ENDE, FLORESPOS.net-Imam baru, Pater Kornelius Kesar Frengki Keta SVD atau yang akrab disapa Pater Engki merayakan misa perdana di Gereja Paroki St Yosef Freinademetz Mautapaga, Minggu (6/10/2024) sore.
Perayaan syukuran misa perdana imam baru Pater Engki SVD bertepatan dengan HUT Paroki Mautapaga yang ke-31.
Romo Jeff Woi memberikan pesan yang sangat mendalam kepada imam baru Pater Engki Keta SVD.
Romo Jeff sebagai pastor pengkotbah pada misa perdana tersebut memulai dengan mengisahkan perjalanan panggilan dari sang yubilaris.
Setelah mengisahkan perjalanan panggilan yubilaris, Romo Jeff Woi memberikan pesan kepada imam baru Pater Engki Keta SVD yang akan diutus ke tanah misi Ekuador.
Kata Romo Jeff setelah ditahbiskan menjadi imam, pertanyaan “Siapakah Aku ini (motto tahbisan pater Engki) masuk dalam babak baru untuk memaknai identitas diri yang baru.
“Saya Pater Engki, titik, bukan yang lain”.
Selanjutnya Pater Engki akan dipanggil bapa Pater Engki atau saya misalnya dipanggil bapa romo. Keduanya memiliki arti yang sama, pater itu bahasa Latin artinya bapak dan romo itu dari bahasa Jawa adalah panggilan untuk bapak dengan status sosial yang dihormati.
Meski kita disapa dengan dua bapak tetapi kita tidak memiliki identitas ganda. Imam disapa bapa pater, bapa romo tapi bukan bapak punyanya sang mama. Bapaknya sang mama punya status dan peran yang berbeda.
Ilustrasi ini hanya mau menegaskan identitas diri sebagai imam. Imam ditahbiskan menurut citra Imamat Yesus Kristus dan bertindak atas nama Kristus (in persona Christi).
“Kita tetap disebut bapak pastor dengan identitas tunggal sebagai pribadi yang terurapi. Peran kita ganda atau bahkan lebih tetapi identitas kita tunggal. Sebab, identitas ganda membuat kita lupa diri, lalu mengambil peran bapak yang lain yang bukan menjadi identitas kita yang sesungguhnya”.
“Apapun panggilan dan gelarnya, seorang imam haruslah tetap sadar diri, batas diri dan tahu menempatkan diri,” tegas Romo Jeff Woi.
Dengan sadar diri, batas diri, dan tahu menempatkan diri, seorang imam belajar mempertahankan identitas dirinya agar tidak kehilangan jati dirinya sebagai seorang imam.
Pater Engki dengan identitas barunya sebagai imam Kristus, masih saja bertanya, Sipakah aku ini? Pertanyaan ini memberikan suatu kegairahan baru untuk bermisi dan berbuat sesuatu.
Imam tidak hanya berujar dari mimbar tetapi lebih banyak mendengar dengan sabar. Imam tidak hanya gas di jalanan tetapi berhenti di tengah jalan untuk mendengarkan umat.
Banyak kisah terpendam di hati umat yang perlu didengarkan. Sering terdengar imam katakan: “saya sibuk, saya tidak punya waktu.” Tapi imam membuang waktu dan kelebihan waktu di media sosial. Imam memang punya otoritas tetapi tidak bertindak otoriter. *
Penulis : Willy Aran
Editor : Wentho Eliando