NTT Darurat Human Trafficking: Ketika Manusia Dijadikan Komoditas

- Jurnalis

Kamis, 22 Mei 2025 - 22:31 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Marselus Natar

Marselus Natar

Oleh: Marselus Natar

DI tanah yang oleh promosi pariwisata dijuluki “surga tersembunyi”, ternyata tragedi kemanusiaan dibiarkan berlangsung terang-terangan. Di balik hamparan sabana dan senyum ramah orang kampung, Nusa Tenggara Timur menyimpan luka berdarah yang tak juga dijahit oleh negara: ribuan manusianya dijual keluar negeri, diperlakukan seperti barang dagangan, dan dikembalikan dalam peti mati.

Human trafficking atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di NTT telah berkembang bukan lagi sebagai kejahatan tersembunyi, melainkan sebagai industri remang-remang yang menggurita. Ia dibungkus dalam janji kesejahteraan, dipoles dengan dokumen legalitas semu, dan dijalankan oleh jaringan yang ironisnya kerap kali mendapat restu diam-diam dari pemilik stempel resmi di pemerintahan desa hingga birokrasi pusat.

Ketika Tubuh Dijual, Negara Hanya Jadi Saksi

Sepanjang Januari hingga Agustus 2023, Kepolisian Daerah (Polda) NTT mencatat 256 warga menjadi korban TPPO. Dari jumlah itu, 52 tersangka berhasil diamankan. Tetapi jangan dulu senang. Jika angka ini dibandingkan dengan prakiraan jumlah korban sebenarnya, ia hanyalah puncak dari gunung es penderitaan (Detik.com, 24 Agustus 2023).

Modusnya sudah sangat familiar: lowongan kerja diiklankan via media sosial, agen datang menawarkan kerja di perkebunan atau rumah tangga di Malaysia dan Timur Tengah, korban dijanjikan gaji besar, lalu dikirim lewat jalur tidak resmi.

Setibanya di negara tujuan, dokumen disita, komunikasi diputus, dan korban dijebak dalam kerja paksa.

Sepanjang delapan bulan pertama tahun 2023, BP3MI NTT mencatat ada 100 jenazah pekerja migran asal provinsi ini yang dipulangkan, mayoritas dari Malaysia (Detik.com, 23 Agustus 2023).

Mereka bukan meninggal karena takdir, tetapi karena sistem yang membiarkan tubuh mereka dieksploitasi sampai mati. Tubuh-tubuh yang kembali tak bernyawa itu menjadi monumen bisu kegagalan negara melindungi rakyatnya. Dalam konteks ini, negara bukan pelindung, tapi sekadar kurir duka.

Kemiskinan: Penyedia Langganan Korban

Untuk memahami kenapa NTT terus menjadi lumbung korban perdagangan manusia, kita harus kembali ke akar masalah: kemiskinan yang terstruktur dan diwariskan. Data BPS 2023 menunjukkan NTT sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia, dengan tingkat kemiskinan mencapai hampir 20 persen.

Di wilayah dengan lahan tandus, pendidikan rendah, dan akses ekonomi minim, harapan hidup tak tumbuh dari tanah. Maka tawaran bekerja ke luar negeri dengan upah tinggi, meski melalui jalur ilegal, terdengar seperti pintu keluar dari keputusasaan.

Para agen trafficking sangat memahami logika ini, mereka tahu bahwa di desa-desa seperti itu, harapan bisa dibeli dengan harga murah. Tak heran, banyak warga yang menggadaikan tanah, menjual ternak, atau meminjam dari rentenir hanya demi membayar biaya perekrutan.

Baca Juga :  Dampak Abu Vulkanik, Peternak di Lereng Gunung Lewotobi Kesulitan Pakan

Mereka tak peduli dokumen palsu, usia dimanipulasi, atau jalur penyelundupan, karena satu-satunya yang mereka tahu: tetap di kampung adalah menunggu mati perlahan. Sindikat Tak Lagi Bersembunyi, Mereka Berkantor di Balai Desa Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, pernah menyebut situasi perdagangan manusia di NTT sebagai “sangat darurat”.

Setelah melakukan pemantauan di pelabuhan dan bandara, ditemukan betapa lemahnya sistem pengawasan di pintu-pintu keluar pekerja migran (Kompas.com, 26 Mei 2023). Tetapi yang lebih mengejutkan bukanlah lemahnya pengawasan, melainkan siapa saja yang menjadi bagian dari sindikat.

Dalam laporan investigatif Kompas (6 Oktober 2023), disebutkan bahwa kepala desa, perangkat desa, dan bahkan petugas imigrasi terlibat aktif dalam perdagangan manusia. Mereka membantu menerbitkan dokumen palsu, memfasilitasi perjalanan, bahkan menerima bayaran per kepala.

Ini bukan lagi sekadar kelalaian, ini korupsi kemanusiaan. Ketika aparat desa berubah menjadi agen perekrut, ketika penguasa lokal menjadi calo internasional, maka hukum tidak hanya mati, tapi dikubur tanpa upacara.

Pemerintah: Ahli Membuat Satgas, Gagal Memberi Solusi

Pemerintah memang tidak tinggal diam, mereka justru pandai menciptakan tim-tim ad hoc. Pada 2024, Polda NTT mencatat 16 kasus TPPO berhasil diungkap dan 10 di antaranya telah masuk ke pengadilan (Detik.com, 10 Mei 2024).

Selain itu, BP2MI mengukuhkan Satgas “Sikat Sindikat” untuk memburu pelaku trafficking di lapangan (Tempo.co, 12 Oktober 2023). Tapi seperti banyak satgas lainnya, yang satu ini pun rentan berakhir sebagai bahan laporan dan konferensi pers belaka.

Tanpa pendanaan memadai, tanpa perlindungan terhadap korban dan saksi, serta tanpa keberanian menyentuh aktor besar di balik layar, satgas akan jadi tameng yang menutupi kelambanan sistem.

DPRD NTT bahkan mendorong agar desa-desa menyusun RKPDes yang memuat program pencegahan TPPO (Detik.com, 10 Agustus 2023). Namun, bagaimana bisa program edukasi dijalankan jika perangkat desanya sendiri menjadi bagian dari jaringan perekrut?

Budaya Bungkam dan Stigma Sosial: Duka yang Tak Berani Disuarakan

Salah satu tembok besar dalam upaya pemberantasan perdagangan manusia di NTT adalah budaya bungkam. Banyak korban enggan berbicara karena takut, malu, atau merasa akan disalahkan.

Dalam sejumlah kasus, korban yang kembali justru dikucilkan. Mereka dianggap “membawa aib”, “tidak tahu adat”, atau “wanita gagal”. Di sisi lain, fasilitas rehabilitasi dan pemulihan sangat minim. Tidak ada rumah aman yang memadai, psikolog pun langka, dan proses hukum sering berjalan tanpa pendampingan.

Baca Juga :  Ketika 'Laudato Si' Diuji di Negeri Sendiri: Di Manakah Hati Gereja Berpijak?

Korban dipaksa menghadapi trauma, hukum, dan stigma sendirian. Jika tak kuat, mereka bisa kembali lagi ke jalur lama, direkrut ulang oleh jaringan yang sama, seperti lingkaran setan yang tak berujung.

Langkah yang Dibutuhkan: Dari Karpet Merah Menuju Lantai Desa

Untuk benar-benar mengatasi masalah perdagangan manusia, pendekatan tambal-sulam tak akan cukup. Diperlukan reformasi struktural, mulai dari pemberdayaan ekonomi desa, penguatan sistem pendidikan vokasional, hingga pengawasan birokrasi yang melibatkan lembaga independen.

Beberapa langkah konkret yang perlu diambil:

  1. Penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk pada aparat dan kepala desa yang terbukti terlibat.
  2. Integrasi data migrasi di tingkat provinsi dan nasional agar keberangkatan pekerja bisa dipantau.
  3. Pendidikan dan literasi hukum di sekolah-sekolah dan gereja, agar generasi muda memahami bahaya trafficking.
  4. Penyediaan alternatif ekonomi di desa: pelatihan kerja, akses pasar, dan koperasi yang dikelola secara profesional.
  5. Pendampingan korban yang berkelanjutan tak cukup diberi transport pulang, mereka butuh pemulihan mental, bantuan hukum, dan reintegrasi sosial.

Yang juga penting: kehadiran negara yang tak hanya datang saat pemulangan jenazah. Negara harus hadir sejak tahap pencegahan, bukan hanya saat duka sudah tak terbendung.

Hentikan Normalisasi Kejahatan!

Perdagangan manusia di NTT bukan hanya statistik. Ini tragedi yang dibiarkan normal. Ini pembiaran yang telah menjadi kebijakan tak tertulis.

Selama kita terus menutup mata, selama petugas yang terlibat hanya dipindahkan tanpa hukuman, dan selama negara cukup puas menjadi penonton tragedi, maka setiap peti mati yang datang adalah tuduhan moral bagi kita semua.

Apakah kita masih akan menyebut NTT sebagai “surga tersembunyi” sementara manusia di dalamnya dijual layaknya kambing kurban? Sampai kapan kita diam, menunggu nama kerabat kita sendiri masuk dalam daftar korban?

Perdagangan manusia bukan sekadar kejahatan. Ia adalah pengkhianatan terhadap nurani bangsa. Ia adalah hasil dari keserakahan yang dibungkus prosedur.

Dan karenanya, menghentikannya adalah panggilan untuk membela nilai paling dasar: bahwa manusia tidak boleh diperjualbelikan. *

Penulis Adalah: Rohaniawan Katolik pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus, penulis buku antologi cerpen dengan judul: Usaha Membunuh Tuhan. Anggota relawan JPIC SSpS Ende. HP: 081238721085  

Berita Terkait

Ketika ‘Laudato Si’ Diuji di Negeri Sendiri: Di Manakah Hati Gereja Berpijak?
SPFT: Inovasi Teknologi Tumbuhan untuk Masa Depan yang Lebih Hijau
Fokus pada Pelayanan Publik: Mengatasi Kendala Kapal Nelayan Flores Timur demi Kesejahteraan Nelayan
Ambisi Kekuasaan Mengorbankan Nelayan: PPI Alok Tersingkir dari Rencana Nasional
Cara Pemilihan Paus – Konklaf (7 Mei 2025 – Padre Marco SVD, Vatikan)
Flores Butuh Pendidikan Bukan Geothermal (Catatan Kecil di Hardiknas)
Buruh Terdidik, Harapan yang Tergantung
Ratusan Kardinal Siap Ikuti Konklaf di Kapela Sistina Vatikan, Selamat Datang Paus ke-267: Habemus Papam
Berita ini 246 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 18 Juni 2025 - 15:00 WITA

Ketika ‘Laudato Si’ Diuji di Negeri Sendiri: Di Manakah Hati Gereja Berpijak?

Senin, 16 Juni 2025 - 20:30 WITA

SPFT: Inovasi Teknologi Tumbuhan untuk Masa Depan yang Lebih Hijau

Kamis, 22 Mei 2025 - 22:31 WITA

NTT Darurat Human Trafficking: Ketika Manusia Dijadikan Komoditas

Senin, 12 Mei 2025 - 20:24 WITA

Fokus pada Pelayanan Publik: Mengatasi Kendala Kapal Nelayan Flores Timur demi Kesejahteraan Nelayan

Minggu, 11 Mei 2025 - 22:30 WITA

Ambisi Kekuasaan Mengorbankan Nelayan: PPI Alok Tersingkir dari Rencana Nasional

Berita Terbaru

Nusa Bunga

Pemilik Tanah Laporkan BRI Maumere ke Polres Sikka

Jumat, 20 Jun 2025 - 10:58 WITA

Nusa Bunga

Polres Sikka Bangun Rumah Dinas Polisi di Pulau Palue

Kamis, 19 Jun 2025 - 19:12 WITA

Nusa Bunga

Pol PP dan Damkar Flores Timur Simulasi Mobile Fire Pump

Kamis, 19 Jun 2025 - 14:43 WITA

Nusa Bunga

Polres Nagekeo Lakukan Aksi Bersih di Sejumlah Rumah Ibadah

Kamis, 19 Jun 2025 - 13:35 WITA