Oleh Karolus Banda Larantukan
JUDUL tulisan ini diambil dari judul buku yang ditulis oleh P. Dr. Paulus Budi Kleden: Menuju Titik Balik. Esai-esai Tentang Teologi dan Sastra (Lamalera, 2022).
Buku yang diterbitakan oleh Penerbit Lamalera ini merupakan kumpulan tulisan P. Dr. Paulus Budi Kleden, baik prolog atau kata pengantar, pun epilog pada sebuah buku sastra yang ditulis dan diterbitkan oleh berbagai penulis dan penerbit.
Penulis secara sengaja mengambil judul tulisan ini sebagai bahan refleksi untuk tulisan ini, dikarenakan buku yang diterbitkan di tahun 2022 oleh penerbit Lamalera ini adalah salah satu karya dan merupakan terbitan terbaru, bukan berarti yang terakhir melainkan menambah satu daftar baru dalam karya tulisan dari P.Dr. Paulus Budi Kleden untuk kahlayak pembaca.
Dan menjadi menarik sekaligus istimewa judul buku ini ketika buku ini dipersembahkan untuk kedua orang tuanya: ‘Mengenang Pa’ Petrus Sina Kleden dan Mama Dorothea Sea Halan yang Mengajarkan tentang Kebaikan dalam Tindakan dan Kata’. Nampak sederhana judul dan persembahan buku ini, namun memberikan makna dan kesan yang mendalam perihal perjalanan kehidupan.
Perihal judul buku karya P. Dr. Paulus Budi Kleden, dalam kalimat pembuka dari penerbit Lamalera atas penerbitan buku ini, penerbit Lamalera menulis demikian: “Kalau hidup itu seumpama sebuah perjalanan, maka menuju titik balik atau titik kepulangan selalu akan berarti menuju titik berangkat”, sebuah kesan yang mendalam untuk memahami judul buku tersebut.
Penerbit Lamalera pun meneruskan kesannya untuk menegaskan makna ‘Menuju Titik Balik”: “Titik balik mengingatkan seorang pelaku perjalanan atau peziarah akan batas, pun akan keterbatasannya untuk melangkah lebih jauh dan karena itu, pilihan yang mungkin sangat tepat adalah berhenti dan berbalik, pulang ke asal, pulang ke titik berangkat” (xiii).
Dalam kebudayaan masyarakat Waibalun, pulang kampung untuk para perantau adalah kembali mengambil dan mengisi jiwa dan raga, gute ike kwa’at.
Selain itu, makna lain dari pulang kampung adalah menyalakan lilin di kuburan baik orang tua, sanak keluarga maupun orang-orang terdekan lainnya, balik tutu tenaro.
Bukan tanpa keyakinan, masyarakat Waibalun selalu meyadari bahwa balik lewo (Waibalun) gute ike kwa’at adalah sebuah sembayang. Di gerbang rumah adat Waibalun, keyakinan itu dilukiskan penuh makna filosofis: “Lage Ae Niku Kola”.
‘Menuju Titik Balik” yang selalu berarti juga menuju titik berangkat bagi seorang peziarah, dengan demikian pun adalah juga balik Lewo gute ike kwa’at. Bukan berarti kepulangan ini dikarenakan hilangnya dan berkurangnya ike kwa’at, sehingga perlu untuk mengambil dan mengisinya kembali.
Lebih jauh dari itu, tindakan ini merupakan sebuah bentuk kerendahan hati, bahwa ketika berada pada situasi batas, Karl Jasper seperti dikutip oleh Penerbit Lamalera, seorang peziarah mesti membuat transcending-thinking, ‘melompat’ dari situasi batas untuk melihat makna dari situasi batas tersebut.
Dalam keberimanan, kesadaran akan situasi batas itulah, Allahlah yang sekaligus menjadi ‘titik berangkat’ dan ‘titik pulang’. Pun Lewo dan kampung halaman sekaligus tanah kelahiran menjadi batu penjuru akan kesadaran keterbatasan tersebut.
Mgr. Paulus Budi Kleden, Uskup Agung Ende, dalam persembahan buku tersebut secara implisit memberi makna perziarahannya bahwa seluruh perjalanan kehidupannya sesungguhnya merupakan perjalanan yang bertumpuh pada ajaran akan ‘Kebaikan dalam Tindakan dan Kata’ oleh kedua orang tuanya: Pa’ Petrus Sina Kleden dan Mama Dorothea Sea Halan. Kedua orang tuanya merupakan ‘titik pulang’ sekaligus ‘titik berangkat’ yang dalam kesederhanaan telah mengajarkan betapa pentingnya merawat harapan dan menumbuhkan keberanian (xviii).
Kebaikan dalam tindakan dan kata, kini menjadi harapan semu. Tidak ada perasaan bersalah bahkan malu-lah yang kini menghantui kehidupan umat dan masyarakat.
Tak segan-segan orang memanipulasi kebohongan demi kebohongan untuk meraup panggung politik; tak tanggung-tanggung para ulama meneguk hedonis di atas kemiskinan. Fenomena perasaan bersalah dan malu telah kehilangan tempat di akal dan budi manusia konkret.
Pun merawat harapan akan sesuatu yang baik dan ideal tinggal kenangan hampa, pragmatisme dan ritualisme menghantui segenap sisi kehidupan, baik politik maupun agama.
Keberanian untuk menyuarakan yang benar serentak menghakimi yang salah kini jatuh dalam sogokan kerja, kedudukan, uang dan harta. Nampaknya kita jatuh dalam relativisme bahkan bisa jadi nihilsme. Bahwa seakan-akan tak ada lagi kebaikan, harapan dan keberanian yang harus diperjuangkan dan dipegang teguh.
Fenomena realtivisme hingga nihilsme inilah yang kini mulai menghantui kehidupan baik gereja maupun pemerintahan. Tentu saja kita tidak berharap ini terus terjadi, tapi setidaknya kita perlu menyadari situasi ini untuk ‘menuju titik balik’.
Sabtu, 26 Oktober 2024, ‘Poce’ nama panggilannya pulang kampung dengan nama ‘Monsiyur Paulus Budi Kleden’. Anak Waibalun yang sederhana itu, kini kembali pun dalam kesederhanaannya sebagai gembala umat untuk merangkul paroki di mana imannya dibina dan ditumbuhkan.
Tentu saja harapannya adalah agar ajaran dari orang tuanya dapat diteruskan kepada anak-anak dan umat paroki St. Ignasius Waibalun, merawat harapan dan menumbuhkan keberanian serentak kebaikan dalam tindakan dan kata.
Sekiranya ‘pulang kampung’ Mgr. Paulus Budi Kleden memberikan dampak pada sebuah kesadaran akan sesuatu harapan akan yang ideal, agar kita bisa terjauhkan dari relativisme bahkan nihilisme.
Perihal ‘Poce’ menuju ‘Monsyiur’, selalu ada yang tidak dapat dijelaskan. Kenyataan, baik alam, sejarah dan masyarakat, maupun kenyataan pribadi manusia, bukanlah hal yang dapat dijelaskan secara tuntas (2022, xvi).
Faktanya bahwa Uskup Agung Ende yang diangkat oleh Paus Fransiskus pada tanggal 25 Mei 2024 adalah Paulus Budi Kleden, namun kenyataannya sesungguhnya melampaui fakta tersebut. Kenyataan bukanlah fakta.
Kenyataan melampaui fakta dan lebih luas sekaligus dalam. Kenyataan tidak dapat dipahami begitu saja oleh indra. Itulah yang boleh dikatakan sebagai Penyelenggaraan Ilahir, Providentia Dei. Bahwa terpilihnya ‘Poce’ menjadi ‘Monsyiur’ adalah kehendak yang Ilahi dan dengannya kita patut untuk mensyukurinya.
Oleh karenanya, di akhir refleksi ini penulis mengajak agar dalam terang Penyelenggaraan Ilahi tersebutlah kita lantunkan doa-doa untuk peziarahan Mgr. Paulus Budi Kleden akan pelayanan yang diembannya, agar beliau tetap setia pada kebaikan dalam ‘tindakan dan kata’ serentak ‘keberanian dan merawat harapan’ akan Tuhan dan Lewotana serta Paroki St. Ignasius Waibalun.
“Mo Aken Gelupa Tenoa Rae Ile, Mo Aken Kehuli Ida Lau Bean”.
Waibalun, 26 Oktober 2024
Penulis, adalah Staf Pengajar Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka – Founder Taman Baca Hutan 46 Waibalun
Editor : Wentho Eliando