3 GW).
Sementara untuk pembangkitan dengan sumber energi fosil, PLTU menempati porsi terbesar dengan 13.819 GW, kemudian Pembangkitan Tenaga Listrik Uap/Gas Uap/Mesin Gas dengan 5.828 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dengan 5 Megawatt (MW).
Energi baru terbarukan berasal dari sumber-sumber yang dapat diperbaharui tanpa batas, seperti tenaga hidro/air, tenaga matahari, tenaga angin maupun tenaga dari sumber yang dapat diproduksi secara berkelanjutan seperti biomasa (Economic Cooperation, 2010).
Sumber utama energi terbarukan berasal dari tenaga surya (Timmons et al, 2014), yang dapat digunakan secara langsung, misalnya untuk pemanas dan listrik, serta sebagai tenaga utama bagi beberapa energi baru terbarukan. Sementara itu, tenaga hidro, angin serta biomasa merupakan sumber energi matahari sekunder (Timmons et al, 2014) karena masih melibatkan energi matahari di dalam proses pembentukan energi.
Salah satu sumber energi terbarukan yang paling melimpah di Indonesia adalah energi matahari.Energi Listrik Tenaga Surya. Tenaga surya merupakan sumber energi tak terbatas, karena energi matahari merupakan energi terbesar di bumi. Bagi Negara-Negara tropis seperti Indonesia, sinar matahari sangatlah mudah untuk ditemui.
Rata-rata insolasi harian Indonesia berkisar antara 4.5-4.8 kWh/m2/hari (Ramadhan & Rangkuti, 2016), sehingga berpotensi untuk mengembangkan energi surya menjadi sumber energi terbarukan. Panel surya merupakan alat semikonduktor yang berfungsi untuk mengubah sinar matahari menjadi energi listrik secara langsung.
Materialnya terdiri dari mikroskopi sel untuk 100 Megawatt atau lebih dan digunakan sebagai teknologi surya di permukaan bumi maupun luar angkasa. Untuk menghasilkan satu watt panel surya, dibutuhkan biaya produksi sebesar 6-8 USD atau setara dengan 85.000-115.000.
Berdasarkan jenisnya, ada dua tipe PLTS berbasis panel surya, yaitu PLTS on grid dan PLTS off grid. Secara teknis, hal-hal yang harus diperhatikan untuk merencanakan pemasangan panel surya adalah intensitas penyinaran matahari, orientasi dan arah hadap ke matahari, serta instalasi panel surya (Melorose et al, 2015).
Tantangan Pemerintah
Ada beberapa tantangan dalam mengupayakan akses dan pemerataan energi di Indonesia dengan menggunakan energi terbarukan. Biaya produksi listrik dari pembangkit energi terbarukan masih relatif lebih tinggi sehingga dianggap kurang kompetitif dibanding biaya produksi listrik dari pembangkit konvensional. Beberapa komponen untuk pembangkit listrik energi terbarukan juga masih diimpor, selain mempengaruhi harga produksi, juga menjadi tantangan untuk pemeliharaan.
Dalam proses pemeliharaan dan perawatan, kapasitas sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan. Dalam beberapa kasus untuk pembangkit listrik energi terbarukan yang dibangun Pemerintah Pusat dan diserahkan pada Pemerintah Daerah, pengoperasian dan perawatan tidak berjalan dengan baik sehingga pembangkit tersebut akhirnya mangkrak.
Kebijakan dalam negeri saat ini juga dinilai belum kondusif oleh para investor sehingga mereka kurang berminat untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan, misalnya insentif untuk pengembang dan dinamika perubahan kebijakan yang berubah-ubah.
Bagi investor, kepastian kebijakan adalah faktor penting untuk mendapatkan pendanaan bank dan juga perlindungan bisnis dalam jangka panjang.
Tantangan lain terkait energi terbarukan adalah sifat beberapa sumber energi terbarukan yang intermittent (tidak kontinyu) dan tidak dapat ditransportasikan sehingga harus dibangkitkan di lokasi setempat. Hal ini sebenarnya justru baik untuk melistriki lokasi yang sulit dijangkau jaringan seperti daerah pedesaan.
Namun, pemerintah tetap berupaya keras untuk mengejar target pemanfaatan energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, pemerintah saat ini menggenjot pengembangan pembangunan pembangkit listrik dari tenaga energi terbarukan.
Pemerintah perlu juga menerapkan kebijakan energi nasional secara konsisten melalui penyusunan Rencana Pengembangan Energi Terbarukan, instrument pengelolaan risiko proyek-proyek energi terbarukan dan penganggaran yang memadai untuk membangun proyek energi terbarukan off-grid di daerah 3T dan Pemerintah Pusat perlu melibatkan pemerintah daerah dalam perencanaan, pembangunan, dan evaluasi dalam program pengembangan energi terbarukan sehingga proyek-proyek energi terbarukan mampu dikelola oleh pemerintah daerah secara berkelanjutan.
Selain itu, sinergitas dan kolaborasi melalui kementrian dan lembaga terkait perlu dilakukan dalam membuat kebijakan yang menaungi produksi teknologi energi terbarukan dalam negeri dan merumuskan kebijakan insentif keuangan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Juga menyediakan akses energi dengan energi terbarukan yang dilakukan oleh berbagai pihak dan lembaga dapat dikumpulkan untuk dijadikan best practice dan lessons learned untuk duplikasi pemanfaatan energi terbarukan di tempat lain sehingga terciptanya tata kelola dan ekosistem tentang pengelolaan energi terbarukan di Indonesia.
Pemerintah dan DPR dapat segera mempercepat Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang saat ini tengah dibahas terkait Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah dan DPR bisa segera membentuk Panitia Kerja (Panja) bersama pemerintah guna membahas lebih lanjut dalam terkait substitusi dari RUU EBET.
Indonesia, dengan strategi yang tepat akan menjadi pionir dan tolok ukur pengembangan energi terbarukan di tingkat kawasan ASEAN. Kelebihan Indonesia adalah memiliki sumber daya dan pasar yang sama-sama besarnya. *
Penulis adalah Staff Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IEU Surabaya, Coordinator of STIM Kupang “International Class, dan Peneliti Muda IRGSC”