(Sisipan Kecil Saat Paus Fransiskus Mengunjungi Indonesia)
Oleh: Anselmus DW Atasoge
DI Abu Dhabi, 4 Pebruari 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb menanda-tangani sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Human Fraternity (Persaudaraan Manusia), sebuah dokumen yang gagasan utamanya mengusung impian tentang perdamaian dunia dan hidup bersama di tengah dunia yang dicoraki dengan pelbagai perbedaan.
Ada sejumlah gagasan yang mencerdaskan masyarakat beragama yang terpatri dalam dokumen ini.
Pertama, melalui iman pada Allah, yang telah menciptakan alam semesta, ciptaan, dan seluruh umat manusia (setara karena rahmat-Nya), umat beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia dengan melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.
Kedua, penghormatan dan pemeliharaan kehidupan manusia. Allah telah melarang untuk membunuh.
Karena itu, dokumen ini menegaskan siapapun yang membunuh seseorang bagaikan membunuh seluruh umat manusia, dan siapapun yang menyelamatkan seseorang bagaikan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Kehidupan dipandang sebagai anugerah yang tidak seorang pun berhak untuk mengambil, mengancam atau memanipulasi demi kepetingan dirinya.
Karena itu, semua praktik yang mengancam kehidupan seperti genosida, aksi terorisme, pemindahan paksa, perdagangan manusia, aborsi, dan euthanasia mesti dijauhkan dari kamus kehidupan masyarakat beragama.
Agama akan meniadakan jati diri keagamaannya bila ia memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, kekerasan atau penumpahan darah. Jika tidak maka ajaran-ajaran agama gagal dipahami secara benar.
Ketiga, budaya dialog adalah jalan, kerja sama timbal balik sebagai kode etik, saling pengertian sebagai metode dan standar untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai.
Budaya ini akhirnya menjadi bingkai bagi usaha untuk menghentikan pertumpahan darah dari orang-orang yang tidak bersalah serta mengakhiri peperangan, konflik, kerusakan lingkungan hidup dan kemerosotan moral.
Keempat, agama bukanlah alat-sarana politik. Human Fraternity menyerukan agar semua pihak berhenti menggunakan agama sebagai media untuk melahirkan kebencian, kekerasan, ekstremisme dan fanatisme buta.
Dengan kata lain, tak seorangpun dibenarkan untuk menggunakan nama Allah untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme, dan penindasan. Allah, Yang Mahakuasa, tidak perlu dibela oleh siapapun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk merendahkan dan menaikan eksistensi kemanusiaan.
Karena itu, keyakinan yang teguh akan ajaran–ajaran asli agama mengundang setiap orang untuk tetap berakar pada nilai-nilai perdamaian, saling pengertian, persaudaraan manusia dan hidup bersama yang harmonis, membangun kembali kebijaksanaan, keadilan dan kasih. Keadilan berlandaskan belas kasihan adalah jalan yang harus diikuti untuk mencapai kehidupan yang bermartabat.
Setahun kemudian, ketika pandemi covid 19 tengah menghantui semesta raya, 3 Oktober 2020, Paus Fransiskus menanda-tangani ensiklik Fratelli Tutti (Semua Bersaudara) di Kota Asisi.
Impian Abu Dhabi terbaca pula dengan benderang dalam Fratelli Tutti. Dengan rumusan yang amat singkat bisa dikatakan bahwa misi utama Fratelli Tutti adalah mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial dengan terciptanya satu keluarga umat manusia” di mana setiap manusia merupakan “saudara dan saudari dari semua manusia”.
Dalam salah satu bagiannya dari ensiklik ini, Paus Fransiskus menegaskan bahwa agama-agama melayani persaudaraan di dunia dan bahwa terorisme bukan disebabkan oleh agama melainkan oleh penafsiran salah terhadap teks-teks agama.
Karena itu, Paus Fransiskus mengajak setiap agama untuk menjunjung tinggi “seni perjumpaan” satu dengan yang lainnya. Atas nama persaudaraan manusiawi, dialog menjadi sebuah seni perjumpaan tersebut sebagai suatu jalan, kerjasama bersama sebagai perintah, dan pemahaman satu sama lain sebagai metode dan ukuran.
Imam Agung Al-Azhar, Mesir, Ahmad al-Tayyeb menyebut ensiklik ini sebagai seruan untuk membangunkan hati nurani manusia untuk saling menghormati dan menghargai kehidupan sebagai anugerah terbesar bagi setiap insan manusia.
Teolog Islam, Nayla Tabbara melihat bahwa melalui ensiklik ini Paus Fransiskus tengah mengembangkan “etika politik solidaritas di tingkat internasional baru”.
Sementara itu, Kepala Pusat Pertemuan dan Dokumentasi Kristen-Islam (CIBEDO) di Frankfurt, Timo Güzelmansur, melihat ensiklik “Fratelli Tutti” sebagai “simbol besar untuk dialog antaragama”. Dalam ensikliknya Paus Fransiskus menyebutkan beberapa kali dokumen antaragama Abu Dhabi.
Di mata Güzelmansur, hal ini merupakan dorongan kuat untuk membangun dialog percakapan antara umat kristiani dan muslim.
Pada 3-6 September 2024, Paus Fransiskus berada di tanah air, Indonesia. Paus Fransiskus adalah Paus ketiga yang berkunjung ke Indonesia. Pertama adalah Paus Santo Paulus VI yang berkunjung pada 3-4 Desember 1970.
Sembilan belas tahun kemudian, Paus Santo Yohanes Paulus II berkunjung ke Indonesia pada 9-14 Oktober 1989. Sekarang sesudah 35 tahun, Paus Fransiskus melakukan perjalanan apostolik ke Indonesia.
Adapun tema kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia yaitu Iman, Persaudaraan, dan Bela Rasa. “Iman yang teguh menghasilkan persaudaraan sejati, sementara persaudaraan sejati diungkapkan dalam belarasa kepada sesama dan alam semesta”.
Juru Bicara Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, Romo Thomas Ulun Ismoyo mengungkapkan, keputusan Paus Fransiskus untuk mengunjungi Indonesia didasari oleh hubungan bilateral yang kuat dengan Vatikan. Selain itu, Indonesia juga memiliki peran signifikan dalam memajukan keberagaman dan toleransi.
Romo Thomas menambahkan, Vatikan adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1947. Ini menunjukkan pentingnya hubungan kedua negara. Selain itu, Indonesia juga dipandang oleh Vatikan sebagai miniatur keberagaman yang patut menjadi contoh bagi dunia.
Sekiranya keputusan Paus Fransiskus dan misinya ke tanah air Indonesia menjadi sebuah momen penegasan yang amat penting atas impian para tokoh agama seperti yang dipaparkan secara singkat tadi yang sekaligus merupakan perjuangan yang tiada akhirnya.
Ia akan tersandung pada titian-titian berbatu ketika setiap umat beragama atau kelompok beragama masih menghiasi alur-alur keberagamaannya dengan prinsip-prinsip yang berbingkaikan eksklusivisme yang seringkali ‘dirancangi’ oleh hermeneutic despotic.
Sebuah rancangan yang bermaksud ‘mengunci maksud Tuhan sesuai dengan kehendak, keinginan dan maksud hati’ setiap mereka yang mengakrabi ayat-ayat suci tanpa mengkrabi kehidupannya dengan kehidupan miliaran manusia lainnya.
Impian telah dipahatkan. Setiap insan beragama dipanggil untuk bergerak dalam alur-alur pahatan itu. Titian berbatu siap dilewati. Jika perlewatan itu menjadi milik semua orang sebagai satu keluarga, maka ‘bebatuan’ akan diubah menjadi mutiara-mutiara indah bagi bangunan persatuan dan persaudaraan semesta.
Selamat datang Bapa Paus. Kami tentu tidak sekedar ingin melihat wajahmu dan jejak langkahmu di tanah air kami.
Lebih dari itu, kami hendak ‘menghidupkan dan membumikan’ setiap impianmu akan kebaikan bersama seluruh umat manusia di muka bumi ini. Sehat-sehat selalu ya saat berada di tanah air kami, ya Bapa Paus. *
Editor : Wentho Eliando