Oleh: Nurdin
NUSA Tenggara Timur (NTT) resmi menjadi provinsi pertama yang meluncurkan Koperasi Merah Putih (KMP), tepatnya Koperasi Merah Putih Kelautan dan Perikanan Oeba (Lintasntt.com,2025).
Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena, menyatakan bahwa KMP ini akan menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat desa.
Namun, di balik optimisme tersebut, muncul pertanyaan kritis: “bagaimana nasib BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi desa? Apakah kehadiran KMP akan menjadi peluang kolaborasi atau justru ancaman bagi keberlangsungan BUMDes?”
KMP dan Janji Kesejahteraan
Gubernur Melki Laka Lena menjelaskan bahwa KMP Kelautan dan Perikanan Oeba akan membantu nelayan dalam menyimpan, mengolah, dan memasarkan hasil tangkapan dengan harga yang menguntungkan.
Selain itu, KMP juga diharapkan dapat memperpendek rantai pasok, melancarkan distribusi barang dan jasa, serta menjadi stabilisator inflasi.
Pemerintah bahkan telah menyiapkan dana sebesar Rp5 miliar untuk mendukung operasional KMP, termasuk produksi, pengolahan, dan pemasaran. Namun, pertanyaannya: “apakah dana ini berasal dari anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk BUMDes?”
BUMDes dan Tantangan yang Belum Usai
BUMDes selama ini menjadi ujung tombak ekonomi desa. Namun, realitanya, 73% BUMDes masih bergantung pada Dana Desa, dan hanya 15% yang mandiri secara finansial (BPS, 2023). Minimnya inovasi dan tumpang tindih fungsi menjadi tantangan utama.
Kehadiran KMP justru menambah daftar masalah:
- Tumpang Tindih Fungsi : Jika KMP juga mengurus distribusi dan pemasaran produk, BUMDes berisiko terpinggirkan.
- Perebutan Anggaran : Wacana penggunaan Dana Desa sebagai modal KMP dinilai kontraproduktif, karena BUMDes masih membutuhkan dukungan finansial.
- Politik Pencitraan : Rencana Peluncuran KMP pada Hari Koperasi Nasional (12 Juli 2025) bisa dianggap sebagai upaya pencitraan politik, bukan solusi riil.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Alih-alih bersaing, KMP dan BUMDes seharusnya bersinergi. Berikut usulan gagasan untuk kemajuan kolaborasi di masa depan:
1.Pembagian Peran yang Jelas
– BUMDes : Fokus pada penguatan infrastruktur desa, seperti gudang pendingin, energi terbarukan, dan pengolahan hasil pertanian.
– KMP : Bertindak sebagai marketing arm yang memasarkan produk desa ke pasar nasional/global.
- Digitalisasi dan Transparansi
– Bangun platform digital terpadu untuk transparansi distribusi pupuk, harga produk, dan simpan pinjam. Contoh: Aplikasi Koperasi 4.0 yang menghubungkan petani langsung ke pembeli, dengan sistem blockchain untuk lacak aliran dana.
- Pemberdayaan SDM Lokal
– Latih pemuda desa sebagai manajer koperasi digital melalui kerja sama dengan kampus seperti UNDANA Kupang, atau universitas lainnya di masing-masing wilayah Kabupaten yang sudah ada perguruan tingginya.
– Berikan insentif “saham kepemilikan” di KMP/BUMDes agar pemuda tidak urbanisasi. Hal ini penting untuk meningkatkan rasa kepedulian pemuda desa kepada KMP dan usaha yang dijalankan.
- Pembiayaan Inovatif
– Kembangkan skema pembiayaan mikro berbasis profit-sharing, bukan bunga, untuk hindari jerat utang.
– Manfaatkan digitalisasi BRI dalam meningkatkan ketertarikan UMKM untuk mendukung KMP/BUMDes. Misalnya memanfaatkan Agen BRILink UMi sebagai bagian dari usaha yang dijalankan.
Menuju Desa Mandiri 2045
Indonesia Emas 2045 hanya mungkin tercapai jika desa mandiri secara ekonomi. Untuk itu, KMP dan BUMDes harus:
- Transparan Total : Publikasikan laporan keuangan real-time via aplikasi.
- Anti-Monopoli : Pastikan kepengurusan melibatkan petani, nelayan, dan pemuda, bukan hanya elit partai.
- Berbasis Potensi Lokal : Fokus pada komoditas unggulan (misalnya kopi dan tenun) dengan sertifikasi internasional.
Pada akhir tulisan ini, saya berharap kehadiran KMP seharusnya menjadi pelengkap, bukan pesaing, bagi BUMDes. Kolaborasi antara KMP dan BUMDes berpotensi meningkatkan kemandirian ekonomi desa jika didukung oleh manajemen strategis yang baik, digitalisasi, dan pemberdayaan SDM lokal.
Namun, jika KMP hanya menjadi alat politik pencitraan, kita hanya akan menyaksikan episode baru dari drama kolapsnya ekonomi kerakyatan seperti halnya kisah Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu.
Untuk itu perlu persiapan yang matang dan implementasi yang terukur, baik terhadap kinerja maupun mitigasi resikonya. Karena jika tidak, KMP hanya akan menjadi KUD 2.0-proyek mercusuar yang mengorbankan desa demi pencitraan. Desa layak maju dengan caranya sendiri, bukan dipaksa menari di panggung politik elite. *
Penulis Adalah Pemerhati UMKM dan Mahasiswa Magister Manajemen
Editor : Wentho Eliando