Oleh: Marselina Muliati
MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya).
Sedangkan arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Jadi, korupsi adalah tindakan jahat, busuk, tidak bermoral yang menyalahgunakan uang negara untuk keperluan pribadi.
Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah mengkhawatirkan dan berdampak buruk yang luar biasa bagi seluruh sendi kehidupan.
Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini (Kemendikbud 2011)).
Permasalahan korupsi yang melanda negara Indonesia bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh dan menjadi peristiwa yang tidak ada habisnya. Korupsi yang termasuk kejahatan luar biasa sudah menjadi masalah biasa di Indonesia.
Salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Mempunyai harta dan kekayaan yang melimpah bisa dikatakan keinginan semua orang.
Memiliki banyak harta itu tidak menjadi masalah karena tanpa memiliki harta atau kekayaan yang cukup orang tidak bisa membiayai kehidupannya sehari-hari.Setiap orang berhak untuk memiliki kekayaan sesuai dengan kemampuan finansial yang ia miliki dan tidak menjadi problem.
Yang menjadi problem ketika seseorang memiliki pandangan yang keliru tentang kekayaan.
Pertama, kekayaan sebagai sumber kekuasaan. Kekayaan tidak lagi digunakan dengan semestinya. Kekayaan dapat dilihat sebagai sumber kekuasaan.
Kekayaan dapat menjadi alat yang kuat dalam memperoleh kekuasaan, baik secara politik, ekonomi,sosial, maupun budaya.
Secara politik orang yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai bupati,calon legislatif dan lain-lain.
Ketika pemilihan umum (pemilu) didepan mata meraka membagikan uang kepada masyarakat untuk memilih mereka saat pemilihan umum dilaksanakan atau yang sering dikenal dengan istilah politik uang (money politic).
Politik uang merupakan tingkah laku negatif karena uang digunakan untuk membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai supaya memenangkan pemilu si pemberi uang.
Rakyat tidak lagi memilih pemimpin berdasarkan hati nurani, melainkan memilih pemimpin berdasarkan seberapa besar uang yang diberikan oleh calon bupati atau calon legislatif.
Kesalahan menggunakan kekayaan secara ekonomi, terjadi ketika seseorang salah menggunakan kekayaan dapat memiliki dampak yang signifikan seperti ketidakadilan ekonomi dan krisis keuangan.
Ketidakadilan ekonomi terjadi ketika kekayaan dikonsentrasikan pada segelintir individu atau sekelompok saja, sementara mayoritas masyarakat mengalami kesulitan ekonomi.
Kesalahan dalam mengelola kekayaan juga dapat menyebabkan krisis keuangan. Contohnya, utang yang tidak dikelola dengan baik dapat mengarah pada krisis ekonomi yang merusak seperti kebangkrutan sistem keuangan.
Kesalahan menggunakan kekayaan secara sosial terjadi ketika individu atau kelompok menggunakan kekayaan mereka untuk menunjukkan status sosial yang tidak seimbang serta penggunaan kekayaan yang tidak bertanggung jawab juga dapat menghasilkan praktik korupsi.
Kesalahan menggunakan kekayaan secara budaya tejadi ketika seseorang tidak dapat mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma,serta keadilan dan empati dalam hidup bersama sebagai masyarakat.
Salah satu contoh kesalahan penggunaan kekayaan dalam budaya adalah perilaku konsumtif yang berlebihan dan tidak terkendali.
Penggunaan kekayaan untuk mengejar gaya hidup yang mewah,hedonisme,atau kepuasaan pribadi semata tanpa memperhatikan nilai-nilai budaya yang dapat menciptakan citra yang kurang positif. Penting untuk memahami bahwa kekayaan bukanlah segalanya, dan penggunaanya harus selaras dengan nilai-nilai budaya yang positif, seperti gotong royong,kebersamaan dan keadilan.
Kedua, kekayaan sebagai sumber kebahagiaan sejati. Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan yang mengutamakan hal material sebagai kebahagiaan sejati.
Sehingga tolak ukur orang yang dianggap kaya atau berhasil adalah ketika orang yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan dalam kehidupan sehari-hari.
Kendaraan, rumah,tanah dan uang tentu saja menjadi barang berharga yang sering kali menjadi tanda banyaknya kekayaan seseorang.
Alhasil, banyak orang yang mati-matian dan berlomba-lomba dalam mencari harta atau kekayaan. Bahkan karena harta dan uang seseorang rela merusak persaudaraan dengan keluarganya.
Perilaku orang-orang yang memandang kekayaan dan uang sebagai segala-galanya cenderung menari jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa melihat dampaknya pada lingkungan sekitar atau bahkan pada diri mereka sendiri.
Ketiga, dihargai karena banyak harta. Korupsi bisa ditumbulkan oleh kebiasaan masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang ia miliki.
Di tengah kehidupan yang semakin sekuler, yang menjadi ukurannya adalah seberapa besar seseorang mampu mengakses kekayaan. Semakin kaya, maka semakin berhasil dan semakin dihargai.
Itulah sebabnya di dunia ini banyak orang yang mudah tergoda dan tergiur dengan kekayaan. Karena ketergodaan akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya sehingga seseorang melakukan korupsi.
Kekayaan yang mereka miliki bukan lagi menjadi sarana untuk memperlancar kebutuhan manusia tetapi dengan kekayaan itu menjadikan dirinya supaya dihargai.
Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sehingga salah satu cara untuk mendapatkan kekayaan itu seseorang akan melakukan korupsi.
Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, semakin banyak pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan.
Memiliki banyak harta atau kekayaan bukannya menjamin kebahagiaan tetapi malah membuat seseorang berperilaku busuk dan jahat yaitu korupsi.
Oleh karena itu, kekayaan seseorang tidak diukur dari seberapa banyak harta yang dia miliki, tetapi diukur dari seberapa ia banyak ia memberi. *
Penulis, adalah Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng, Manggarai, Flores-NTT