LABUAN BAJO, FLORESPOS.net-Pengelolaan Pariwisata harus tetap menjaga akses masyarakat terhadap ruang terbuka publik. Pariwisata di Labuan Bajo Flores tahun-tahun terakhir mengalami perkembangan signifikan.
Pariwisata di Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dan wilayah Provinsi NTT lainnya telah mengalami perkembangan yang signifikan selama 20 tahun belakangan.
Bermula diresmikannya Taman Nasional Komodo (TNK) tahun 1980, setidaknya itulah menjadi awal perhatian wisatawan dunia terhadap Labuan Bajo.
Pariwisata Labuan Bajo terus mengalami perkembangan pesat dengan ditetapkannya Labuan Bajo tahun 2017 oleh Pemerintah sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan juga sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) 2019.
Dengan semua perhatian terhadp pengembangan potensi Labuan Bajo sebagai Destinasi unggulan dan NTT pada umumnya, sektor pariwisata di NTT keseluruhan pun bertumbuh menggerakkan perekonomian daerah.
Tidak hanya endemik Komodo, di Pulau Flores terdapat 2 Taman Nasional (TN). Kedua TN masing- masing memiliki daya tarik alam memikat, yaitu Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Kelimutu.
Taman Nasional Komodo (TNK) menawarkan pesona bahari dan gugusan pulau yang menjadi top of mind para wisatawan. Taman Nasional Kelimutu (TNK) juga menawarkan pesona Danau 3 warna, yaitu Danau Kelimutu yang terbentuk dari proses tektonik vulkanik.
Selain itu Pulau Flores juga menyimpan kekayaan Taman Laut 17 Pulau Riung, dan kekayaan bahari di ujung Timur NTT di Flores Timur dan Pulau Alor.
Daya pikat lainnya adalah budaya dan masyarakatnya yang tersebar di daratan Timor, daratan Flores, Sumba, dan pukau kecil lainnya seperti Rote dan Sabu.
Kekayaan adat budaya itu seperti Kampung Adat Bena, Kampung Adat Wae Rebo, dan destinasi-destinasi lain berupa alam perbukitan dan pegunungan yang merupakan daya pikat yang menyajikan pengalaman otentik dan orisinil bagi wisatawan yang datang berkunjung.
Sehubungan dengan ini NTT dikenal sebagai bagian dari “Ring of Fire” atau Cincin Api Pasifik karena letaknya di sekitar tepi Samudra Pasifik yang memiliki aktivitas seismik dan vulkanik yang sangat tinggi.
Menurut data yang disampaikan Dinas Pariwisata Provinsi NTT diketahui tahun 2023 kunjungan wisatawan ke NTT mencapai 1,2 juta kunjungan. Ini menandakan sektor pariwisata di provinsi NTT terus mengalami pertumbuhan dan kemajuan.
Selaras peningkatan kunjungan tersebut, untuk mendukung pertumbuhan industri pariwisata, pemerintah dan pihak swasta telah berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur di Labuan Bajo Flores dan NTT.
Pembangunan dan perluasan bandara dan pelabuhan baru telah membuka aksesibilitas ke wilayah-wilayah terpencil dan pengembangan akomodasi serta fasilitas pariwisata untuk meningkatkan kenyamanan wisatawan.
Peningkatan jumlah akomodasi ini juga ditunjukkan data BPS Provinsi NTT yang mencatat bahwa akomodasi Hotel Bintang, Non Bintang di NTT pada tahun 2023 adalah 601 Hotel, meningkat 74 hotel dari tahun 2022 yaitu 527 hotel.
Berbagai fasilitas yang telah dibangun ini juga pertama-tama diperuntukan untuk kepentingan masyarakat lokal, baik sebagai penikmat pariwisata itu sendiri maupun sebagai pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif yang terdampak dari adanya multiplier effect aktivitas wisata.
Namun di sisi lain, meskipun mengalami perkembangan yang cukup pesat, pariwisata Labuan Bajo Flores dan NTT juga dihadapkan pada sejumlah tantangan, termasuk masalah pengelolaan dan pelestarian lingkungan, infrastruktur yang masih perlu ditingkatkan, promosi yang lebih luas, serta gesekan dengan investor terutama pada pemanfaatan ruang publik.
Terkait ini sebut saja beberapa waktu lalu beredar sebuah rekaman video yang sempat viral menampilkan seorang wanita yang cekcok dengan perekam video akibat larangan surfing pada sekelompok orang yang sedang melakukan surving di kawasan laut dekat salah satu hotel bintang 5 di wilayah Sumba, NTT.
Fransiskus Saverius Teguh, Plt. Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), mengatakan pihaknya akan terus mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan lingkungan serta berkolaborasi dengan pengelola hotel terutama dalam hal pemanfaatan ruang publik sehingga bisa selaras dengan kepetingan masyarakat setempat.
Frans Teguh sekaligus Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengungkapkan itu setelah melihat polemik yang berkembang di tengah masyarakat, perkembangan pariwisata dengan berbagai tantangan dan peluang yang ada.
BPOLBF, demikian Frans Teguh, terus mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian alam dan budaya, sehingga diperlukan penguatan pariwisata berbasis masyarakat dengan kolaborasi para pihak termasuk pengelola/pemilik hotel.
“Ketentuan pemanfaatan ruang publik seperti pantai, taman kota, pendestrian, dan sebagainya harus selaras dengan kepentingan masyarakat luas, ekosistem lingkungan dan pengelola kawasan/resort,” jelas Frans Teguh.
Lanjut Frans Teguh, terkait isu privatisasi ruang publik seperti pantai, pada dasarnya terdapat prinsip dasar aturan tentang privatisasi pantai, yakni hak akses publik, kepemilikan dan pengelolaan, dan pengecualian tertentu.
Hak akses publik pantai harus tetap dapat diakses oleh publik, dan privatisasi yang menghalangi akses masyarakat umum dilarang.
Kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan pantai berada di tangan negara, pengelolaannya harus melibatkan masyarakat setempat serta memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Pengecualian Tertentu
Penggunaan pantai oleh swasta untuk kegiatan tertentu seperti pariwisata dapat diizinkan dengan syarat tidak menghalangi akses publik dan mengikuti regulasi lingkungan yang ketat.
“Privatisasi pantai di Indonesia diatur oleh pemerintah untuk memastikan bahwa akses masyarakat terhadap pantai tetap terjamin dan untuk melindungi ekosistem pesisir,” tutup Frans Teguh baru-baru ini di Labuan Bajo. *
Penulis: Andre Durung I Editor: Wentho Eliando