Oleh, Marselus Natar*
“Etika keluar-masuk dalam rumah tangga, kontrol digital anak, dan Injil tentang Yesus sebagai Pintu Kehidupan”
Dalam Injil Yohanes 10:9, Yesus menyatakan dengan jelas, “Akulah pintu; barang siapa masuk melalui Aku, ia akan diselamatkan dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput.”
Ayat ini, jika direnungkan lebih dalam, bukan sekadar pernyataan teologis, melainkan prinsip filosofis dan praktis untuk kehidupan keluarga masa kini. Yesus menyebut diri-Nya sebagai pintu, bukan tembok, bukan pagar, tetapi pintu: sesuatu yang bisa dibuka dan ditutup, sesuatu yang memberi akses sekaligus melindungi.
Pintu adalah simbol yang kaya makna. Ia menjadi batas antara dalam dan luar, antara aman dan berisiko, antara yang diketahui dan yang tidak.
Dalam rumah tangga, pintu bukan hanya benda mati yang dibuka atau dikunci; ia adalah filosofi keteraturan, keterbukaan, dan tanggung jawab. Dalam relasi antar anggota keluarga, setiap individu adalah pintu. Anak-anak adalah pintu menuju masa depan. Suami dan istri adalah pintu satu sama lain: tempat keluar-masuknya cinta, harapan, juga risiko jika tidak dijaga.
Namun kini, terlalu banyak pintu yang tidak dijaga. Terlalu banyak rumah yang tak lagi memahami makna pintu. Anak keluar tanpa pamit. Suami pergi tanpa kabar. Istri menjalani hari tanpa komunikasi.
Dan di antara semua pintu yang terbuka tanpa pengawasan, pintu digital adalah yang paling berbahaya. Ia tak kasatmata, tak berbunyi saat dibuka, tapi bisa menjadi gerbang bencana.
Etika Pintu: Komunikasi dan Keselamatan
Dalam banyak budaya tradisional, keluar rumah tanpa izin orang tua dianggap tidak sopan. Bahkan sekadar memberitahu ke mana pergi adalah bentuk penghormatan dan bukti bahwa seseorang menyadari keterikatannya dengan keluarga.
Dalam konteks suami-istri, memberi kabar saat bepergian bukan karena takut atau curiga, melainkan sebagai bentuk perhatian dan transparansi.
Namun dalam era digital dan individualisme ekstrem, nilai ini mulai memudar. Orang merasa tak perlu pamit, tak perlu menjelaskan, dan tak merasa penting saling mengetahui.
Padahal, etika pintu ini adalah sistem peringatan dini: dengan saling mengetahui, kita bisa cepat merespons jika terjadi sesuatu. Dengan saling memberi kabar, kita menjaga relasi tetap sehat dan terbuka.
Di sinilah kita memahami bahwa pintu bukan hanya akses keluar-masuk secara fisik, tetapi juga pintu komunikasi, pintu pengertian, pintu kendali. Jika pintu ini tertutup atau dibiarkan terbuka lebar tanpa pengawasan, maka keluarga kehilangan arah.
Pintu Digital dan Anak yang Tersesat di Dalamnya
Anak zaman sekarang tidak selalu keluar rumah secara fisik untuk “berpetualang.” Mereka melakukannya lewat layar ponsel. Lewat satu sentuhan, mereka bisa menjelajah dunia yang tak dikenal, berbicara dengan orang asing, menyaksikan hal-hal yang belum waktunya mereka lihat, bahkan—tanpa sadar—terjebak dalam jaringan prostitusi online.
Data dari KPPPA dan lembaga internasional seperti ECPAT Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan eksploitasi seksual anak secara online. Anak-anak, terutama remaja perempuan, banyak dijebak oleh pelaku yang menyamar sebagai teman sebaya, pacar, bahkan selebriti.
Setelah diperdaya, mereka dipaksa mengirim foto atau video vulgar, yang kemudian digunakan sebagai alat pemerasan. Tragisnya, banyak orang tua baru menyadari setelah semuanya terlambat.
Bagaimana ini bisa terjadi? Karena pintu digital itu dibiarkan terbuka tanpa kendali. Anak memegang gadget sejak dini tanpa bimbingan. Tidak ada batas waktu, tidak ada pembatasan konten, tidak ada diskusi terbuka tentang apa yang mereka akses.
Orang tua merasa tenang karena anak di rumah dan tidak ke mana-mana, padahal jiwa dan pikirannya telah melanglang buana ke tempat-tempat yang gelap dan penuh jebakan.
Menghidupkan Kembali Yesus sebagai Pintu dalam Rumah Tangga
Ketika Yesus berkata, “Akulah pintu,” Ia sedang menunjukkan bahwa hanya melalui-Nya—melalui kasih, kejujuran, dan keterbukaan—kita bisa masuk dan keluar dalam keselamatan. Konsep ini sangat relevan untuk membangun kembali fondasi rumah tangga yang kokoh.
Yesus sebagai pintu mengajarkan bahwa dalam setiap akses, harus ada kesadaran moral dan spiritual. Anak yang masuk ke dunia digital harus ditemani oleh nilai.
Suami yang keluar rumah harus membawa niat baik dan kabar yang jujur. Istri yang menjalani hari juga harus membawa rasa tanggung jawab dan komitmen. Tanpa semua itu, kita membuka pintu bukan menuju padang rumput, tapi menuju padang ilalang yang penuh duri.
Pendidikan Etika Pintu dalam Keluarga
Apa yang bisa dilakukan?
Pertama, tanamkan sejak dini kepada anak bahwa mereka harus memberitahu setiap kali hendak pergi ke mana pun. Ini bukan sekadar soal izin, tetapi bentuk penghargaan terhadap keberadaan keluarga.
Kedua, buat aturan yang jelas tentang penggunaan gadget: batas waktu, konten yang boleh diakses, dan kewajiban terbuka jika ada hal-hal yang membingungkan atau mencurigakan.
Ketiga, jadikan rumah sebagai ruang komunikasi. Sediakan waktu untuk bertukar cerita, bukan hanya urusan sekolah, tapi juga apa yang mereka lihat dan rasakan di dunia digital.
Keempat, suami-istri perlu saling terbuka: bukan karena saling curiga, tetapi karena ingin saling melindungi. Dalam cinta, transparansi adalah bentuk keamanan.
Kelima, libatkan nilai spiritual dalam setiap keputusan: ajak anak mengenal Yesus bukan sekadar lewat buku agama, tetapi lewat cara hidup. Tunjukkan bahwa Yesus adalah pintu yang harus mereka lewati jika ingin hidup dalam kelimpahan kasih dan keselamatan.
Jika Pintu Hilang, Rumah Menjadi Gua
Rumah yang tanpa komunikasi dan pengawasan adalah gua: sunyi, gelap, dan membingungkan. Di dalamnya, anak-anak bisa merasa terasing, orang tua bisa hidup dalam asumsi, dan kasih bisa menguap menjadi rutinitas. Pintu harus dibangun kembali: sebagai filosofi hidup yang membuka ruang bagi kejujuran, kasih sayang, dan kontrol yang bijak.
Yesus adalah Pintu. Tapi kita yang harus membangunnya di dalam rumah. Kita yang harus menjaga siapa yang masuk dan siapa yang keluar. Kita yang harus menentukan, apakah rumah ini akan menjadi tempat padang rumput yang memberi kehidupan, atau gua gelap yang melahirkan luka.
Jangan biarkan anak-anak keluar tanpa pamit, dan jangan biarkan mereka membuka pintu digital sendirian. Sebab di balik layar, bisa ada jurang yang siap menelan mereka. Mari berdiri sebagai penjaga pintu: bukan karena takut, tapi karena cinta. Bukan karena mencurigai, tapi karena ingin menyelamatkan. *