Pengalaman di Maumere mengungkap bagaimana agama tidak dapat bersifat netral terhadap konfigurasi kekuasaan yang kompleks; sebaliknya, ia dipanggil untuk hadir dalam relasi sosial yang rentan, seperti dalam kasus perdagangan manusia yang menyeret aktor-aktor dari lingkar terdekat korban. Hal ini memperlihatkan bahwa agama dan kekuasaan saling berkelindan, dan agama dapat menjadi ruang reproduksi maupun resistensi atas dominasi.
Di sinilah Gereja menjalankan fungsi profetiknya sebagai kekuatan moral transformatif—tidak semata sebagai institusi kultus, tetapi sebagai entitas sosial yang aktif menginterupsi ketidakadilan dan memberikan suara bagi yang dibungkam. Gereja menjadi locus praksis etika yang mampu menantang struktur sosial hegemonik demi terbangunnya solidaritas dan keadilan sosial yang lebih manusiawi.
Respons Gereja yang terwujud dalam sistem advokasi lintas sektor seperti yang dikembangkan Keuskupan Maumere menunjukkan ekspresi nyata dari agensi religius yang transformatif.
Gereja tidak bertindak semata-mata secara reaktif terhadap realitas sosial, melainkan tampil sebagai aktor proaktif yang memetakan strategi intervensi melalui jaringan pastoral yang menjangkau ranah hukum, pendidikan, hingga psiko-spiritual. Ini menegaskan bahwa institusi keagamaan bukan hanya pewaris doktrin, tetapi juga fasilitator perubahan sosial yang bekerja melalui pendidikan nilai, penguatan kesadaran kritis, dan pengembangan solidaritas.
Dalam konteks ini, Gereja berperan sebagai mediator antara struktur sosial yang menindas dan pengalaman konkret umat yang terluka—membangun kembali harapan sebagai energi kolektif yang tumbuh dari kesadaran, ketahanan, dan iman yang dihidupi bersama.
Dalam analisis sosiologi agama, relasi antara eksploitasi ekologis dan migrasi seperti yang dicermati oleh Keuskupan Agung Ende menyingkap dimensi struktural dari penderitaan komunitas lokal—di mana kerusakan lingkungan tidak sekadar persoalan ekologi, melainkan juga ketimpangan distribusi kekuasaan dan akses atas sumber daya.
Ketika tanah dan air direduksi menjadi komoditas dan bukan ruang hidup, migrasi menjadi pilihan yang lahir bukan dari kebebasan, tetapi dari keterpaksaan yang sistemik.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut sebagai “ekologi ketidakadilan,” di mana kelompok rentan menjadi korban rangkap dari krisis lingkungan dan ekonomi. Di tengah lanskap ini, Gereja memainkan peran sebagai agen kesadaran kritis yang menantang logika pembangunan eksploitatif. Dengan mengusung keadilan ekologis dan intergenerasional, Gereja mengadvokasi pembangunan yang etis—berakar pada martabat manusia dan tanggung jawab kolektif terhadap bumi sebagai rumah bersama.
Dalam perspektif sosiologi agama, Perpas XII merepresentasikan bagaimana komunitas iman dapat menjadi arena dialektika yang dinamis antara agama sebagai sistem simbolik dan struktur sosial sebagai konfigurasi kekuasaan.
Ketika Gereja mengidentifikasi dirinya sebagai “berwajah perantau”, ia tidak sekadar mengadopsi narasi pastoral yang kontekstual, tetapi juga mengartikulasikan teologi pergerakan—di mana iman tidak dikunci di altar, melainkan hidup di tapal batas, berakar di ladang sawit, dan menyusuri rute migrasi yang sarat luka dan harapan.
Dalam logika ini, Gereja tidak lagi menjadi institusi statis, tetapi subjek historis yang bergerak bersama umatnya dalam ziarah eksistensial, menafsir ulang ruang, waktu, dan relasi kuasa dengan membawa terang iman sebagai modal sosial untuk transformasi. Gereja adalah sang perantau itu sendiri—yang menghidupi ziarah bukan sebagai metafora, tetapi sebagai praksis iman yang membebaskan.