Tindakan mereka ini jelas merupakan tindakan lawan diri sendiri. Tak perlu sembunyi-sembunyi. Tindakan ini jelas sangat konyol, tidak elok dan menjadi obyek tertawaan banyak orang di seluruh Indonesia. Ini kenyataan yang tidak bisa dihindari.
Belum lagi, menurut hukum korporasi, PTK adalah badan usaha yang abstrak (artificial person that exist only in the contemplation of law) yang berdiri secara secara independen.
Hal itu artinya, PTK sebagai sebuah korporasi (perusahaan) bisa bertindak sendiri, bisa menuntut orang yang curi barang serta langgar hak usahanya, dan juga bisa dituntut di depan hukum kalau PTK langgar hak warga masyarakat manusia dan tuntutan-tuntutan pelanggan ini, menurut hukum korporasi yang diakui negara, sama sekali TIDAK BISA dilimpahkan dan dimintakan pertanggungjawaban dari investor sebagai pemilik legalnya.
Para investor, para direktur dan para manajer perusahaan itu kebal terhadap hukum positif. Menurut hukum korporasi, kekebalan ini yang disebut dalam Bahasa Inggris “Corporate Limited Liability” (Tanggungjawab Terbatas Perusahaan) yang dalam Bahasa Indonesia lazim digunakan terjemahan yang maknanya kabur yaitu Perseroan Terbatas dan disingkat PT.
Atas dasar itu, kalau tuduhan pelanggaran HAM di tanah HGU Nangahale diperkarakan di depan pengadilan negara dan tuduhan itu, misalnya, terbukti benar, maka investor PTK yaitu Uskup Maumere dan Provinsial SVD Ende sama sekali TIDAK BISA dimintai pertanggungjawaban dan tidak bisa dipersalahkan dan tidak bisa dihukum.
Kalau begitu siapa yg harus dihukum atas pelanggaran HAM itu? Jawabannya adalah PTK itu sendiri sebagai manusia abstrak hasil ciptaan hukum. Nah bagaimana PTK yang terbukti bersalah dapat dihukum? PTK bisa ditangkap? PTK bisa dijebloskan ke dalam penjara? Jawabannya tidak juga.
PTK yang, misalnya, terbukti bersalah melanggar HAM, tidak bisa masuk penjara karena PTK adalah entitas abstrak (artificial person) yang hanya ada dalam kontemplasi hukum. Paling-paling sebagai perusahaan, PTK menerima hukuman dengan membayar kerugian para korban dengan uang yang sudah diinvestasikan oleh investor di dalam PTK. Maka selesai persoalan.
Tetapi bagaimana kalau PTK ternyata tidak bersalah lakukan pelanggaran HAM? Kalau PTK ternyata tidak terbukti salah melanggar HAM dari orang-orang yang dianggap korban di tanah HGU Nangahale, maka mereka ini dan aktor intelektualnya harus dihukum. Alasannya adalah mereka telah melanggar Hak PTK dengan serobot usaha PTK dan bermain hakim sendiri.
Nah secara historis dan secara hukum, status persoalan tanah HGU Nangahale yang dikelola oleh PTK sudah jelas dan terang benderang. Sebelum tahun 1859 (166 tahun lalu), tanah Nangahale dan Patiahu adalah milik suku setempat. Ini tidak bisa disangkal. Lalu sejak tahun 1859, tanah-tanah suku Flores termasuk tanah Nangahale dan Patiahu dirampas perampok Belanda untuk dijadikan perkebunan kapas mereka yang kemudian dijual di pasar Eropa.
Tahun 1926, perusahaan penjajah Belanda jual tanah ini kepada Misi Gereja yang waktu itu dinakhodai misionaris SVD asal Belanda dan Jerman seharga F. 22 500 Gulden. Bukti pembelian masih tersimpan aman di Kantor Provinsi SVD Ende dan di Kantor Keuskupan Agung Ende di Ende.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya











