Oleh: Lexi Anggal
SITUASI sosial dan ekonomi di Indonesia kian hari memprihatinkan. Pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya usai, diikuti dengan krisis ekonomi global, menyebabkan berbagai dampak langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat.
Salah satu isu yang kerap terabaikan di tengah berbagai persoalan tersebut adalah kesehatan mental. Seiring dengan peningkatan angka pengangguran, ketidakpastian pekerjaan, serta tingginya tingkat stres di masyarakat, perhatian terhadap kesehatan mental menjadi semakin mendesak.
Dalam beberapa tahun terakhir, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menekankan pentingnya kesehatan mental sebagai bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan.
WHO mencatat bahwa satu dari empat orang di dunia akan mengalami gangguan mental pada suatu waktu dalam hidup mereka (WHO, 2021).
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sekitar 14 juta orang di atas usia 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, seperti depresi dan kecemasan, yang diakibatkan oleh berbagai tekanan hidup (Kementerian Kesehatan, 2022). Angka ini tentu saja semakin meningkat sejak pandemi melanda.
Krisis Ekonomi dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental
Pandemi yang berlanjut dan gejolak ekonomi global memperburuk kondisi kesehatan mental masyarakat. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, bisnis yang gulung tikar, serta harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% masyarakat merasa tertekan secara emosional akibat situasi ekonomi yang tidak menentu (LSI, 2023).
Ini bukan hanya angka statistik; ini adalah kenyataan pahit yang dihadapi oleh jutaan individu dan keluarga di seluruh negeri.
Studi lain yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2021 menunjukkan bahwa ketidakstabilan ekonomi berpengaruh langsung terhadap tingkat stres dan kecemasan pada masyarakat (Bank Dunia, 2021). Ketika orang tidak memiliki kepastian finansial, mereka lebih rentan terhadap gangguan mental.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental yang memadai. Di Indonesia, layanan kesehatan mental masih tergolong minim, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).
Psikiater Dr. Lia Agustina menyatakan bahwa masyarakat yang berada di bawah tekanan ekonomi cenderung lebih mudah mengalami gangguan mental seperti depresi dan kecemasan berlebih (Tempo, 2022).
Ia menegaskan bahwa tanpa dukungan yang tepat, beban mental ini bisa berkembang menjadi masalah yang lebih serius, seperti gangguan bipolar atau skizofrenia.
Krisis Sosial dan Isolasi Sosial
Selain krisis ekonomi, krisis sosial juga turut mempengaruhi kesehatan mental masyarakat. Pembatasan sosial selama pandemi telah mengakibatkan banyak orang merasa terisolasi, kehilangan interaksi sosial yang sehat, serta merasakan kesepian yang mendalam.
Isolasi sosial merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya gangguan mental. Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Socialand Clinical Psychology pada tahun 2020 menyebutkan bahwa isolasi sosial dapat meningkatkan risiko depresi hingga dua kali lipat (Jones & Smith, 2020).
Di Indonesia, budaya komunal yang kuat biasanya menjadi salah satu faktor pendukung kesehatan mental, di mana individu merasa memiliki tempat berbagi dan bertukar pikiran.
Namun, dengan adanya pandemi, interaksi sosial secara langsung menjadi terbatas, sehingga banyak individu yang kehilangan dukungan emosional dari komunitasnya.
Ini semakin memperparah kondisi mental banyak orang, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar yang padat, di mana tekanan hidup semakin tinggi.
Peran Pemerintah dalam Mengatasi Krisis Kesehatan Mental
Kesehatan mental di Indonesia masih kerap dipandang sebelah mata, meskipun urgensinya semakin jelas di tengah krisis sosial dan ekonomi.
Pemerintah telah meluncurkan beberapa inisiatif untuk menangani masalah ini, seperti hotline kesehatan mental dan layanan konseling online.
Namun, hemat saya program-program tersebut belum cukup menjangkau masyarakat secara luas. Di banyak daerah, terutama di wilayah-wilayah terpencil seperti NTT, akses terhadap layanan kesehatan mental masih sangat terbatas.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, hanya 1 dari 5 kabupaten di NTT yang memiliki fasilitas kesehatan dengan tenaga ahli di bidang kesehatan mental (BPS, 2022). Ini menandakan bahwa masih ada kesenjangan besar dalam distribusi layanan kesehatan mental di seluruh wilayah Indonesia.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam pidatonya pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2023, mengakui bahwa pemerintah perlu meningkatkan upaya untuk memberikan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mental di daerah-daerah terpencil (Kementerian Kesehatan, 2023).
Keterbatasan Anggaran dan Minimnya Sumber Daya
Salah satu hambatan terbesar dalam upaya pemerintah untuk menangani kesehatan mental adalah keterbatasan anggaran. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023, alokasi dana untuk kesehatan mental masih tergolong sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan yang ada.
Berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan, hanya 1,5% dari total anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk program kesehatan mental (Kementerian Keuangan, 2023). Jumlah ini hemat saya jauh dari cukup untuk menangani masalah yang semakin kompleks di tengah krisis sosial dan ekonomi.
Selain itu, minimnya tenaga kesehatan yang terlatih di bidang kesehatan mental juga menjadi masalah serius. Menurut data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 1.200 psikiater yang aktif praktik, dengan sebagian besar berada di Pulau Jawa (PDSKJI, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak wilayah yang belum memiliki akses terhadap psikiater atau psikolog yang memadai.
Solusi yang Perlu Dipertimbangkan
Untuk mengatasi krisis kesehatan mental yang semakin mendalam ini, hemat saya beberapa langkah strategis perlu segera diambil.
Pertama, pemerintah harus memperluas akses layanan kesehatan mental, terutama di daerah-daerah terpencil seperti NTT.
Layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas harus tersedia di seluruh wilayah, bukan hanya di kota-kota besar.
Investasi dalam pelatihan tenaga kesehatan mental juga sangat diperlukan agar masyarakat dapat memperoleh bantuan yang memadai.
Kedua, penting untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kesehatan mental. Banyak orang di Indonesia masih memiliki stigma terhadap gangguan mental, sehingga mereka enggan untuk mencari bantuan.
Kampanye edukasi yang masif tentang kesehatan mental harus dilakukan, baik melalui media massa, media sosial, maupun institusi pendidikan.
Ketiga, pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menyediakan program-program dukungan kesehatan mental yang lebih holistik, termasuk layanan konseling online, grup dukungan masyarakat, dan program rehabilitasi. Ini akan membantu masyarakat untuk mengatasi tekanan psikologis yang mereka alami akibat krisis sosial dan ekonomi yang berkepanjangan.
Penutup
Kesehatan mental hemat saya bukanlah isu yang bisa diabaikan di tengah krisis sosial dan ekonomi yang melanda Indonesia saat ini.
Dampaknya sangat nyata dan berpotensi memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat jika tidak ditangani dengan serius. Diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk memberikan perhatian lebih pada kesehatan mental dan memastikan bahwa setiap individu memiliki akses terhadap layanan kesehatan mental yang mereka butuhkan.
Tanpa tindakan yang cepat dan tepat, krisis ini bisa menjadi bom waktu yang akan meledak kapan saja, dengan konsekuensi yang jauh lebih luas bagi kehidupan sosial dan ekonomi di Indonesia. *
Penulis adalah Pegiat Isu-isu Sosial, tinggal di Boncukode, Cibal, Manggarai, Flores, NTT
Editor : Wentho Eliando