Oleh: Arnoldus Nggorong
ANDAI saja Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini-SVD) tidak ada, orang-orang pada umumnya, termasuk penduduk di NTT, tidak akan mungkin mengenal sosok Arnoldus Janssen.
Orang-orang sezamannya pun tidak pernah menyangka bahwa Arnoldus Janssen adalah figur yang amat menentukan lahirnya tarekat religius misioner yang berpusat di Styeil-Belanda ini.
Mereka beranggapan bahwa Arnoldus Janssen bukanlah orang yang tepat untuk karya sebesar itu. Lagi pula Arnoldus Janssen tidak menunjukkan bakat kepemimpinan yang menonjol, tulis Paul Budi Kleden (“Ut Verbum Dei Currat” hal. 243).
Kecakapannya yang dapat disebut langka di antara rekan-rekan imamnya di Keuskupan Munster pada waktu itu adalah di bidang matematika dan fisika.
Dengan lain perkataan, Arnoldus Janssen tidak memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat diandalkan untuk mendirikan serikat misi.
Anggapan banyak orang pada waktu itu yang meragukan kemampuanArnoldus Janssen mempunyai alasan yang cukup mendasar.
Gereja Katolik di Jerman pada waktu itu berada dalam situasi sulit. Otto Van Bismark mengeluarkan Undang-undang yang sangat anti Gereja Katolik.
Undang-undang itu dikenal dengan ‘kultur kampf’ yang berdampak amat luar biasa bagi Gereja Katolik. Para imam dan biarawan-biarawati di usir keluar dari Jerman. Para uskup dipenjara.
Inspirasi
Namun justru kondisi Gereja Katolik Jerman yang amat menantang pada waktu itu dijadikan Arnoldus Janssen sebagai peluang untuk memulai karya Allah. Sebab tidak selamanya situasi sulit hanya mendatangkan malapetaka.
Bagi Arnoldus Janssen, keadaan yang kacau balau yang tengah dihadapi Gereja Katolik Jerman adalah panggilan Allah untuk melaksanakan karya-Nya di tempat lain.
Paling tidak suara batinnya berkata demikian dan Arnoldus Janssen menanggapinya dengan penuh iman, dalam kepasrahan kepada kehendak Allah di bawah bimbingan Roh Kudus.
Tantangan itu dijawabnya dengan penuh keyakinan: “Tuhan sedang menguji iman kita untuk dapat melakukan sesuatu yang baru, khususnya pada saat-saat seperti ini ketika begitu banyak tantangan tengah dihadapi oleh Gereja.” (Lihat paroki citraraya.org).
Dalam konteks ini dapat dikatakan, Arnoldus Janssen menemukan inspirasi dari keadaan yang dihadapinya pada waktu itu persis seperti pengalaman Yesus sendiri ketika Dia ditolak oleh orang-orang Nazaret (orang-orang seasal-Nya) pada permulaan karya-Nya.
Yesus memilih pergi ke‘tempat lain’ untuk mewartakan kabar suka cita Kerajaan Allah. Yesus menjumpai kelompok orang-orang yang ‘terbuang’ seperti orang Samaria, pemungut cukai, misalnya (Bdk. Luk. 4:14-13:9).
Dalam bahasa rasul Paulus: “kamu (orang Yahudi) menolaknya dan menganggap dirimu tidak layak untuk beroleh hidup yang kekal. Karena itu kami berpaling kepada bangsa-bangsa lain. (Kis. 13:46).
Dengan ini Arnoldus Janssen pun membalikkan anggapan itu dan dalam bentangan waktu 2 dasawarsa dia membuktikannya dengan mendirikan tiga kongregasi yaitu Societas Verbi Divini (SVD) 8 September 1875, Suster-suster Abdi Roh Kudus (Servarum Spiritus Sancti – SSpS) 8 Desember 1889, dan Suster-suster Abdi Roh Kudus untuk Adorasi Abadi (Servarusm Spiritus Santi de Adoratione Perpetua – SSpSAP) 8 Desember 1896 (lihat www.svdbiblecentre.org dalam “Arnoldus Janssen: 4B-Bapa Bagi Banyak Bangsa”).
Lebih dari itu, Arnoldus Janssen menerjemahkan dengan tepat dan benar perutusan Yesus, Sang Sabda, yang diimaninya, yang tertera dalam Markus 16:15: “Pergilah keseluruh dunia, beritakanlah injil kepada segala makhluk.” Atau dalam bahasa Paulus, mewartakan Kristus kepada orang-orang tak beriman (bdk. Ef. 3:8).
Dengan lain kata, Arnoldus Janssen sungguh memahami misi Yesus yakni menyelamatkan manusia. Arnoldus Janssen mengerahkan segala daya upaya untuk mewujudkan misi suci ini.
Alhasil Yohanes Baptis von Anzer, SVD dan Yosef Freinademetz,SVD adalah misionaris pertama SVD yang dikirimke negeri Tirai Bambu.
Dalam kemustahilan cara pandang manusiawi, kongregasimisi yang didirikan oleh Arnoldus Janssen berkembang dengan pesat, menyebar ke semua benua, mengirim banyak misionaris.
Sebab Arnoldus Janssen meletakkan dasar pendirian kongregasi misi itu hanya dan sekali lagi hanya kepada penyelenggaraan Allah Tritunggal Maha kudus.
‘Kepala Batu’
Dalam arti tertentu tekadnya yang kuat mendirikan tiga kongregasi itu merupakan buah dari ‘kepala batu’ yang menjadi karakternya yang khas.
Itulah sosok Arnoldus Janssen yang lahir di Goch, dataran rendah sungai Rhein, tanggal 5 November 1837 dari pasangan Gerhard Janssen dan Anna Katharina Wellesen.
Frasa ‘kepala batu’, dalam arti yang dangkal, memiliki konotasi yang negative seperti kaku, keras, bandel, pembangkang, preman, kurang ajar.
Pengertian seperti ini sesuai dengan arti pertama dan ketiga dari ‘kepala batu’menurut KBBI yakni tidak mau menerima nasihat orang; keras kepala.
Hal ini pun diafirmasi dalam kehidupan sosial di masyarakat. Salah satu ungkapan yang cukup akrab dalam bahasa pergaulan sehari-hari, misalnya, adalah ‘Dasar kepala batu’, yang dilabeli pada anak yang bandel (nakal) ataupun pada seseorang yang tidak mau menerima nasihat.
Namun bila ditelisik secara saksama dan direnungkan lebih jauh, dalam frasa ‘kepala batu’ terdapat keteguhan hati, ketetapan hati, prinsipiel, konsistensi, kesetiaan, ketelitian, kehati-hatian, mawasdiri, ketegasan, kepercayaan diri, keberanian, memiliki pendirian yang kokoh.
Deretan makna ini ditemukan dalam pengertian kedua menurut KBBI yaitu tegar hati.
Bila frasa ‘kepala batu’ diatribusikan pada diri Arnoldus Janssen, maka makna kedua tadi mendapat aksentuasi dan kedalaman maknanya yang tepat.
Lebih dari itu, ‘kepala batu’ dalam diri Arnoldus Janssen memaksudkan keyakinannya yang teguh akan penyelenggaraan Allah dalam hidupnya.
Sikap tegas dan kehati-hatian Arnoldus Janssen tampak ketika dia menjadi pemimpin tunggal di Steyl dari tahun 1875-1885, demikian Paul Budi Kleden (“Ut Verbum Dei Currat” hal. 249-250).
Dalam mengambil keputusan, Arnoldus Janssen melewati tahapan berikut: berdoa, merenung, bertukar pikiran dan dialog. Misalnya, ketika menentukan rector untuk Sankt Gabriel dan Steyl beberapa tahun sebelum Arnoldus Janssen meninggal.
Walaupun Pater Wegener menyampaikan keberatannya, namunArnoldus Janssen tetap pada keyakinan pilihannya. Katanya: “Saya memilih Anda berdua, Pater Blum untuk Steyl dan anda sendiri untuk Sankt Gabriel.”
Demikian pula halnya ketika Arnoldus Janssen memilih Josef Freinademetz menjadi pemimpin SVD di Cina. Padahal Josef Freinademetz sudah mengajukan keberatannya. Arnoldus Janssen pun tetap pada pendiriannya memilih Josef Freinademetz menggantikan Anzer sebagai pemimpin misi berikutnya.
Bertumbuh dalam Keluarga
Keyakinannya yang kokoh, sesungguhnya, berakar dalam hidup doanya yang dipupuk dan dirawatnya berkat ajaran dan didikan orang tuanya Gerhard Janssen dan Anna Katharina Wellesen.
Kedua orang tua Arnoldus Janssen memberikan keteladanan dalam perkataan dan perbuatan sebagai keluarga Katolik yang saleh. Salah satu anaknya Wilhel mmengakui: “Ayah sangat menekankan hal berdoa.” (lihat www.seminariledalero.org)
Dalam bahasa yang sederhana, semangat doa Arnoldus Janssen tumbuh dari kebiasaan yang dihidupi di tengah-tengah keluarga.
Dengan ini menegaskan bahwa keluarga menjadi peletak dasar pertama dan utama nilai-nilai injil. “Keluarga adalah tonggak utama Gereja,” demikian Andrew Apostoli, C.F.R.
Dalam formula KonsiliVatikan II, keluarga adalah ecclesia domestica atau Gereja Rumah Tangga atau Gereja Mini. Di dalamnya para anggota saling membantu untuk menjadi suci (bdk. LG. Art. 11).
Kesadaran akan peran penting keluarga itu pula yang mendorong Gereja menjadikan Keluarga Kudus Nazaret dalam diri Santo Yosef, Santa Maria, dan Kanak-kanakYesus sebagai model utama (satu-satunya model) bagi keluarga-keluarga Katolik.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bahwa keteguhan iman Arnoldus Janssen lahir dari keluarga yang menjalankan kehidupan kristiani dengan berlandaskan nilai-nilai injil tadi.
Dalam kehidupan selanjutnya Arnoldus Janssen menaruh seluruh harapan, kepercayaan dan cintanya kepada Allah.
Penyerahan diri dalam totalitasnya dibuktikan dalam devosinya kepada Allah Tritunggal Mahakudus, Allah Roh Kudus Pribadi Kedua Allah Tritunggal Mahakudus, Sakramen Mahakudus, Hati Kudus Yesus, dan Hati Maria Tak Bernoda dalam semangat kesetiaan, kerendahan hati, dan penyangkalan diri.
Salah satu bukti devosinya yang kuat terhadap Allah Roh Kudus adalah hari senin pada minggu ketiga setiap bulan didedikasikan kepada Allah Roh Kudus, yang kemudian dijadikan tradisi yang dihidupi oleh setiap anggota serikat.
Penutup
Bertolak dari narasi singkat di atas, tampak dengan jelas dan terang benderang bahwa Allah adalah segala-galanya bagi Arnoldus Janssen, tak tergantikan oleh siapapun dan apapun.
Sikap pasrah yang demikian dirumuskan dengan begitu indah dalam motonya: “Allah di atassegalanya. Allah di dalam kita.” (lihat www.svdcuria.org).
Dengan berpegang pada keteguhan imannya akan penyelenggaraan Allah terhadap karya seluhur itu, Arnoldus Janssen memantapkan hati melaksanakan perintah Yesus (Markus 16:15) yakni mewartakan injil ke tempat-tempat di mana injil belum diwartakan.
Perintah itu dikonkritkannya dengan mendirikan kongregasi misi sebagai wadah bagi mereka yang terpanggil dan siap diutus untuk mewartakan suka cita injil keseluruh dunia.
Kini Arnoldus Janssen menjadi Bapa banyak bangsa mengikuti jejak Abraham, Bapa semua orang beriman (Bdk. Kej. 17:4-6; Rm. 4:16-18).
Saya mengakhiri tulisan ini dengan mengutip beberapa kalimat dari doa Suku Jam yang merupakan buah dari refleksi Arnoldus Janssen dalam hal doa, walau masih sangat banyak (kutipan ini tidak lengkap).
Ya Allah, Engkaulah Kebenaran abdi. Di hadapan terang Sabda Allah dan Roh pemberi karunia lenyaplah kegelapan dosa dan kebutaan manusia tak beriman.
Semoga hati Yesus hidup dalam hati semua orang. Hiduplah Allah Tritunggal dalam hati kita. ***
Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.