Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
HUMAN trafficking di Nusa Tenggara Timur bukan pelanggaran hukum semata. Ini adalah retakan moral kolektif yang mengoyak nilai-nilai kemanusiaan.
Presiden dan Komnas HAM menetapkan NTT sebagai daerah darurat perdagangan manusia, namun belum ada langkah nyata dari negara untuk merespons krisis ini secara serius.
Penetapan status darurat dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Komnas HAM RI. Pernyataan ini disampaikan secara publik sebagai bentuk pengakuan atas tingginya angka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah tersebut.
Namun, menurut PADMA Indonesia dan berbagai aktivis kemanusiaan, penetapan ini belum diikuti dengan langkah konkret dari negara. Tidak ada sense of emergency yang tercermin dalam kebijakan atau tindakan hukum.
Bahkan, aparat lokal dinilai lebih sibuk mengkriminalisasi pihak yang mengungkap kasus TPPO daripada memproses pelaku utama perdagangan manusia.
Gabriel Goa, tokoh advokasi kemanusiaan, menegaskan bahwa penyelamatan anak-anak dan perempuan harus menjadi agenda nasional. Ia menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi darurat ini.
Dalam konteks sosiologi agama, seruan ini merupakan panggilan moral dan juga spiritual. Ketika negara gagal melindungi yang lemah, komunitas iman harus tampil sebagai penjaga martabat manusia.
Penetapan status darurat perdagangan manusia oleh Presiden Republik Indonesia dan Komnas HAM terhadap Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan pengakuan resmi atas skala krisis yang telah lama melanda wilayah ini.
Pernyataan tersebut seharusnya menjadi momentum strategis untuk membangun sistem perlindungan yang menyeluruh, mulai dari pencegahan, penindakan hukum, hingga pemulihan korban.
Namun, hingga kini, langkah konkret dari negara belum terlihat sepadan dengan urgensi yang telah dinyatakan. Aparat penegak hukum di daerah bahkan dinilai lebih aktif mengkriminalisasi pelapor dan aktivis daripada membongkar jaringan pelaku utama.
Ketidakhadiran negara dalam bentuk kebijakan yang berpihak dan sistem perlindungan yang tangguh memperlihatkan lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai keadilan sosial.
Dalam perspektif sosiologi agama, kondisi ini mencerminkan retakan moral kolektif yang semakin dalam. Ketika negara gagal menjalankan mandat konstitusionalnya untuk melindungi warga, dan ketika komunitas religius belum mampu menjadi benteng terakhir bagi yang lemah, maka krisis ini menjadi penanda nyata atas kegagalan spiritual dan sosial kita bersama.
Anak-anak dan perempuan terus menjadi korban eksploitasi, sementara institusi-institusi keagamaan dan negara belum sepenuhnya bersinergi. Gereja, negara, dan masyarakat sipil harus membentuk aliansi etis dan struktural.
Mereka perlu membangun sistem perlindungan yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga berakar pada nilai-nilai solidaritas, martabat manusia, dan tanggung jawab bersama sebagai komunitas beriman dan bernegara.
Dalam perspektif sosiologi agama, perdagangan manusia adalah bentuk kekerasan struktural. Ia merusak tatanan moral dan spiritual masyarakat. Agama-agama mengajarkan martabat manusia sebagai ciptaan ilahi.
Ketika tubuh manusia dijadikan komoditas, nilai sakral itu dilanggar. Gereja dan komunitas iman harus bersuara. Diam berarti membiarkan penderitaan berlanjut.
NTT dikenal sebagai wilayah religius. Gereja Katolik dan komunitas Kristen memiliki pengaruh besar. Namun, pengaruh itu belum cukup melindungi warga dari eksploitasi. Banyak korban berasal dari keluarga miskin dan religius. Mereka percaya pada janji pekerjaan yang ternyata jebakan. Ini ironi yang menyakitkan.
Dalam kajian sosiologi agama, relasi antara struktur sosial dan keyakinan religius membentuk medan kerentanan yang kompleks, terutama ketika kemiskinan struktural bersanding dengan harapan spiritual yang belum terfasilitasi secara kritis.
Dalam konteks ini, anak-anak dan perempuan menjadi kelompok paling rentan terhadap eksploitasi karena kepercayaan mereka pada figur-figur yang tampil meyakinkan secara moral, namun menyimpan agenda manipulatif.
Minimnya akses terhadap informasi yang valid dan lemahnya sistem perlindungan hukum memperkuat posisi mereka sebagai korban dalam jaringan perdagangan manusia.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana iman yang tidak dibarengi literasi sosial dapat berubah menjadi pintu masuk bagi kekerasan struktural yang tersembunyi di balik janji keselamatan dan kesejahteraan.
Negara harus hadir sebagai pelindung. Gereja harus hadir sebagai penggugah nurani. Pendidikan iman harus membentuk kesadaran kritis. Liturgi harus menyuarakan keadilan. Khotbah harus menyentuh realitas sosial. Doa harus menjadi gerakan solidaritas. Spiritualitas harus membela yang tertindas.
Human trafficking bukan masalah individu. Ini masalah sistemik. Ini hasil dari ketimpangan sosial. Ini akibat dari lemahnya kontrol migrasi. Ini buah dari minimnya pendidikan kritis. Gereja dan negara harus bekerja sama. Mereka harus membangun sistem perlindungan.
Mereka harus memperkuat komunitas lokal. Mereka harus menciptakan ruang aman bagi anak-anak dan perempuan.
NTT tidak boleh terus menjadi kantong migrasi ilegal.
NTT harus menjadi wilayah yang menjunjung martabat manusia. Ini bukan tugas satu lembaga. Ini panggilan kolektif. Ini tanggung jawab spiritual. Ini amanat sosial.*
Penulis adalah Staf Pengajar Stipar Ende











