Oleh: Pascual Semaun, SVD
DALAM beberapa tahun terakhir, wacana mengenai “transisi energi”, “pembangunan berkelanjutan”, dan “energi bersih” semakin sering kita dengar.
Istilah-istilah tersebut disebarluaskan melalui media, kebijakan publik, bahkan masuk ke dalam ruang-ruang pertemuan desa.
Proyek-proyek seperti eksploitasi panas bumi (geothermal), yang diklaim sebagai solusi hijau untuk krisis iklim, tidak hanya membawa alat berat, tetapi juga membawa bahasa yang dipoles rapi untuk menyembunyikan tujuan kekuasaan.
Bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi. Ia digunakan sebagai alat kontrol sosial.
Seperti yang pernah dikatakan George Orwell, politik kerap memakai bahasa untuk “membuat kebohongan terdengar benar dan kekerasan terlihat terhormat.”
Maka, tidak heran jika banyak masyarakat diyakinkan bahwa apa yang merusak tanah, air, dan tubuh mereka adalah bagian dari kemajuan.
Komunikasi untuk Menguasai: Warisan Model Lama yang Masih Digunakan
Bagaimana cara kebohongan ini disampaikan? Salah satunya adalah melalui pendekatan komunikasi yang masih digunakan hingga kini, meskipun lahir pada abad ke-20, yakni model komunikasi behavioristik-fungsionalis.
Dalam model ini, negara, perusahaan, dan lembaga-lembaga besar bertindak sebagai pengirim pesan (emiten) yang menyampaikan informasi secara satu arah kepada masyarakat sebagai penerima (responden) yang dianggap pasif.
Pesan-pesan seperti “energi bersih”, “solusi perubahan iklim”, atau “proyek ramah lingkungan” disampaikan dengan harapan menghasilkan respons yang sesuai: penerimaan dan persetujuan. Model ini berpijak pada prinsip stimulus–respon, seperti dalam psikologi perilaku.
Namun kenyataannya, masyarakat tidak selalu merespons seperti yang diharapkan. Sebaliknya, banyak komunitas lokal justru mulai menyadari adanya manipulasi melalui bahasa.
Bahasa sebagai Wilayah Perjuangan
Akhir-akhir ini, tokoh-tokoh adat, petani, dan warga kampung di banyak daerah di Flores dan beberapa daerah lain di Indonesia mulai menyadari bahwa perlawanan tidak hanya terjadi di medan fisik, tetapi juga dalam medan bahasa. Mereka menolak istilah-istilah teknokratik yang tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Mereka mulai membangun narasi sendiri yang lebih jujur dan dekat dengan kehidupan mereka.
Ungkapan seperti “satu sakit, katong semua sakit” dan “nai ca anggit agu tuka ca leleng” bukanlah sekadar pepatah atau ungkapan adat. Ia merupakan pernyataan politik yang kuat, yang menyuarakan rasa senasib, solidaritas, dan perjuangan lintas budaya serta lintas batas geografis.
Seperti dikatakan filsuf politik Jacques Rancière, politik yang sejati dimulai ketika mereka yang selama ini dianggap “tidak layak bicara” mulai menuntut hak untuk menyuarakan pengalaman mereka dan mendefinisikan dunia dari sudut pandang mereka sendiri.
Menolak Propaganda, Membangun Komunikasi yang Setara
Model komunikasi top-down yang digunakan untuk mempromosikan proyek geothermal sesungguhnya adalah bentuk propaganda. Ia mengabaikan konteks sosial,
budaya, dan sejarah lokal. Ia memperlakukan masyarakat sebagai objek yang harus diyakinkan, bukan sebagai subjek yang memiliki pengetahuan dan hak untuk menentukan arah pembangunan.
Oleh karena itu, kita perlu membongkar model komunikasi yang menyesatkan ini, dan menggantinya dengan komunikasi yang partisipatif, setara, dan berpihak pada kehidupan.
Komunikasi yang membuka ruang dialog, mengakui perbedaan pengalaman, dan mendorong lahirnya solidaritas lintas wilayah.
Penutup: Kata-Kata Bisa Membebaskan
Bahasa tidak pernah netral. Ia bisa digunakan untuk menipu, tapi juga bisa menjadi alat pembebasan. Dalam konteks konflik geothermal, memahami cara bahasa digunakan untuk menyembunyikan kekerasan struktural adalah langkah penting dalam membangun perlawanan.
Kini saatnya kita merebut kembali makna. Bukan hanya menolak narasi palsu, tetapi juga menciptakan narasi baru—yang lahir dari pengalaman nyata, keberanian kolektif, dan semangat menjaga kehidupan. Karena sesungguhnya, kata-kata bisa mencemari, tetapi juga bisa menyembuhkan. *
Penulis: Coordinador Pastoral Social de la Diócesis de Canindeyú, Paraguay, tinggal di Paraguay