Oleh: Febri M Angsemin, S.Fil
PILKADA merupakan momentum krusial dalam perjalanan demokrasi di Indonesia secara khusus di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di balik semaraknya pesta demokrasi lokal ini, ada harapan besar yang disematkan oleh rakyat: memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa daerah mereka ke arah yang lebih baik. Namun, di tengah harapan yang menggelora, timbul keraguan yang tak bisa diabaikan.
Seiring waktu, kita perlu bertanya dengan jujur: apakah Pilkada sungguh menawarkan solusi nyata bagi tantangan yang dihadapi daerah, ataukah hanya ilusi semu yang tak berbekas di lapangan?
Pilkada sebagai Sarana Perubahan
Pilkada dirancang sebagai mekanisme demokrasi untuk memberikan suara kepada rakyat dalam menentukan pemimpin lokal.
Konsep ini berlandaskan pada teori demokrasi partisipatif yang diusung oleh Robert A. Dahl dalam bukunya “On Democracy” (1998), yang menekankan pentingnya partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan politik.
Dalam konteks Pilkada, teori ini hemat penulis mengandaikan bahwa dengan memberikan hak suara kepada rakyat, akan ada kemungkinan untuk melahirkan pemimpin yang lebih representatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Misalnya, pada Pilkada 2018 di Kabupaten Manggarai, NTT, masyarakat berharap pemimpin baru dapat mengatasi masalah kemiskinan yang tinggi dan infrastruktur yang buruk.
Harapan ini sesuai dengan pandangan politik oleh Francis Fukuyama dalam bukunya “Political Order and Political Decay” (2014), yang menyebutkan bahwa kualitas kepemimpinan lokal dapat berpengaruh besar terhadap pembangunan daerah.
Realitas dan Tantangan Pilkada
Namun, harapan yang tinggi seringkali menghadapi realitas yang kompleks. Sering kali, Pilkada justru berakhir dengan kekecewaan.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa pemimpin terpilih sering kali gagal memenuhi janji-janji kampanye mereka.
Sebagai contoh, penelitian oleh The Jakarta Post (2022) menunjukkan bahwa banyak kepala daerah yang tidak mampu melaksanakan program-program pembangunan yang telah dijanjikan selama kampanye mereka.
Di Kabupaten Sikka, NTT, misalnya, meskipun ada banyak janji kampanye terkait peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan, laporan dari Pos Kupang (2023) mengungkapkan bahwa banyak program tersebut belum terealisasi secara optimal.
Hal ini hemat penulis menggambarkan tantangan yang dihadapi dalam implementasi program dan kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Korupsi dan Politik Uang
Salah satu masalah besar dalam Pilkada adalah korupsi dan politik uang.
Menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus korupsi di tingkat daerah sering kali melibatkan kepala daerah yang terpilih melalui proses pemilihan yang penuh dengan praktik politik uang.
Seperti yang diungkapkan oleh Robert Klitgaard dalam bukunya “Controlling Corruption” (1988), korupsi merupakan hasil dari kombinasi antara kekuasaan, peluang, dan motivasi.
Tindak korupsi ini tidak hanya menguras kas negara, tetapi juga menahan laju pembangunan di daerah-daerah.
Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di NTT seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) hemat penulis menunjukkan betapa besarnya dampak negatif dari praktik korupsi ini terhadap masyarakat.
Korupsi mengurangi efektivitas penggunaan anggaran daerah dan menghambat program-program yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kualitas Kandidat dan Partisipasi Masyarakat
Masalah lain yang sering muncul adalah kualitas kandidat yang bersaing dalam Pilkada. Banyak kandidat yang terpilih tidak memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai untuk memimpin daerah.
Hal ini disoroti oleh R. William Liddle dalam bukunya “Indonesia: Piloting Democracy” (2007), yang menyebutkan bahwa seringkali kandidat yang terpilih lebih dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menggalang dukungan politik daripada kualitas kepemimpinan mereka.
Partisipasi masyarakat juga berperan penting dalam menentukan hasil Pilkada. Rendahnya partisipasi pemilih, terutama di daerah-daerah terpencil, dapat mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang tidak benar-benar mewakili kepentingan rakyat.
Menurut survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Pilkada 2020, partisipasi pemilih di beberapa daerah NTT masih tergolong rendah, yang berpotensi mengurangi representasi yang efektif dalam pemerintahan daerah.
Reformasi dan Harapan Baru
Namun, meskipun terdapat berbagai tantangan, masih ada harapan bahwa Pilkada dapat menjadi sarana untuk perubahan positif.
Upaya reformasi dalam sistem Pilkada, seperti penegakan hukum yang lebih ketat terhadap korupsi, transparansi dalam proses pemilihan, dan peningkatan pendidikan politik bagi masyarakat, dapat meningkatkan kualitas Pilkada dan dampaknya terhadap pembangunan daerah.
Sebagai contoh, perubahan kebijakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait transparansi dana kampanye dan pemantauan independen dapat membantu mengurangi praktik politik uang dan korupsi.
Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan, melalui pendidikan politik dan kampanye pemilih, dapat meningkatkan kualitas pemilihan dan mengurangi potensi penyelewengan.
Menurut Budi Winarno, seorang peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada, “Peningkatan kualitas Pilkada tidak hanya bergantung pada reformasi sistem, tetapi juga pada kesadaran masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi dan memantau kinerja para pemimpin mereka” (Winarno, 2023).
Kesimpulan
Pilkada memang menjadi salah satu pilar penting dalam demokrasi Indonesia, terutama di daerah-daerah seperti NTT.
Sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin lokal, Pilkada seharusnya menjadi jalan menuju perbaikan dan kemajuan daerah. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian.
Harapan besar masyarakat sering kali dihadapkan pada realitas yang pahit, di mana janji-janji kampanye hanya tinggal kata-kata tanpa realisasi nyata.
Tantangan utama yang dihadapi Pilkada di NTT mencakup kualitas kepemimpinan, praktik korupsi, dan politik uang yang merajalela.
Kepala daerah yang terpilih sering kali tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk memimpin, dan lebih mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyat.
Korupsi yang merajalela semakin memperburuk keadaan, menghambat pembangunan yang seharusnya bisa membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Meski demikian, tidak berarti Pilkada hanya sekadar ilusi. Masih ada harapan bahwa melalui reformasi yang tepat, Pilkada bisa menjadi sarana perubahan yang nyata.
Penegakan hukum yang lebih ketat terhadap praktik korupsi, transparansi dalam proses pemilihan, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan politik adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan kualitas Pilkada.
Masyarakat NTT juga memiliki peran krusial dalam menentukan masa depan daerah mereka.
Kesadaran akan pentingnya memilih pemimpin yang kompeten dan integritas tinggi, serta terlibat aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan, bisa menjadi kunci untuk memastikan Pilkada tidak hanya menjadi sebuah pesta demokrasi semu, tetapi benar-benar memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah.
Pada akhirnya, Pilkada akan menjadi solusi nyata atau sekadar ilusi tergantung pada seberapa serius kita, baik pemerintah maupun masyarakat, dalam menjaga integritas proses demokrasi ini.
Harapan besar untuk perubahan tetap ada, namun membutuhkan komitmen dan aksi nyata dari semua pihak yang terlibat. Hanya dengan demikian, Pilkada hemat penulis bisa benar-benar menjadi tonggak kemajuan yang membawa NTT ke arah yang lebih baik. *
Penulis, adalah Mahasiswa Pasca Sarjana/Program S2 di IFTK Ledalero-Seminari Tinggi Ritapiret, Flores-NTT
Editor : Wentho Eliando